Ketidaksetiaan atau penyelewengan dalam pernikahan, merupakan fenomena yang sudah tidak asing lagi dalam
kehidupan sehari-hari kita. Setiap hari kita dibombardir oleh berita dan cerita
media massa, yang menyuguhkan berita atau cerita tentang perselingkuhan (ketidaksetiaan atau penyelewengan dalam pernikahan) yang dilakukan oleh para selibriti, hingga anggota
DPRD, melalui layar televisi, koran/tabloid, twitter, youtube, facebook dan
sebagainya. Ambil saja contohnya, kisah raja padang rumput (golf), Tiger Woods,
yang saat ini kariernya menghadapi tantangan, keluarganya di ambang kehancuran, dan harga dirinya
terkoyak karena pesta seks dan perselingkuhan yang dilakukannya dengan lebih dari 120 perempuan di
berbagai tempat. Terkuaknya kasus Woods ini, membuat Elin, istrinya dan dua anak-anaknya
terluka dan sulit mengampuninya. Meski belum bercerai secara resmi, Woods dan
istrinya dikabarkan resmi tidak tinggal seatap, dan tampaknya rumah tangga mereka
sudah tidak bisa dipertahankan lagi. Untuk
kesekian kalinya, infidelitas
(ketidaksetiaan atau penyelewengan dalam pernikahan) telah meluluh-lantakkan
kehidupan rumah tangga, dan meninggalkan akar kepahitan di dalam hati suami
atau istri dan anak-anak.
Frank Pittman
dalam artikelnya, “Beyond Betrayal: Life after Infidelity” (Psychology Today,
May/June 1993) membagi infidelitas dalam
empat kategori. Dalam berbagai kasus, penyelewengan awal merupakan
”Penyelewengan Kecelakaan.” Misalnya seorang pemuda diajak pergi ke luar kota
oleh bosnya dan bos itu kemudian memesan dua PSK. Satu untuk bosnya dan satu
untuk dirinya. Akhirnya ia pun terlibat dalam penyelewengan.
Yang menjadi
penyebabnya di sini dan pada banyak kasus Penyelewengan Kecelakaan adalah rasa
sungkan yang salah kaprah. Ia seharusnya menolak tawaran bosnya tapi merasa
sungkan "melukai" atau "mempermalukan" PSK tersebut.
Akibatnya ia memutuskan mengikuti arus dan bersikap "sopan" yaitu
tidur dengan PSK tersebut. Meskipun semua laki-laki dan perempuan dapat jatuh
dalam "kecelakaan" ini, yang paling rawan adalah mereka yang (a) suka
minum-minum, (b) sering bepergian ke luar kota, (c) jarang menerima tawaran
kencan, (d) ikatan pernikahannya tidak kuat, (e) teman- temannya suka main
perempuan, dan (f) takut menghadapi tantangan.
Kategori
kedua adalah “Penyelewengan Romantik” di mana orang yang terlibat merasa "jatuh
cinta" pada seorang yang biasanya, (a) jauh lebih muda atau lebih tua, (b)
bergantung atau dominan, dan (c) mempunyai masalah hidup jauh lebih besar dari
pada masalah hidup orang itu sendiri. Orang yang rawan "jatuh cinta"
pada tipe orang-orang seperti yang dipaparkan ini biasanya adalah mereka yang
sedang menghadapi krisis dalam hidup, sehingga rasanya tidak sanggup hidup
terus, atau yang menghadapi perubahan drastis dalam hidup.
Penyelewengan
Romantik biasanya berfungsi sebagai obat bius yang dapat mengangkat seseorang
dari depresi yang dalam, walaupun hanya untuk sementara. Di selang waktu antara
ekstasi, orang itu akan merasa lebih depres, lebih sendiri, lebih terasing, dan
lebih bergantung pada hubungan infidelitas
ini.
Kategori
ketiga adalah “Aransemen Pernikahan” di mana yang terlibat biasanya adalah mereka yang
berada dalam pernikahan yang buruk dan memilih untuk menjalin hubungan dengan
orang ketiga dengan tujuan supaya mereka dapat menghindari kepahitan hidup
mereka. Dengan "aransemen" ini mereka dan tidak usah menyelesaikan
problem dalam pernikahan mereka dan secara jarak jauh tetap dapat
"memelihara" pernikahan mereka. Dari kasus ini kita melihat
penyelewengan dapat menghancurkan pernikahan yang baik tetapi dapat pula
"menolong" menstabilkan pernikahan yang buruk.
Kategori
keempat ialah “Pria Jantan”, di mana pada umumnya yang pria-pria
terlibat ini memiliki konsep kejantanan yang kaku serta mengagungkan kejantanan
mereka. Mereka terlibat dari satu penyelewengan ke penyelewengan lain karena
mereka membutuhkan wanita untuk memantapkan rasa kejantanan mereka. Mereka
melihat wanita melalui kaca mata konflik: di satu pihak mereka melihat wanita
sebagai makhluk yang lebih rendah dari pada mereka tetapi sebaliknya mereka pun
merasa wanita terlalu kuat bagi mereka. Akibatnya mereka merasa berkepentingan
untuk menundukkan wanita melalui petualangan seks supaya mereka tetap merasa
superior terhadap wanita.
Motif atau alasan yang
mendasari ketidaksetiaan dan penyelewengan dari keempat katagori ini berbeda,
namun pada intinya mengungkapkan satu hal yang sama, yaitu ketidaksetiaan dan
penyelewengan dalam pernikahan, akan berakibat pada rusaknya relasi di antara
suami, istri dan anak-anak dan hancurnya sendi-sendi kehidupan keluarga.
Pengamatan Dr. Pittman ini menolong mereka yang terlibat dalam infidelitas
untuk berbenah diri dan melakukan introspeksi.
Dalam satu Seminar yang diselenggarakan oleh Badan
Koordinasi Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) pada tanggal 19 Mei 2009 di
Jakarta, diungkapkan data hasil survey, bahwa sekitar 25% laki-laki dan 15%
perempuan di Indonesia yang sudah menikah, khususnya yang tinggal di kota besar
seperti Jakarta, pernah melakukan infidelitas
(ketidaksetiaan atau penyelewengan dalam pernikahan).[1]
Infidelitas di sini dipahami sebagai hubungan seksual dan atau non-seksual suami istri dengan orang lain yang
bukan pasangannya (extra marital affairs).
Pertanyaannya sekarang, adalah apa sebenarnya penyebab utama seorang suami atau seorang istri untuk melakukan infidelitas(ketidaksetiaan atau penyelewengan dalam pernikahan)?
Dari keempat kategori penyelewengan tersebut, kita dapat
mengindikasikan dua hal, yakni : 1) identitas dan konsep diri yang rapuh
(katagori Penyelewengan Kecelakaan dan Pria Jantan); 2) tidak terpenuhinya
kebutuhan-kebutuhan dasar (atau kebutuhan-kebutuhan emosional) suami atau istri
oleh pasangannya (katagori Penyelewengan Romantik dan Aransemen
Pernikahan), dan kebutuhan-kebutuhan tersebut malah terpenuhi di dalam wanita
atau pria lain (Wanita Idaman Lain dan Pria Idaman Lain).[2] Karena
itu infidelitas mengindikasikan kegagalan suami atau istri untuk memenuhi
kebutuhan-kebutuhan dasar pasangannya.
Dalam bukunya Her Needs: Building an
Affair-Proof Marriage, Williard Harley[3] mengemukakan, bahwa pada dasarnya baik suami maupun
istri, masing-masing mempunyai lima kebutuhan dasar yang harus dipenuhi. Tidak
terpenuhinya salah satu dari kebutuhan suami dan atau istri tersebut, akan
membuat pernikahan menjadi sangat rawan terhadap infidelitas. Menurut Harley, ada lima kebutuhan dasar istri, yaitu : 1)
Afeksi (kasih sayang). Kasih sayang dapat diungkapkan melalui pelbagai cara
seperti pelukan, ciuman, sebuah sajak, bunga, ajakan untuk santap malam bedua,
membukakan pintu mobil, bergandengan tangan, mengusap punggung dll. Oleh karena itu, relasi intim dalam kehidupan suami dan
istri, sangat diperlukan, berapa pun usia pernikahan mereka.
2) Dialog atau Percakapan timbal balik. Seorang istri membutuhkan suaminya untuk
bercakap-cakap dengannya dan mendengarkannya. Relasi yang intim tidak
dikembangkan hanya secara fisik, namun juga secara verbal atau non-fisik. 3) Kejujuran dan
Keterbukaan. Perasaan aman adalah benang merah yang
menjalin kelima kebutuhan dasar istri, karena itu dibutuhkan kejujuran dan
komunikasi yang terbuka di antara suami dan istri. Bila seorang suami tidak memelihara kejujuran dan komunikasi yang
terbuka terhadap istrinya, maka ia mengabaikan kepercayaan istrinya dan pada
akhirnya melenyapkan rasa amannya.
4) Komitmen terhadap Keuangan. Seorang istri membutuhkan dukungan uang yang cukup
untuk merasakan hidup yang nyaman, yang membuat ia merasa didukung dan
diperhatikan. Oleh karena itu seorang suami perlu memberikan
dukungan keuangan yang cukup bagi istri untuk mencukupi kebutuhan rumah tangga
dan keluarga. 5) Komitmen terhadap Keluarga. Seorang
istri membutuhkan suami yang dapat menjadi seorang ayah dan suami yang baik,
yang mempunyai komitmen terhadap keluarga, menjadi pemimpin dalam keluarga dan
menjadi teladan moral bagi anak-anaknya.
Sementara itu, ada lima kebutuhan dasar suami, yaitu : 1) Pemenuhan
Kebutuhan Seksual. Bagi seorang suami, terpenuhinya kebutuhan seksual (secara
wajar) merupakan hal yang utama dalam membangun suatu pernikahan yang bahagia
dan memuaskan. 2) Teman Berekreasi. Suami membutuhkan istri untuk menjadi teman
dan sahabat berekreasi. Setelah menikah, istri perlu belajar menyukai aktivitas
suaminya lebih daripada menyukai aktivitasnya sendiri. 3) Pasangan yang
menarik. Seorang suami, membutuhkan ketertarikan secara fisik dari pasangannya, karena itu ia ingin
melihat istrinya menarik baginya. 4) Dukungan Keluarga. Seorang suami
membutuhkan dukungan keluarga, yang memberikan kedamaian dan ketenangan setelah
ia lelah bekerja dan pulang ke rumah. 5) Kekaguman. Seorang suami membutuhkan
penghargaan dan rasa bangga dari istrinya, ketimbang menuntut dan menekannya
untuk mencapai lebih banyak hal lagi.
Alkitab memberikan kepada kita, berbagai contoh atau fenomena yang
berkaitan dengan ketidaksetiaan dan penyelewengan dalam pernikahan, karena
dimungkinkan oleh tradisi dan budaya. Ambil saja contohnya, Kasus Hanna dan
Penina. Elkana adalah salah seorang suami di dalam Perjanjian Lama, yang memiliki istri lebih daripada satu. Elkana mungkin menikahi
Penina, karena Hanna tidak dapat melahirkan seorang anak baginya. Walaupun tradisi dan budaya saat itu, mengijinkan
seorang suami untuk memiliki istri lebih dari satu demi kelangsungan suku dan
marganya, namun poligami atau hadirnya perempuan lain dalam pernikahan, selalu
melahirkan konflik yang berkepanjangan dan menyakitkan. Kita ingat saja Kisah
Sara dan Hagar (Kejadian 21), kemudian Kisah Lea dan Rachel (Kejadian 30).
Di dalam 1 Samuel 1:1-11, kita melihat konflik yang terjadi di antara Hanna dan Penina. Mengapa Hanna cemburu
kepada Penina? Mengapa Penina cemburu kepada Hanna? Bagaimana cara Penina
mengekspresikan kecemburuannya? Lalu bagaimana dengan reaksi Hanna? Di dalam
budaya yang menempatkan perempuan itu berharga bila ia dapat melahirkan
anak-anak bagi suaminya, mengapa Elkana masih begitu mengasihi Hanna? Bagaimana
perasaan Hanna ketika Elkana mengawini Penina? Marah, sedih dan kecewa? Kalau
Anda jadi Hanna, senang dan bahagiakah Anda ketika suami Anda mengawini
perempuan lain? Karena itu apapun alasannya, ketidaksetiaan dan penyelewengan
hanya akan menyisakan ketidakbahagiaan, dan duka lara di dalam hati.
Oleh karena itu, pernikahan adalah komitmen untuk bertumbuh bersama, dan belajar untuk
menjadi suami dan atau istri yang baik. Memperhatikan kebutuhan masing-masing,
baik suami maupun istri, menjadi matang dan dewasa dalam pernikahan. Marriage is about growing and learning to be
a better person. It’s not about being happy all the time. Pernikahan juga bukan sekadar gairah yang menyala-nyala dan
romantisme seperti waktu berpacaran. Gairah yang menyala-nyala akhirnya akan
reda, dan romantisme juga tidak akan semenyengat dulu ketika masih berpacaran. Sebagai
gantinya, adalah ikatan batin yang kuat dan komitmen untuk saling
membahagiakan. The romantic feelings may
come and go, but your feelings of togetherness and bondedness don’t have to
quit.
Kehadiran WIL
(Wanita Idaman Lain) atau PIL
(Pria Idaman Lain), memang
banyak dituding sabagai biang kerok terjadinya infidelitas dalam pernikan. Tidak sedikit
istri yang langsung melabrak perempuan yang nyeleweng dengan suaminya, ataupun suami
yang langsung ngamuk kepada laki-laki yang nyeleweng dengan istrinya, begitu
mereka mengetahui ketidaksetiaan dan penyelewengan pasangannya. Tapi, benarkah
semua “kesalahan” itu harus ditimpakan kepada para WIL atau PIL? Kalau memang
rumah tangga mereka “baik-baik” saja, dan pasangan mereka pun “baik-baik”
saja, kenapa sampai bisa masuk “orang ketiga” di tengah-tengah mereka?
Mungkin saja mereka
sedang mengalami krisis perhatian, kasih sayang, perlindungan, merasa
benar-benar “kesepian”, kekosongan, benar-benar butuh “sandaran”, dan “teman
berbagi”. Tetapi bukankah “perasaan cinta” kepada orang yang bukan pasangannya tidak
akan tumbuh subur dan merajalela, apabila kita dapat memupuk-kembangkan dan
merawat cinta kepada “pasangannya”?! Dan hal itu, tentu saja harus dilakukan
oleh kedua belah pihak, dan bukan hanya salah satu pihak saja. Dengan demikian
kesetiaan, kepercayaan, kejujuran dan keterbukaan benar-benar harus menjadi
“pilar” yang kokoh dalam berumah tangga, dan dilakukan oleh suami dan istri
atas dasar “kasih,” bukan karena “keharusan” dan “keterpaksaan” semata-mata.
Saya ingin mengakhiri renungan ini dengan sebuah kisah, ”Dua orang yang
baik, tapi, mengapa perkawinan tidak berakhir bahagia?” Ibuku adalah seorang yang
sangat baik, sejak kecil, aku melihatnya dengan begitu gigih menjaga keutuhan
keluarga. Ia selalu bangun dini hari, memasak bubur yang panas untuk ayah,
karena lambung ayah kurang baik, dan pagi hari hanya bisa makan bubur. Setelah itu, masih harus memasak sepanci nasi untuk anak-anak, karena anak-anak sedang dalam masa pertumbuhan, dan mereka perlu makan nasi agar tidak lapar di sekolah. Setiap sore, ibu selalu membungkukkan badan menyikat panci, dan setiap panci di rumah kami bisa dijadikan cermin, karena tidak ada noda sedikitpun. Menjelang malam, dengan giat ibu membersihkan lantai, mengepel seinci demi seinci, lantai di rumah tampak lebih bersih dibanding sisi tempat tidur orang lain, tiada debu sedikit pun meski berjalan dengan kaki telanjang. Ibuku adalah seorang perempuan yang sangat rajin. Namun, di mata ayahku, ibu bukanlah pasangan yang baik. Dalam proses pertumbuhanku, tidak hanya sekali saja ayah selalu menyatakan kesepiannya dalam perkawinan, dan tidak memahaminya. Ayahku adalah seorang laki-laki yang bertanggung jawab. Ia tidak merokok, tidak minum-minuman keras. Serius dalam pekerjaan, dan setiap hari berangkat kerja tepat waktu, bahkan saat libur juga masih mengatur jadwal sekolah anak-anak, dan mengatur waktu istirahat anak-anak. Ia adalah seorang ayah yang penuh tanggung jawab, karena ia selalu mendorong anak-anaknya untuk berpretasi dalam pelajaran. Ia suka main catur, membuat kaligrafi, dan suka larut dalam dunia buku-buku kuno.
Ayahku adalah seorang laki-laki yang baik, di mata anak-anak, ia maha besar seperti langit, menjaga kami, melindungi kami dan mendidik kami. Hanya saja, di mata ibuku, ia juga bukan seorang pasangan yang baik. Dalam proses pertumbuhanku, kerap kali aku melihat ibu menangis terisak secara diam diam di sudut halaman. Ayah menyatakannya dengan kata-kata, sedang ibu dengan aksi, menyatakan kepedihan yang mereka jalani dalam perkawinan. Dalam proses pertumbuhan, aku melihat juga mendengar ketidakberdayaan dalam perkawinan ayah dan ibu, sekaligus merasakan betapa baiknya mereka, dan mereka layak mendapatkan sebuah perkawinan yang baik. Sayangnya, dalam masa-masa keberadaan ayah di dunia, kehidupan perkawinan mereka lalui dalam kegagalan, sedangkan aku, juga tumbuh dalam kebingungan, dan aku bertanya pada diriku sendiri : Dua orang yang baik mengapa tidak diiringi dengan perkawinan yang bahagia? Setelah dewasa, aku akhirnya memasuki usia perkawinan, dan secara perlahan-lahan, akupun mengetahui jawaban akan pertanyaan ini. Di masa awal perkawinan, aku juga sama seperti ibu, berusaha menjaga keutuhan keluarga, menyikat panci dan membersihkan lantai, dengan sungguh-sungguh berusaha memelihara perkawinan sendiri. Anehnya, aku tidak merasa bahagia ; dan suamiku sendiri, sepertinya juga tidak bahagia. Aku merenung, mungkin lantai kurang bersih, masakan tidak enak, lalu, dengan giat aku membersihkan lantai lagi, dan memasak dengan sepenuh hati. Namun, rasanya, kami berdua tetap saja tidak bahagia. Hingga suatu hari, ketika aku sedang sibuk membersihkan lantai, suamiku berkata : ”Istriku, temani aku sejenak mendengar alunan musik!” Dengan mimik tidak senang aku berkata : ”Apakah kau tidak melihat masih ada separoh lantai lagi yang belum di pel ?” Begitu kata-kata ini terlontar, akupun termenung, kata-kata yang sangat tidak asing di telinga, dalam perkawinan ayah dan ibuku, ibu juga kerap berkata begitu kepada ayah. Aku sedang mempertunjukkan kembali perkawinan ayah dan ibu, sekaligus mengulang kembali ketidakbahagiaan dalam perkawinan mereka. Ada beberapa kesadaran muncul dalam hatiku.
Apa yang kamu inginkan? Aku hentikan sejenak pekerjaanku, lalu memandang suamiku, dan teringat akan ayahku. Ia selalu tidak mendapatkan pasangan yang dia inginkan dalam perkawinannya, waktu ibu menyikat panci lebih lama daripada menemaninya. Terus menerus mengerjakan urusan rumah tangga, adalah cara ibu dalam mempertahankan perkawinan, ia memberi ayah sebuah rumah yang bersih, namun, jarang menemaninya, sibuk mengurus rumah, ia berusaha mencintai ayah dengan caranya, dan cara ini adalah mengerjakan urusan rumah tangga. Dan aku, aku juga menggunakan caraku berusaha mencintai suamiku. Cara saya juga sama seperti ibu, perkawinan saya sepertinya tengah melangkah ke dalam sebuah cerita, dua orang yang baik mengapa tidak diiringi dengan perkawinan yang bahagia. Kesadaran ini mendorong aku untuk mengambil keputusan yang berbeda. Aku hentikan sejenak pekerjaanku, lalu duduk di sisi suami, menemaninya mendengar musik, dan aku bertanya kepada suamiku : “Apa yang kau butuhkan?” ? “Aku membutuhkanmu untuk menemaniku mendengar musik, rumah kotor sedikit tidak apa-apa-lah, nanti aku carikan pembantu untukmu, dengan begitu kau bisa menemaniku!” ujar suamiku. “Aku kira kamu perlu rumah yang bersih, ada yang memasak untukmu, ada yang mencuci pakaianmu..” dan aku mengatakan sekaligus serentetan hal-hal yang dibutuhkannya. “Semua itu tidak penting-lah!” ujar suamiku. “Yang paling kuharapkan adalah kau bisa lebih sering menemaniku” Ternyata sia-sia semua pekerjaan yang aku lakukan, hasilnya benar-benar membuat aku terkejut.
Kami terus menerus melakukan segala sesuatu untuk memenuhi kebutuhan masing-masing, dan baru aku sadari ternyata dia juga telah banyak melakukan pekerjaan yang sia-sia, karena kami memiliki cara masing-masing bagaimana mencintai, namun, bukannya cara pihak kedua. Sejak itu, aku menderetkan sebuah daftar kebutuhan suami, dan meletakkannya di atas meja buku, Begitu juga dengan suamiku, dia juga menderetkan sebuah daftar kebutuhanku. Puluhan kebutuhan yang panjang lebar dan jelas, seperti misalnya, waktu senggang menemani pihak kedua mendengar musik, saling memeluk kalau sempat, setiap pagi memberi sentuhan selamat jalan bila berangkat. Beberapa hal cukup mudah dilaksanakan, tapi ada juga yang cukup sulit, misalnya dengarkan aku, jangan memberi komentar. Ini adalah kebutuhan suami. Kalau saya memberinya usul, dia bilang akan merasa dirinya akan tampak seperti orang bodoh. Menurutku, ini benar-benar masalah gengsi laki-laki. Aku juga meniru suami tidak memberikan usul, kecuali dia bertanya padaku, kalau tidak aku hanya boleh mendengar dengan serius, sampai tuntas, demikian juga ketika salah jalan. Bagiku ini benar-benar sebuah jalan yang sulit dipelajari, namun, jauh lebih santai daripada mengepel, dan dalam kepuasan kebutuhan kami ini, perkawinan yang kami jalani juga kian hari semakin penuh daya hidup. Saat aku lelah, saya memilih beberapa hal yang gampang dikerjakan, misalnya menyetel musik ringan, dan kalau lagi segar bugar merancang perjalanan keluar kota. Menariknya, pergi ke taman flora adalah hal bersama dan kebutuhan kami, setiap ada pertikaian, selalu pergi ke taman flora, dan selalu bisa menghibur gejolak hati masing-masing. Sebenarnya, kami saling mengenal dan mencintai juga dikarenakan kesukaan kami pada taman flora, lalu bersama kita menapak ke tirai merah perkawinan, kembali ke taman bisa kembali ke dalam suasana hati yang saling mencintai bertahun-tahun silam. Bertanya kepada suami atau istri : “Apa yang kau inginkan?” Kata-kata ini telah menghidupkan sebuah jalan kebahagiaan lain dalam perkawinan kami. Kami berdua akhirnya melangkah ke jalan bahagia.[4]
Ayahku adalah seorang laki-laki yang baik, di mata anak-anak, ia maha besar seperti langit, menjaga kami, melindungi kami dan mendidik kami. Hanya saja, di mata ibuku, ia juga bukan seorang pasangan yang baik. Dalam proses pertumbuhanku, kerap kali aku melihat ibu menangis terisak secara diam diam di sudut halaman. Ayah menyatakannya dengan kata-kata, sedang ibu dengan aksi, menyatakan kepedihan yang mereka jalani dalam perkawinan. Dalam proses pertumbuhan, aku melihat juga mendengar ketidakberdayaan dalam perkawinan ayah dan ibu, sekaligus merasakan betapa baiknya mereka, dan mereka layak mendapatkan sebuah perkawinan yang baik. Sayangnya, dalam masa-masa keberadaan ayah di dunia, kehidupan perkawinan mereka lalui dalam kegagalan, sedangkan aku, juga tumbuh dalam kebingungan, dan aku bertanya pada diriku sendiri : Dua orang yang baik mengapa tidak diiringi dengan perkawinan yang bahagia? Setelah dewasa, aku akhirnya memasuki usia perkawinan, dan secara perlahan-lahan, akupun mengetahui jawaban akan pertanyaan ini. Di masa awal perkawinan, aku juga sama seperti ibu, berusaha menjaga keutuhan keluarga, menyikat panci dan membersihkan lantai, dengan sungguh-sungguh berusaha memelihara perkawinan sendiri. Anehnya, aku tidak merasa bahagia ; dan suamiku sendiri, sepertinya juga tidak bahagia. Aku merenung, mungkin lantai kurang bersih, masakan tidak enak, lalu, dengan giat aku membersihkan lantai lagi, dan memasak dengan sepenuh hati. Namun, rasanya, kami berdua tetap saja tidak bahagia. Hingga suatu hari, ketika aku sedang sibuk membersihkan lantai, suamiku berkata : ”Istriku, temani aku sejenak mendengar alunan musik!” Dengan mimik tidak senang aku berkata : ”Apakah kau tidak melihat masih ada separoh lantai lagi yang belum di pel ?” Begitu kata-kata ini terlontar, akupun termenung, kata-kata yang sangat tidak asing di telinga, dalam perkawinan ayah dan ibuku, ibu juga kerap berkata begitu kepada ayah. Aku sedang mempertunjukkan kembali perkawinan ayah dan ibu, sekaligus mengulang kembali ketidakbahagiaan dalam perkawinan mereka. Ada beberapa kesadaran muncul dalam hatiku.
Apa yang kamu inginkan? Aku hentikan sejenak pekerjaanku, lalu memandang suamiku, dan teringat akan ayahku. Ia selalu tidak mendapatkan pasangan yang dia inginkan dalam perkawinannya, waktu ibu menyikat panci lebih lama daripada menemaninya. Terus menerus mengerjakan urusan rumah tangga, adalah cara ibu dalam mempertahankan perkawinan, ia memberi ayah sebuah rumah yang bersih, namun, jarang menemaninya, sibuk mengurus rumah, ia berusaha mencintai ayah dengan caranya, dan cara ini adalah mengerjakan urusan rumah tangga. Dan aku, aku juga menggunakan caraku berusaha mencintai suamiku. Cara saya juga sama seperti ibu, perkawinan saya sepertinya tengah melangkah ke dalam sebuah cerita, dua orang yang baik mengapa tidak diiringi dengan perkawinan yang bahagia. Kesadaran ini mendorong aku untuk mengambil keputusan yang berbeda. Aku hentikan sejenak pekerjaanku, lalu duduk di sisi suami, menemaninya mendengar musik, dan aku bertanya kepada suamiku : “Apa yang kau butuhkan?” ? “Aku membutuhkanmu untuk menemaniku mendengar musik, rumah kotor sedikit tidak apa-apa-lah, nanti aku carikan pembantu untukmu, dengan begitu kau bisa menemaniku!” ujar suamiku. “Aku kira kamu perlu rumah yang bersih, ada yang memasak untukmu, ada yang mencuci pakaianmu..” dan aku mengatakan sekaligus serentetan hal-hal yang dibutuhkannya. “Semua itu tidak penting-lah!” ujar suamiku. “Yang paling kuharapkan adalah kau bisa lebih sering menemaniku” Ternyata sia-sia semua pekerjaan yang aku lakukan, hasilnya benar-benar membuat aku terkejut.
Kami terus menerus melakukan segala sesuatu untuk memenuhi kebutuhan masing-masing, dan baru aku sadari ternyata dia juga telah banyak melakukan pekerjaan yang sia-sia, karena kami memiliki cara masing-masing bagaimana mencintai, namun, bukannya cara pihak kedua. Sejak itu, aku menderetkan sebuah daftar kebutuhan suami, dan meletakkannya di atas meja buku, Begitu juga dengan suamiku, dia juga menderetkan sebuah daftar kebutuhanku. Puluhan kebutuhan yang panjang lebar dan jelas, seperti misalnya, waktu senggang menemani pihak kedua mendengar musik, saling memeluk kalau sempat, setiap pagi memberi sentuhan selamat jalan bila berangkat. Beberapa hal cukup mudah dilaksanakan, tapi ada juga yang cukup sulit, misalnya dengarkan aku, jangan memberi komentar. Ini adalah kebutuhan suami. Kalau saya memberinya usul, dia bilang akan merasa dirinya akan tampak seperti orang bodoh. Menurutku, ini benar-benar masalah gengsi laki-laki. Aku juga meniru suami tidak memberikan usul, kecuali dia bertanya padaku, kalau tidak aku hanya boleh mendengar dengan serius, sampai tuntas, demikian juga ketika salah jalan. Bagiku ini benar-benar sebuah jalan yang sulit dipelajari, namun, jauh lebih santai daripada mengepel, dan dalam kepuasan kebutuhan kami ini, perkawinan yang kami jalani juga kian hari semakin penuh daya hidup. Saat aku lelah, saya memilih beberapa hal yang gampang dikerjakan, misalnya menyetel musik ringan, dan kalau lagi segar bugar merancang perjalanan keluar kota. Menariknya, pergi ke taman flora adalah hal bersama dan kebutuhan kami, setiap ada pertikaian, selalu pergi ke taman flora, dan selalu bisa menghibur gejolak hati masing-masing. Sebenarnya, kami saling mengenal dan mencintai juga dikarenakan kesukaan kami pada taman flora, lalu bersama kita menapak ke tirai merah perkawinan, kembali ke taman bisa kembali ke dalam suasana hati yang saling mencintai bertahun-tahun silam. Bertanya kepada suami atau istri : “Apa yang kau inginkan?” Kata-kata ini telah menghidupkan sebuah jalan kebahagiaan lain dalam perkawinan kami. Kami berdua akhirnya melangkah ke jalan bahagia.[4]
[1] “25% Pria di Kota Besar Selingkuh” KOMPAS, Rabu,
20 Mei 2009
[2] M.
Garry Neuman, seorang Konselor Pernikahan dalam penelitian yang dilakukannya
terhadap 200 laki-laki yang berselingkuh, menemukan fakta bahwa 48% suami
menyatakan ketidakpuasan emosional sebagai alasan utama berselingkuh, dan hanya
8% yang menyatakan ketidakpuasan seksual sebagai alasan utama berselingkuh.
[3] Williard Harley. Her Needs : Building an
Affair-Proof Marriage. (Grand Rapids,
Revell : Twelfth Printing, March, 2005).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar