Ada banyak orang yang lebih senang
meletakkan seluruh pengharapan dan kepercayaan mereka kepada para penguasa,
institusi, dan ideologi sebagai dasar pengharapan masa depan yang mutlak dan tidak tergoyahkan. Persoalannya
sekarang adalah, apakah mereka semua dapat diandalkan? Sekarang ini,
pengharapan kita telah terkikis secara perlahan dan kini, hanya kekecewaan dan
keputus-asaan yang dapat kita gambarkan. Situasi yang kita hadapi saat ini,
mungkin seperti awan gelap yang mengancam, karena pemanasan global dan
perubahan iklim yang ekstrim, dan dan kurangnya keinginan politik yang kuat
untuk menghasilkan perubahan yang diperlukan untuk menyelamatkan bumi dan
manusia yang ada di dalamnya. Bencana dan situasi yang semakin buruk, kita
lihat ketika semakin banyak penderitaan dan kesedihan yang diderita oleh
kelompok minoritas dan kaum miskin, dan cara pemerintah untuk
menutup-nutupinya. Kini, tiba-tiba hampir semua orang terbelenggu dalam keadaan
putus asa. Keadaan ini menjadi lebih kompleks,
atau tidak mudah untuk dianalisis dan didefinisikan. Bagi seorang Kristen,
pengharapan itu selalu ada. Paulus berkata, “Sekalipun tidak ada dasar untuk
berharap, namun berharap juga dan percaya.” Maksudnya, kita harus
tetap memiliki pengharapan meski kelihatannya tidak ada tanda-tanda pengharapan
sama sekali. Mengapa? Karena pengharapan kita tidak didasarkan pada
tanda-tanda. Pengharapan kita, menurut Albert Nolan: didasarkan pada Allah dan
hanya Allah. Kita menyerahkan pengharapan dan kepercayaan kita kepada Allah,
atau setidak-tidaknya, kita berusaha melakukannya.
Namun
apa artinya menyerahkan seluruh pengharapan dan kepercayaan kita kepada Allah?
Pertanyaan itu jadi sulit, karena bagi banyak orang sekarang ini, Allah telah mati
atau bukan hal yang relevan. Sebuah konsep yang tidak memiliki makna. Kalau
begitu apa artinya mempercayai Allah? Pertama-tama, dalam Mazmur 146:3,5
dikatakan ”Janganlah percaya kepada para bangsawan, Kepada anak manusia yang
tidak dapat memberikan keselamatan... Berbahagialah orang yang harapannya pada
Tuhan, Allahnya.”
Kita
tidak dapat berharap pada janji-janji para penguasa: para pemimpin politik,
industri atau bahkan gereja. Memiliki para pemimpin yang baik jelas membantu,
tetapi tidak boleh menggantungkan pengharapan masa depan kita kepada para
pemimpin manusia manapun juga, karena tidak seorangpun dari kita baik secara
individu maupun bersama-sama, kuat dan mengetahui cara menyelamatkan dunia.
Kita juga tidak dapat menyerahkan seluruh pengharapan dan kepercayaan kita
kepada institusi dunia manapun juga, karena mereka dapat bertindak salah dan
gagal. Meletakkan seluruh pengharapan dan kepercayaan kepada Allah mengandung
makna bahwa meski kita menghargai kontribusi para penguasa, institusi dan ideologi,
kita tidak akan menjadikan mereka sebagai dasar pengharapan kita di masa depan. Kita pun tidak dapat mempercayai siapa pun
atau apa pun, bahkan pada pemikiran kita sekali pun, karena kita semua banyak
bergantung pada apa yang kita harapkan. Kita hidup di masa kesesakan, bukan
hanya karena orang-orang membangun pengharapan mereka di atas fondasi yang
tidak tepat, tetapi juga karena banyak dari kita yang berharap pada hal-hal
yang salah.
Apa yang
kita harapkan? Obyek pengharapan Kristen adalah kedatangan Kerajaan Allah.
Allah memerintah di bumi. Dalam Doa Bapa Kami, kita berdoa, ”Datanglah
Kerajaan-Mu; jadilah kehendak-Mu di bumi ...” Yang menjadi pengharapan kita
adalah kehendak Allah yang terlaksana di bumi. Apa yang menjadi kehendak Allah
dan seperti apakah Kerajaan Allah itu? Satu hal yang dapat kita yakini, adalah
kehendak Allah itu tidak bersifat sewenang-wenang (arbitrer). Ketika kita berbicara tentang kehendak ”ku,” kita sering
merujuk pada sesuatu yang bersifat sewenang-wenang. Pilihan yang bersifat
sewenang-wenang tentang apa yang seharusnya terjadi. Memaksakan pemahaman
tersebut kepada orang lain akan dianggap sebagai pemaksaan kehendak. Kehendak
Allah itu berbeda. Apa yang menjadi kehendak Allah selalu membawa kebaikan bagi
semua orang, karena terdapat keadilan, perdamaian, kebenaran dan keutuhan
ciptaan. Apa yang menjadi keinginan Allah adalah yang terbaik bagi kita semua
dan yang terbaik bagi seluruh ciptaan-Nya. Oleh karena itu, yang menjadi objek
dari pengharapan Kristiani seharusnya adalah kebaikan bersama – bahkan jika
kita mendapati hal itu sulit dilakukan. Di masa lalu, yang sering terjadi
adalah objek pengharapan kita seringkali terlalu egois dan mementingkan diri
sendiri: egosentris, serta berpandangan sempit (pengharapan tentang masa depan
yang lebih baik bagi diri saya, keluarga saya, dan negara saya dengan
mengorbankan orang lain; pengharapan tentang pertumbuhan ekonomi dan standard
kehidupan yang lebih tinggi bagi saya, bagi keluarga saya dan lain sebagainya).
Itu bukan kehendak Allah atau untuk kebaikan bersama!
Kalau
kita mau melakukan usaha untuk mendatangkan kebaikan bersama, maka itu berarti
kita turut berpartisipasi dalam pekerjaan Allah. Sebagai umat kristiani, dasar pengharapan kita
adalah Allah dan objek pengharapan kita adalah kehendak Allah. Kita harus menggantungkan
diri pada pekerjaan Allah, karena Allah bekerja di dalam diri kita dan Allah
tidak dapat dikesampingkan dari area mana pun dalam kehidupan kita. Namun itu semua
tidak berarti, bahwa segala sesuatunya otomatis menjadi baik dan kita tidak
bertanggung jawab atas apa yang terjadi di dalam kehidupan kita. Bagaimana pun
juga Allah tetap terlibat dengan cara-cara yang sangat misterius, dan akhirnya,
penyebab segala sesuatu yang salah, berdosa dan jahat adalah keegoisan manusia.
Oleh karena itu kita dapat menemukan Allah di antara para korban ketidakadilan,
mereka yang menjadi korban perbuatan dosa, kaum miskin dan terpinggirkan, serta
mereka yang sakit dan terbuang. Itulah yang diajarkan Yesus kepada kita. Itulah
makna penyaliban, karena Yesus adalah korban kekejaman manusia.
Bagaimana
kita dapat menyerahkan pengharapan dan kepercayaan kita kepada Allah? Kita bisa
melakukannya, karena Allah berkuasa, bahkan sangat berkuasa, bukan dengan
kekerasan atau paksaan, tetapi dengan kekuatan belas kasih dan cinta kasih.
Tindakan menindas yang brutal dan kejam tidak pernah menjadi dasar pengharapan
Kristen. Itu bukan kekuasaan Allah, dan bukan cara Allah bertindak. Penderitaan
luar biasa yang dialami banyak orang dalam konflik yang kejam, gempa bumi,
tsunami dan penyakit mewabah seperti HIV/AIDS bisa jadi menimbulkan
keputus-asaan bagi beberapa orang. Namun hal itu juga mendatangkan belas kasih
yang luar biasa. Bukankah yang paling dibutuhkan dunia adalah belas kasih yng
banyak? Inikah karya Allah yang misterius?
Kejatuhan
bank-bank dan korporasi baru-baru ini secara luas disebabkan oleh orang-orang
yang superkaya yang menjadi serakah. Mereka berhasil di posisi puncak, dan
menjadi pahlawan. Namun bukankah kaum miskin yang melihat mereka sebagai pelaku
kriminal yang keserakahannya harus kita tanggung? Apakah penemuan yang seperti
itu merupakan kehadiran karya Allah yang misterius? Apakah Allah sedang menulis
lurus dengan garis lengkung seperti yang dikatakan oleh Agustinus?
Kematian
Yesus, dan terutama kematian-Nya yang memalukan di kayu salib, membuat para
pengikut-Nya dan banyak orang lainnya putus asa. Dalam perjalanan ke Emaus, dua
orang pengikut Yesus berkata, ”Kami berharap Dialah yang menebus Israel.” Namun
penolakan para penguasa, pemuka agama, dan orang-orang lainnya telah
menghancurkan harapan tersebut. Di kayu salib, Yesus sendiri merasa diabaikan
Allah: ”Allah-Ku, Allah-Ku, mengapa Engkau meninggalkan Aku?”
Namun,
terlepas dari semua yang terjadi, mereka yang terus menerus mempercayai Allah,
seperti yang Yesus lakukan, perlahan melihat tangan Allah bekerja di dalam
tragedi yang menyedihkan itu. Mereka mulai melihat bahwa Yesus bangkit dari
kematian dan bahwa Roh Kudus-Nya kini berada di dalam mereka. Penyaliban
tersebut bukan berarti kegagalan. Penyaliban Yesus adalah kemenangan pradoks
karya Allah di dunia. Penyaliban tersebut adalah keselamatan dan pengharapan
kita tentang masa depan. Dalam hal ini kita memiliki Allah yang menulis di
garis lurus dengan garis lengkung. Itulah sebabnya mengapa kebangkitan Yesus
menjadi simbol pengharapan yang luar biasa bagi umat Kristen.
Kebangkitan
adalah tangan Allah yang bekerja ketika kita menyerahkan seluruh pengharapan
dan kepercayaan kita kepada Allah. Namun untuk ke depan, tidak cukup hanya
memiliki pengharapan. Kita harus memiliki sikap berpengharapan. Kontribusi
paling berharga yang dihasilkan umat Kristen di masa keputus-asaan adalah terus
menerus memiliki sikap berpengharapan, karena iman kita. Dengan demikian kita
juga menguatkan mereka yang kehilangan pengharapan.
Sumber:
Albert Nolan, Harapan Di Tengah Kesesakan Masa Kini:
Mewujudkan Injil Pembebasan (Jakarta: BPK Gunung Mulia, Cet-1, 2011), 5-16.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar