Pada tanggal 14 November 1970, sebuah kecelakaan pesawat terbang telah
merenggut nyawa sebagian besar anggota Tim sepakbola Marshall University. Tujuh
puluh lima orang tewas, yakni staff, pelatih dan sejumlah pemimpin masyarakat
di Huntington, Virginia Barat, sehingga Universitas dan masyarakat sangat
terguncang. Dua dari orang-orang yang kehilangan sanak keluarga dan orang-orang
yang mereka kasihi, adalah Paul Griffen dan Annie Cantrell. Kisah mereka
berpautan, karena putra Griffen, Chris adalah tunangan Annie. Ketika Chris
tewas, mereka tenggelam dalam tahun-tahun yang penuh kesedihan, derita dan
dukacita yang tak tertanggungkan. Kata Griffen kepada Annie, “Kesedihan itu
memporak-porandakan!” Ia benar,
kesedihan – apa pun bentuknya – memang sering memporak porandakan. Kita semua,
pada waktu tertentu merasakan bagaimana kesedihan itu memporak-porandakan hidup
kita, karena kita terluka dan kehilangan pengharapan. Dengan kesal dan marah,
kita akan berkata, “Sudahlah tidak usah bicara tentang Tuhan. Buat apa saya ke
Gereja? Buat apa saya berdoa? Nyatanya, hidup saya seperti ini!”
Dorothee
Soelle, seorang teolog Protestan dalam bukunya Suffering pernah berkata, ”Pertanyaan terpenting yang dapat kita
ajukan tentang penderitaan adalah untuk siapa penderitaan itu terjadi? Apakah
penderitaan kita untuk Tuhan atau Iblis?” Dengan pertanyaan itu, Soelle mau
berkata, yang terpenting sebenarnya bukan dari mana tragedi atau kesedihan itu
datang, tetapi ke arah manakah penderitaan itu tertuju? Apakah derita itu kita
persembahkan kepada Tuhan atau Iblis? Jika kematian atau penderitaan, atau
orang yang kita kasihi membuat kita mengalami kepedihan hati, dendam, sakit
hati dan membenci kehidupan ini, itu berarti kita sudah membuat diri kita
menjadi seorang hamba atau pelayan Iblis. Tapi jika penderitaan dan keterhilangan
itu membuat kita menemukan Sumber Penghiburan yang tidak pernah kita mengerti
sebelumnya, maka kita telah membuat diri kita menjadi hamba atau pelayan Allah.
Kebenaran yang harus kita petik dalam situasi ini adalah : Tuhan tidak
mengasihi kita dengan cara yang sama seperti kita mengasihi Dia! Boleh jadi
kita pikir, Tuhan sudah meninggalkan dan membiarkan kita. Namun marilah kita
melihat apa yang dikerjakan Tuhan dalam perspektif yang lebih luas, karena iman
kita mengatakan, bahwa segala sesuatu yang dilakukan Tuhan itu selalu tepat dan
benar, sekalipun kita tidak dapat memahaminya. Saudara2, beriman kepada Allah
memungkinkan kita hidup dengan pengaharapan yang aktif, bukan dengan sikap
sinis. Dalam Yeremia 29:11 Firman Tuhan berkata, “Sebab Aku ini mengetahui
rancangan-rancangan apa yang ada pada-Ku mengenai kamu, demikianlah firman
Tuhan, yaitu rancangan damai sejahtera dan bukan rancangan kecelakaan, untuk
memberikan kepadamu hari depan yang penuh harapan.”
Ketika kesukaran datang seperti gunung penghalang, dan kesedihan menutup pandangan kita seperti kabut, kita memang menghadapi saat-saat yang sulit. Tetapi, kalau Tuhan Yang Mahakuasa dan Mahabaik itu mengijinkan kita mengalami kesedihan dan kesusahan itu, apakah Ia berharap iman kita hancur lebur di tengah goncangan itu?! Tentu saja tidak! Mungkin Tuhan sedang mengajarkan sesuatu tentang diri-Nya, yang selama ini mungkin belum kita sadari dan pahami. Seperti kata orang, ”no pain, no gain,” tidak ada rasa sakit, tidak ada hasil, dan melalui kesedihan dan kesusahan itulah iman kita diharapkan-Nya bertumbuh dan berbuah. Sebab Tuhan sudah, sedang dan tengah membentuk ulang hidup kita dan memurnikan kita seturut dengan kehendak-Nya.
Maria
Magdalena adalah orang pertama yang berjumpa dengan Tuhan yang bangkit.
Pengalamannya melihat Tuhan yang bangkit adalah pengalaman yang istimewa
baginya. Beberapa hari sebelumnya, kesedihan dan dukacita telah
memporak-porandakan hidup Maria, Petrus, Yohanes dan juga para murid lainnya
karena mereka telah menyaksikan dengan mata kepala sendiri, bagaimana Yesus
telah diperlakukan secara kejam baik oleh imam-imam kepala, ahli-ahli Taurat
maupun para serdadu Romawi, dan Yesus telah mati di atas kayu salib. Oleh
karena itu betapa hancur hati Maria, ketika melihat kubur iitu kosong dan mayat
Yesus tidak lagi ada di sana. Kesedihan dan dukacita yang mendalam, membuat
Maria tidak lagi mampu mengenali suara Yesus. Namun akhirnya, muncul kesadaran
dan lahir sebuah pernyataan ”Aku telah melihat Tuhan!” (Yoh. 20:18b). Kalimat
itu tidak hanya menjadi sebuah pernyataan yang demonstratif, tapi juga merupakan
sebuah penegasan dan pengakuan yang sangat dalam, yang mau mengatakan bagaimana
Tuhan telah mengubah hidupnya, sejak pertama kali ia berjumpa dengan-Nya ketika
tujuh setan diusir daripadanya.
Sejak pertama
kali berjumpa dengan Yesus, hidup Maria mulai berubah dan pilihan hidup Maria
untuk mengikuti Yesus diteguhkan dengan pengalaman melihat Yesus, Tuhan yang
bangkit. Mencintai sebagaimana Yesus telah mencintai dia, inilah pengharapan
baru yang ditemukan Maria. Pernyataan ”aku telah melihat Tuhan” akhirnya bukan
hanya melihat sosok Yesus yang bangkit, tapi memahami dan menemukan kebenaran
bahwa mencintai seperti Yesus tidak akan pernah sia-sia. Oleh karena itu pesan yang
menantang kita dari Paskah pertama ini, adalah bagaimana kita dapat mewartakan
Kristus yang bangkit, dan menunjukkan kepada orang bagaimana iman kepada Yesus
telah mengubah hidup kita. Dari orang-orang yang berhawa nafsu picik dan egois,
menjadi orang-orang yang hidup dalam cinta dan berdayacipta dalam mengatasi
kepekatan hidup. Perjumpaan kita dengan Kristus yang bangkit seharusnya
mengubah hidup kita, dari orang-orang yang hanya memusatkan kepentingan diri
sendiri, menjadi orang-orang yang murah hati dan peduli. Perjumpaan kita dengan
Kristus yang bangkit seharusnya membangun dan menata ulang hidup kita, untuk
mencintai sebagaimana telah Yesus mencintai kita. Kita dapat melihat Tuhan dalam
diri setiap orang (baik naradidik, rekan kerja ataupun teman sepelayanan),
kepada siapa kita mencintai sebagaimana Yesus telah mencintai kita. Menurut Erich
Fromm, ”Salah satu esensi utama dari cinta adalah adanya kreativitas dalam diri
seseorang terutama dalam aspek memberi, bukan hanya menerima.” Oleh karena itu,
kreativitas kita akan ditentukan sampai seberapa jauh kita memberi, berbagi dan
peduli sebagaimana Kristus telah mencintai kita. Selamat
berjuang untuk memenangkan cinta kasih dalam hidup kita. Amin.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar