Bacaan: Daniel 6:1-12, Yohanes 3:16-17
Tema kita kali ini adalah Kerjasama antar umat beragama, seperti apa ...
?! Tema ini kerapkali muncul dalam
percakapan-percakapan dan
agenda rapat-rapat kita, tetapi perhatian kita tidak tertuju ke sana karena kita
punya cukup banyak alasan untuk tidak menempatkan realitas kemiskinan serta
kemajemukan budaya dan agama, sebagai prioritas kita. Kalau pun ada kepedulian
kita, kerjasama antar umat beragama masih kita pahami sebagai bantuan karitatif
yang dilakukan oleh gereja dalam bentuk mengunjungi orang dalam penjara dengan
membawa makanan dan memimpin renungan, menyediakan beras untuk membantu keluarga
miskin, serta mendirikan poliklinik gratis atau murah untuk orang miskin. Pertanyaannya, adalah apakah tidak ada cara-cara
bergereja lainnya, yang dapat kita lakukan dengan misi yang membangun
kesejahteraan bersama untuk orang-orang yang berbeda agama, gereja dan aliran?
Melihat potret gereja kita saat ini, rasanya tidak
berlebihan bila dikatakan bahwa hampir semua cara bergereja yang kita lakukan
mengikuti model dari Eropa dan Amerika, dan pemahaman teologi gereja kita masih
berakar pada teologi altar yang kita terima dari Barat. Kebaktian-kebaktian
kita, pola-pola pembinaan kita masih mengikuti model Barat. Nah, seperti apakah
wajah teologi gereja kita saat ini? Wajah
teologi kita saat ini memiliki beberapa ciri : Pertama, teologi kita sangat
menekankan keselamatan pribadi dan hal-hal yang bersifat rohani. Akibatnya Pola
PI (Pekabaran Injil) kita, tidak dilihat sebagai Kabar Baik untuk orang miskin,
tetapi sebagai panggilan untuk dibaptis dalam gereja dan mendapatkan keselamatan
sesudah mati.
Kedua,
teologi kita saat ini lebih menekankan pernyataan (theology of statement)
daripada tindakan (theology in action).
Oleh karena itu gereja tampak lebih sibuk merumuskan
dogma, atau melakukan kebaktian dan sakramen, daripada melakukan advokasi (atau
memberdayakan atau memulihkan) martabat orang yang telah
diperlakukan secara tidak adil. Ketiga, isi teologi kita tenggelam dalam dogma yang bersifat rutin dan
konvensional, sehingga dogma dan ajaran gereja tidak pernah dikritisi tapi juga
tidak pernah menjadi bagian yang menyatu dengan diri kita. Keempat, perspektif teologi kita lebih memihak kepada
golongan penguasa (agama, sosial, ekonomi dan politik) daripada golongan akar
rumput (kaum tertindas, wong cilik). Kelima, iman dan kepercayaan bersifat
universal untuk segala tempat dan waktu. Akibatnya sangat sulit bagi kita untuk
menerima dan menghargai orang-orang yang diluar komunitas/berbeda dengan kita. Teologi
seharusnya memperhatikan kinteks, tempat dan waktu. Dibutuhkan kepercayaan dan iman yang bersifat
kontekstual.
Indonesia, adalah sebuah negara di Asia dengan jumlah
penduduk yang sangat padat (Menurut data statistik, pada tahun 2005 jumlah
penduduk Indonesia adalah 218.868.791 juta, dan terdiri dari lebih 520 suku
bangsa) dengan beraneka budaya, bahasa, suku bangsa dan beranekaragam
agama-agama karena Indonesia mempunyai populasi jumlah orang-orang Muslim
terbesar di antara semua negara-negara di dunia, dan orang-orang Kristen
menjadi kelompok minoritas. Kerjasama dan dialog antar umat beragama sangat kita
butuhkan untuk menjernihkan dan menipiskan kecurigaan-kecurigaan dan
stereotipe-stereotipe tertentu yang menghasilkan trauma dan sikap eksklusif
kita. Menurut
David Tracy, percakapan sejati dapat terjadi di antara berbagai perspektif
keagamaan yang berbeda-beda, bahkan yang bertentangan sekalipun. Oleh karena
itu, melalui dialog, kita belajar untuk menghargai dan menerima orang lain yang
berbeda suku, ras dan agama sebagai keutuhan ciptaan Tuhan.
Melalui dialog, kita diingatkan, bahwa siapa pun kita
(apakah itu Islam, Hindu, Budha, Kristen maupun yang lainnya) “hadir ke dunia”
justru untuk mengatasi dan memerangi musuh-musuh bersama, yaitu : kemiskinan,
pelanggaran Hak-hak Azasi Manusia, persoalan sosial-politik, ekologi dan bukan
mencari musuh di antara pemeluk agama lain. Dengan demikian, dialog adalah
usaha membuat orang-orang merasa nyaman berada di rumah “kemajemukan.” Bukankah
Allah menerbitkan matahari bagi orang yang jahat dan yang baik dan menurunkan
hujan bagi orang yang benar dan orang yang tidak benar?[1]
Bukankah Petrus berkata, “Sesungguhnya aku telah mengerti bahwa Allah tidak
membedakan orang. Setiap
orang dari bangsa manapun yang takut akan Dia dan yang mengamalkan kebenaran
berkenan kepada-Nya.
Di dalam Alkitab tidak banyak diperlihatkan pedoman yang
spesifik, yang diberikan oleh Yesus kepada kita untuk mencoba berelasi dengan
orang-orang yang berasal dari komitmen iman dan tradisi-tradisi agama lain. Namun
Alkitab memberikan sebuah contoh yang indah melalui kehidupan Daniel. Berada di
pembuangan, sebagai tawanan tentu bukanlah sebuah pengalaman hidup yang
menyenangkan. Seandainya Daniel bisa memilih, tentu saja dia tidak ingin berada
di dalam situasi dan kondisi yang terus menerus mengancam hidupnya. Menghadapi
segala bentuk konspirasi yang dilakukan oleh para pejabat istana Nebukadnezar,
yang berupaya untuk mencelakakannya. Namun toh semuanya itu tidak membuat
Daniel menutup diri, dan membangun tembok yang tebal demi untuk menyelamatkan
dirinya. Dengan kebesaran hatinya, ia tetap berpegang teguh dengan identitas
dan integritasnya.
Suatu pedoman yang diberikan adalah cara Yesus untuk
membangun relasi dengan yang lainnya, yaitu dengan kasih-Nya dan kesediaan-Nya
untuk berbela rasa. Yesus menerima orang-orang lainnya sebagaimana mereka adanya.
Contohnya, adalah perjumpaan Yesus dengan perempuan Samaria dan perempuan Siro
Fenisia, dan Perumpamaan Orang Samaria yang baik hati, yang merefleksikan
dengan jelas penghargaan Allah terhadap keberagaman dan perbedaan, agar setiap kita dapat saling mengenal dan memahami,
dikasihi dan mengasihi. Bahkan menjadi orang-orang Samaria yang baik hati di
jaman modern sekarang ini. Mengikuti Yesus berarti
harus mengenal dan menghayati visi Yesus, dan visi Yesus adalah mewujudkan
kedatangan Kerajaan Allah di bumi. Oleh karena itu visi pelayanan gereja,
bukanlah sekedar dibangunnya gedung gereja, bertambahnya orang yang dibaptis,
dan makin besarnya pengaruh kekuasaan atau politik orang Kristen, namun tugas
panggilan untuk menjalankan misi Allah untuk membebaskan dan mendamaikan dunia
dari ketidakadilan dan dosa sosial. Akhirnya dari Yesus, kita belajar untuk
hidup berdampingan dengan orang-orang yang berbeda agama, karena tidak ada satu
orangpun yang dapat melakukan semuanya sendiri. Oleh karena itu marilah kita
bangun persahabatan dan dialog kehidupan, serta
belajar hidup dalam kemajemukan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar