Bacaan: Matius
19:1-12
Seorang pria mendatangi seorang Guru. Katanya, “Guru,
saya sudah bosan hidup. Saya benar-benar merasa jenuh. Rumah tangga saya
berantakan. Usaha saya kacau. Apa pun yang saya lakukan selalu gagal. Saya ingin mati saja !” Sang Guru tersenyum, “Oh, kamu sakit.”
“Tidak Guru, saya tidak sakit. Saya sehat. Hanya jenuh dengan kehidupan.
Itu sebabnya saya ingin mati saja !”
Sang Guru tidak mendengarkan pembelaannya. Lalu ia berkata, “Kamu sakit,
dan penyakitmu itu bernama “Alergi Hidup.” Ya kamu alergi terhadap kehidupan.
Banyak sekali di antara kita yang alergi terhadap kehidupan. Sungai kehidupan ini mengalir terus, tetapi kita
menginginkan keadaan status-quo. Kita berhenti di tempat, dan kita tidak ikut
mengalir. Itu sebabnya kita jatuh sakit. Penolakan kita untuk ikut mengalir
bersama kehidupan membuat kita sakit. Usaha pasti ada pasang surutnya. Dalam
berumah tangga, pertengkaran kecil itu memang wajar. Persahabatan pun tidak
selalu langgeng. Apa sih yang abadi dalam hidup ini ? Kita tidak menyadari
sifat kehidupan. Kita ingin mempertahankan suatu keadaan. Kemudian kita gagal,
kecewa dan menderita.”
Karena
itu, penyakitmu itu bisa disembuhkan, asal kamu benar-benar bertekad ingin
sembuh dan bersedia mengikuti petunjukku,” kata Sang Guru. Tetapi pria itu
menolak tawaran Sang Guru. Dia tidak ingin sembuh dan betul2 ingin mati.
“Baiklah.
Kalau begitu besok sore kamu akan mati. Ambillah botol obat ini. Malam nanti,
minumlah separuh isi botol ini. Sedangkan separuh sisanya kauminum besok sore
jam enam. Maka besok jam delapan malam kau akan mati dengan tenang,” kata Sang Guru. Kini, giliran pria itu menjadi
bingung. Sebelumnya, semua Guru yang ia datangi selalu berupaya untuk
memberikan semangat hidup. Namun, Guru yang satu ini aneh. Diharapkan memberi
semangat hidup, malah menawarkan racun. Tetapi, karena ia memang sudah betul2
jenuh, ia menerimanya dengan senang hati. Setibanya di rumah, ia langsung
menghabiskan setengah botol racun yang disebut “obat” oleh Sang Guru tadi. Lalu,
ia merasakan ketenangan yang tidak pernah ia rasakan sebelumnya. Begitu rileks,
begitu santai! Tinggal satu malam dan satu hari lagi ia akan mati. Ia akan
terbebaskan dari segala macam masalah.
Malam
itu, ia memutuskan untuk makan malam bersama keluarga di restoran Jepang.
Sesuatu yang tidak pernah ia lakukan selama beberapa tahun terakhir. Ia ingin
meninggalkan kenangan manis. Sambil makan, ia bersenda gurau. Suasananya amat
harmonis. Sebelum tidur, ia mencium istrinya dan berbisik, “Sayang, aku
mencintaimu.”
Esoknya,
sehabis bangun tidur, ia membuka jendela kamar dan melihat keluar. Tiupan angin pagi menyegarkan tubuhnya, dan ia tergoda
untuk melakukan jalan pagi. Setengah jam
kemudian, ia menemukan istrinya masih tertidur. Tanpa membangunkannya, ia masuk
dapur dan membuat dua cangkir kopi. Satu untuk dirinya, satu lagi untuk
istrinya. Karena pagi itu adalah pagi terakhir, Ia ingin meninggalkan kenangan
manis.
Di
kantor, ia menyapa setiap orang, bersalaman dengan setiap orang. Stafnya pun
bingung. “Hari ini, Bos kita kok aneh ya ?” Dan sikap mereka pun langsung
berubah. Mereka pun menjadi lembut. Karena siang itu adalah siang terakhir, ia
ingin meninggalkan kenangan manis ! Tiba2 ia menjadi ramah dan lebih toleran,
bahkan menghargai pendapat2 yang berbeda. Tiba2 hidup menjadi indah. Ia mulai
menikmatinya. Pulang ke rumah, ia menemukan istri dan anak2 tercinta
menungguinya di beranda depan. Mereka berkata, “Ayah, maafkan kami semua.
Selama ini kami selalu merepotkan Ayah, sehingga Ayah selalu tertekan karena
tingkah polah kami.” Tiba2, sungai kehidupannya mengalir kembali. Tiba2, hidup
menjadi sangat indah. Ia mengurungkan niatnya untuk bunuh diri. Tetapi bagaimana
dengan setengah botol yang sudah ia minum sore sebelumnya ?
Ia
mendatangi Sang Guru lagi. Melihat wajah pria itu, rupanya Sang Guru langsung
mengetahui apa yang telah terjadi dan berkata, “Buang saja botol itu. Isinya
air biasa. Engkau sudah sembuh. Bila kau hidup dalam kekinian, bila kau hidup
dengan kesadaran bahwa maut dapat menjemputmu kapan saja, maka kau akan
menikmati setiap detik kehidupan. Hancurkan egomu, keangkuhanmu, kesombonganmu.
Jadilah lembut, selembut air, dan mengalirlah bersama sungai kehidupan. Kau tidak akan bosan dan jenuh. Kau akan merasa hidup.
Itulah rahasia kehidupan. Itulah kunci kebahagiaan.”
Pria
itu mengucapkan terima kasih dan menyalami Sang Guru, lalu pulang ke rumah
untuk mengulangi pengalaman malam sebelumnya. Akhirnya ia percaya, hidup masih
mengalir terus. Ia tidak pernah lupa menghayati hidup dalam kekinian. Itulah
sebabnya ia selalu bahagia, selalu tenang, dan selalu hidup !
Kita sering mengambil sikap seperti si pria tadi. Ingin selalu mempertahankan status-quo, atau keadaan
kita, dan menjadi alergi terhadap kehidupan. Kita lupa, bahwa sungai kehidupan ini mengalir terus.
Tidak mungkin kita dapat menolaknya dan berhenti di tempat. Kalau pun dapat, kita akan tertekan, dan sakit. Karena
itu satu-satunya pilihan, adalah Mengalirlah Seperti Air. Bila batu2 kehidupan
ini menghalang-halangi kita, sebagaimana air, kita harus tetap mencari celah,
atau membuat lobang-lobang kecil, bila perlu, agar terus mengalir. Jadi, bila
kehidupan ini tidak berjalan seperti yang kita harapkan (entah itu usaha,
pekerjaan atau rumah tangga kita), itu memang wajar. Apa sih yang abadi dalam
hidup ini ?
Menikmati setiap detik kehidupan, dan menghancurkan ego,
keangkuhan dan kesombongan kita, menjadi pilihan yang terbaik, bila kita ingin
memahami rahasia kehidupan ini dan menjadi bahagia. Itulah pesan moral yang mau
disampaikan kepada kita, melalui cerita tadi. Bagi kita, hidup dalam kekinian,
menjadi tenang dan bahagia, semua berpulang dan bergantung pada diri kita. Bagaimana kita mampu menghayati arti dan makna hidup ini,
serta menjalaninya dengan sebaik2nya. Karena itu hidup lajang atau pun menikah,
dapat membuat kita bahagia dan tenang. Tetapi dapat pula sebaliknya, membuat
kita tertekan, jenuh dan bosan. Yang penting adalah bagaimana kita (entah lajang
atau pun menikah) dapat menjadi berkat bagi sesama dan merasakan kebahagiaan di
dalam Tuhan !
Kadang-kadang kita
berpikir terlalu sederhana. Kita anggap setiap orang harus menikah, bila ingin
hidup bahagia. Karena itu, bila dalam usia tertentu, orang belum juga menikah,
akan merasa gelisah, cemas dan takut, karena takut dianggap aneh, kuper dst.
Pada satu pihak, pandangan itu dapat dipahami. Sebab secara teologis, dikatakan
Tuhan lah yang menciptakan laki2 dan perempuan. Tuhan jugalah yang membentuk lembaga
pernikahan. Maka pasangan yang menikah diharapkan menjadi penolong yang sepadan
dan juga ditugasi untuk memenuhi bumi dengan beranak cucu.
Namun pada pihak lain,
kita sadari pula, bahwa pernikahan adalah suatu ikatan yang kompleks, yang
melibatkan banyak faktor. Pernikahan tidak melulu berdasarkan ketertarikan
fisik, kecocokan pikiran dan perasaan. Di dalamnya terdapat unsur2 yang lain
yang harus dipertimbangkan, seperti faktor budaya, agama, latar belakang
pendidikan dan keluarga dst. Karena itu, jangan karena mengejar target, dalam
batas usia tertentu orang harus menikah, lalu semua faktor tsb kita abaikan.
Pernikahan dan kehidupan rumah tangga juga tidak selamanya berjalan dengan
mulus. Contohnya adalah si pria dalam cerita tadi.
Dalam Firman Tuhan
yang kita baca tadi, Tuhan Yesus menunjukkan betapa sulitnya membangun
kehidupan rumah tangga yang ideal. Pernikahan sebagai gerbang kehidupan berumah
tangga merupakan sebuah tindakan yang luhur. Tetapi semua itu harus
diperjuangkan dengan sungguh2. Namun kedua belas murid Tuhan Yesus selalu
melihat, bahwa orang-orang Israel mempraktekkan perceraian kalau ada banyak
ketegangan dalam kehidupan berkeluarga. Karena itu mereka mengatakan, bahwa
lebih baik bila orang tidak perlu menikah. Dalam ayat 11 Tuhan Yesus
menjelaskan, bahwa pernyataan para murid itu memang memiliki kebenaran, tetapi
orang yang menerima karunia dari Tuhan dapat mengerti siapakah sebenarnya yang
benar2 tidak dapat menikah. Tuhan Yesus menyebutkan adanya tiga golongan orang
yang tidak menikah. Golongan pertama yang tidak menikah adalah mereka yang
dilahirkan untuk tidak menikah, atau yang terkebiri sejak lahir. Golongan kedua
yang tidak menikah, ialah mereka yang dibuat orang lain tidak menikah, misalnya
pelayan-pelayan di istana raja yang dikebiri. Golongan ketiga, adalah mereka
yang atas kemauannya sendiri tidak menikah, supaya bebas dari segala gangguan
dalam bekerja di ladang Tuhan.
Dalam situasi
tertentu, seseorang yang terpanggil demi Kerajaan Allah, akan memilih untuk
tidak menikah. Karena itu keputusan untuk rela melajang demi Kerajaan Allah
tidaklah gampang untuk dipahami oleh semua orang. Pernyataan Tuhan Yesus mau
menunjukkan bahwa kaum lajang atau tidak menikah justru dapat menjadi berkat
karena sebagian besar waktu, tenaga dan pikiran tidak hanya dicurahkan hanya
bagi sedikit orang yang menjadi anggota keluarganya. Mereka dapat diberdayakan
untuk kepentingan yang lebih luas. Karena itu jangan kita memandang sebelah
mata terhadap orang yang tidak menikah. Bagi mereka yang tidak menikah, juga
tidak perlu merasa minder alias tidak percaya diri. Karena baik menikah atau
pun lajang sama-sama punya potensi untuk mengalami kehidupan yang berbahagia.
Yang penting ialah mengandalkan Tuhan dan memiliki semangat untuk melewati
berbagai tantangan hidup. Bahwa baik waktu, tenaga, pikiran mau pun harta benda
yang dimiliki dapat dipakai untuk menjadi berkat bagi sesama dan bagi kemuliaan
nama Tuhan.
Dalam 1 Korintus 7:20,
32a, 34a, Rasul Paulus berkata, “Baiklah tiap-tiap orang tinggal dalam keadaan,
seperti waktu ia dipanggil Allah. Orang yang tidak beristeri dan perempuan yang
tidak bersuami memusatkan perhatiannya pada perkara Tuhan, bagaimana Tuhan
berkenan kepadanya, supaya tubuh dan jiwa mereka kudus.”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar