KEPAHITAN
ATAU LUKA BATIN
Oleh : Pdt.
Maryam K. Sutanto[1]
PENDAHULUAN
Mengalami kepahitan atau luka-luka batin adalah hal yang tidak bisa manusia
hindari. Pada masa kecil, barangkali kita pernah diperlakukan secara kejam dan
tidak adil, difitnah, tidak dipercaya dan dihargai. Pengalaman tersebut membuat
batin kita terluka, karena perlakuan-perlakuan itu mencengkram kita kuat-kuat,
dan kita mungkin merasa sangat sulit mengampuni dengan jujur orang yang melukai
batin kita. Ambil saja contohnya, luka-luka batin yang dialami oleh Albert
akibat perlakuan kasar kakak perempuannya (Lihat Kasus Albert).
Keadaan gelisah, takut, marah dan merasa ditolak bisa jadi merupakan akibat
dari pengalaman pahit di masa lampau. Uniknya, luka-luka batin ini justru
terjadi di antara orang-orang yang dekat satu sama lain dan bergaul setiap
hari, bersumber dari orang-orang yang saling mencintai, dan timbul dari mereka
yang saling berbagi dalam hidup bersama. Mungkin karena itu pula, orang
seringkali berupaya untuk melawan rasa sakit, menghindari dan mengabaikannya.
Namun upaya itu justru akan meningkatkan intensitas dari rasa sakit dan luka
batin yang dialami orang itu. Karena itu dibutuhkan pelayanan pastoral yang mendukung untuk menyembuhkan
luka-luka batin yang menggerogoti hati dan jiwa seseorang. Dan di sinilah letak
peran dan fungsi dari pelayanan konseling pastoral bagi orang-orang yang
mengalami kepahitan atau luka-luka batin.
Maka dalam makalah ini, penulis membatasi ulasannya pada kepahitan dan
luka-luka batin yang dialami oleh orang-orang yang dilayani atau konseli dalam
kehidupan keluarga, karena begitu luasnya cakupan yang dapat dikemukakan dalam
konseling dan pelayanan pastoral bagi orang-orang yang mengalami kepahitan dan luka-luka
batin. Dalam pengamatan penulis, pada umumnya kepahitan dan luka-luka batin
yang dialami oleh para konseli, berangkat dari kehidupan keluarga dan kehidupan
rumah tangga. Efek dari luka-luka batin tersebut biasanya baru disadari setelah
mereka berusia remaja dan atau dewasa, yang muncul dalam bentuk penolakan diri
yang kuat, ketersinggungan yang berlebihan dan ketidakmatangan emosional dalam
menjalin relasi dengan anggota keluarga atau orang lain yang ada di sekitarnya.
Oleh karena itu, di dalam uraiannya,
penulis mengemukakan salah satu contoh kasus di antara sekian banyak kasus yang
lainnya, yang tidak mungkin dapat penulis kemukakan di sini. Tentu saja masih
banyak contoh atau kasus-kasus lainnya, yang dapat dipelajari dan diolah lebih
lanjut oleh para pembaca, yang “berminat untuk mempelajari lebih lanjut”
konseling pastoral bagi orang-orang yang mengalami kepahitan dan luka-luka
batin. Selanjutnya, dari analisa kasus yang dikemukakan, kita dapat menentukan
pendekatan konseling pastoral yang manakah, yang dapat kita kembangkan lebih
lanjut di dalam pelayanan kita? Melalui
berbagai pengamatan dan pengalaman di lapangan (dan tentu saja pengalaman
penulis dalam menangani pemulihan dan penyembuhan luka-luka batin), maka penulis
menawarkan konseling pastoral yang bersifat mendukung bagi orang-orang yang
mengalami kepahitan dan luka-luka batin. Melalui konseling pastoral yang
bersifat mendukung, maka terbuka peluang bagi konseli untuk dikuatkan dan
mendapatkan topangan untuk mengalami pemulihan dan penyembuhan atas luka-luka
batin dan kepahitan yang dialaminya.
1. KASUS ALBERT[2]
Pada suatu hari ….
“Bodoh!”
“Manja!”
“Penghambur uang!”
Tangan kiri perempuan itu berkacak pinggang dan telunjuk tangan kanannya hampir menyentuh dahi adik laki-lakinya.
Albert berhenti berkisah untuk meminum kopi hangat yang baru dipesannya.
“Pantas kata-kata seperti itu keluar dari tutur seorang kakak? Kalau ia seorang beragama, Tuhan mana yang mengizinkannya berkata-kata demikian?
Paras Albert memerah mengingat semuanya. Beberapa kalimat tersekat dan keluar dalam isakan. Andrea duduk di hadapannya mendengarkannya.
Kedai kopi seperempat terisi pengunjung petang ini. Seorang laki-laki yang mengambil tempat duduk di sisi mereka berbicara sendiri.
“Aku telah berusaha, tetapi selalu gagal. Hanya luka perih yang keluar sangat saat aku mengingat kakak perempuanku.”
Albert memandang Andrea, memohon sahabatnya memahami posisi sulitnya.
“Satu-satunya jalan barangkali aku putus hubungan dengannya,” seru Albert dengan tangan terkepal seperti sebuah keputusan baru saja diambilnya.
Andrea menggenggam erat tangan sahabatnya.
“Albert, betapa pun ia melukaimu, engkau masih menyebutnya sebagai kakak perempuanmu.”
Albert mengangguk dalam.
“Jangan padamkan nyala cinta di hati yang masih sekerlip untuk kakak perempuanmu.”
Pekerja kedai kopi mendekati pintu masuk dan membalik tanda “Buka” dengan “Tutup.”
“Manja!”
“Penghambur uang!”
Tangan kiri perempuan itu berkacak pinggang dan telunjuk tangan kanannya hampir menyentuh dahi adik laki-lakinya.
Albert berhenti berkisah untuk meminum kopi hangat yang baru dipesannya.
“Pantas kata-kata seperti itu keluar dari tutur seorang kakak? Kalau ia seorang beragama, Tuhan mana yang mengizinkannya berkata-kata demikian?
Paras Albert memerah mengingat semuanya. Beberapa kalimat tersekat dan keluar dalam isakan. Andrea duduk di hadapannya mendengarkannya.
Kedai kopi seperempat terisi pengunjung petang ini. Seorang laki-laki yang mengambil tempat duduk di sisi mereka berbicara sendiri.
“Aku telah berusaha, tetapi selalu gagal. Hanya luka perih yang keluar sangat saat aku mengingat kakak perempuanku.”
Albert memandang Andrea, memohon sahabatnya memahami posisi sulitnya.
“Satu-satunya jalan barangkali aku putus hubungan dengannya,” seru Albert dengan tangan terkepal seperti sebuah keputusan baru saja diambilnya.
Andrea menggenggam erat tangan sahabatnya.
“Albert, betapa pun ia melukaimu, engkau masih menyebutnya sebagai kakak perempuanmu.”
Albert mengangguk dalam.
“Jangan padamkan nyala cinta di hati yang masih sekerlip untuk kakak perempuanmu.”
Pekerja kedai kopi mendekati pintu masuk dan membalik tanda “Buka” dengan “Tutup.”
2. ANALISA KASUS[3]
Dalam percakapan Albert dengan
Andrea, terungkap sebuah realitas fenomenal yang biasa terjadi dalam kehidupan
keluarga. Karena beban hidup yang semakin berat, penghasilan yang tidak lagi
mencukupi kebutuhan hidup sehari-hari, dan persaingan hidup yang semakin keras
dan tajam, membuat suami dan istri, orangtua dan anak, adik dan kakak menjadi
lebih mudah frustrasi dan cepat marah, bahkan bersikap kejam dan kasar satu
terhadap yang lainnya, seperti yang dialami oleh Albert. Perlakuan kasar dan
kejam yang dilakukan oleh kakak perempuan Albert, mungkin bukan untuk pertama
kalinya dan pasti terdapat sejumlah alasan untuk mendukung sikap dan perlakuan mereka.
Tidak diketahui pula, sejak kapan Albert mengalami sikap kasar dan perlakuan
kejam dari kakak perempuannya. Lalu bagaimanakah dengan sikap anggota
keluarga yang lainnya? Kita tidak tahu. Mungkin perlakuan kasar dan kejam yang
dilakukan kakak perempuan Albert bukan untuk pertama kalinya, karena luka
emosional yang terungkap dalam bentuk ratapan dan tangisan, mengindikasikan sebuah
kepahitan dan luka-luka batin yang berkepanjangan.
Di sinilah pentingnya kita memahami bahwa hubungan antar manusia, pada
hakekatnya merupakan sebuah hubungan terbuka yang mengandung resiko. Artinya,
ketika kita menjalin hubungan dengan orang lain, kita tidak bisa meramalkan apa
yang akan terjadi nantinya, akankah kita mendapat kebahagiaan ataukah malah
terluka dan menderita? Artinya, ketika kita menjalin hubungan dengan orang
lain, kita sebenarnya tidak tahu persis apa yang akan terjadi dalam hubungan
yang kita jalin. Bahkan dalam hubungan yang sangat intim seperti hubungan suami
dan istri, orangtua dan anak, juga merupakan hubungan terbuka yang mengandung
resiko.[4]
Pada saat hubungan tersebut berada dalam
kondisi sehat, maka masing-masing pihak akan merasa bebas untuk mengungkapkan
siapa diri mereka dan bebas untuk melakukan berbagai tindakan. Namun
sebaliknya, ketika timbul konflik, terjadilah akar pahit dan luka-luka batin
dalam bentuk kekecewaan, kesedihan, ketakutan, perasaan dikhianati, trauma dan
sebagainya. Bisa pula berupa luka fisik, ketika sebuah konflik berubah menjadi
konflik terbuka yang konfrontasional.
Luka yang terjadi dalam hubungan
terbuka antara seseorang dengan orang lain, biasanya akan mendorong orang
tersebut untuk menarik diri secara fisik mau pun penarikan diri secara
emosional.[5]
Penarikan diri secara fisik akan terjadi ketika orang yang terluka pergi
meninggalkan ruangan atau sengaja menghindar setiap kali bertemu dengan pihak
lain dengan siapa ia terlibat dalam konflik. Sedangkan penarikan diri secara
emosional terjadi ketika orang yang terluka masuk ke dalam relung batinnya yang
paling dalam untuk membuat penilaian
tentang situasi konflik yang ia hadapi. Dalam kasus Albert, perlakuan
kasar dan kejam yang dilakukan oleh kakak perempuannya, membuat Albert
melakukan penarikan diri baik secara fisik mau pun emosional. Setelah sebuah
konflik pecah, maka kesediaan untuk mengambil resiko yang semula melandasi
hubungan nya yang baik dengan pihak lain sudah hilang dan berganti dengan rasa
kecurigaan, kekuatiran, dan kebekuan. Itu sebabnya dalam konseling dan
pelayanan pastoral, kondisi batin dari Albert perlu diproses lebih dahulu agar
secara jujur dan terbuka Albert menyadari keterlukaannya, menyadari
kerentanannya.[6] Oleh karena itu, pengakuan
akan adanya luka-luka dalam diri Albert, akan membukakan jalan menuju pemulihan
dan penyembuhan. Selama luka-luka itu tidak diakui dan disembunyikan, atau
ditutup-tutupi, maka rekonsiliasi tidak akan bisa terwujud. Dengan demikian,
kesadaran diri yang baru, yaitu kesadaran tentang keterlukaan dan kerentanan
dirinya, menjadi faktor yang sangat penting bagi Albert untuk merestorasi
hubungan yang rusak dan menerima kembali kakak perempuannya sebagai insan yang
berharga.
3. KONSELING PASTORAL
Konseling pastoral merupakan suatu
jawaban atas kebutuhan setiap orang untuk mendapatkan kesembuhan, topangan,
bimbingan dan pendamaian dalam segala permasalahan hidup yang dialami oleh
anggota Jemaat. Kebutuhan akan pelayanan konseling pastoral ini dirasakan
sangat penting dan mendesak pada saat terjadi krisis kehidupan, yang dialami
oleh anggota Jemaat, baik secara pribadi maupun dalam kehidupan sosial. Dunia, negara dan masyarakat di mana kita berpijak dan
melangkahkan kaki sedang mengalami perubahan yang sangat cepat dan dahsyat. Kemajuan-kemajuan di berbagai bidang, terutama di bidang
teknologi informasi, telah mengubah wajah dunia kita dengan sangat cepat.
Ungkapan-ungkapan seperti “the world is
flat”, “runaway world”, dan lain
sebagainya sebenarnya ingin menggambarkan bahwa dunia kita saat ini tidak lagi
sama dengan sebelumnya. Situasi tersebut membawa dampak pada perubahan gaya
hidup manusia. Kita dapat mencermati tentang meningkatnya trend kekerasan di hampir segala bidang kehidupan. Persoalan yang
tidak dapat diselesaikan dengan bijaksana hampir selalu bermuara pada
kekerasan, baik secara fisik (misalnya: pembunuhan, penganiayaan, perampokan,
dan sebagainya) maupun non-fisik (misalnya: berupa tekanan-tekanan, stigma,
perlakuan tidak adil, dan sebagainya). Bahkan belakangan muncul juga ‘trend’
baru, utamanya bagi mereka yang tidak dapat menyikapi masa-masa sulit tersebut
dengan bijaksana, yaitu tindakan bunuh diri ataupun membunuh orang lain.
Berangkat dari latar belakang situasi dan kondisi tersebut, maka fungsi pelayanan
konseling pastoral menurut William A. Clebsch dan Charles R. Jaekle, adalah
upaya pendampingan yang bersifat membimbing dan memperbaiki (reparative), serta membawa pemulihan dan
kesembuhan (psikoterapi) dalam
konflik dan penderitaan yang paling dalam, yang menghalang-halangi pertumbuhan
kepribadian, spiritualitas dan karakter anggota Jemaat.[7] Menurut hemat penulis, para Pendeta dan konselor
perlu membekali diri dengan prinsip-prinsip dasar konseling pastoral dan
berbagai pendekatan yang dapat dikembangkan dalam konseling pastoral agar dapat
membantu orang-orang yang menghadapi masalah-masalah mereka secara konstruktif,
dengan mengambil keputusan-keputusan yang sungguh-sungguh dapat
dipertanggung-jawabkan, dan memperbaiki sikap dan perilaku mereka yang
cenderung melukai diri sendiri dan orang lain. Oleh karena itu, para Pendeta
dapat membantu anggota Jemaat untuk secara jujur dan terbuka mengungkapkan
perasaan-perasaan dan sikap-sikap yang merintangi pertumbuhan mereka, maupun
orang-orang yang berelasi dengan mereka.[8]
Dengan mengungkapkan
perasaan-perasaan dan sikap-sikap batin mereka, maka secara bertahap anggota
Jemaat yang mengalami kepahitan dan luka-luka batin dapat memandang
kehidupannya secara positif dan konstruktif, menuju kematangan dan kedewasaan
emosional dan spiritual melalui perjumpaannya dengan Allah dalam Kristus
sehingga permasalahan apa pun yang dihadapi, tidak menghalangi pertumbuhan iman
mereka karena fungsi pelayanan pastoral adalah menyembuhkan (healing), mendukung (sustaining), membimbing (guiding), mendamaikan (reconciling), dan memelihara (nurturing) kehidupan.[9]
Sebab itu pendekatan secara holistik dalam penggembalaan dan konseling pastoral
sangat dibutuhkan, karena anggota Jemaat sebagai seorang individu pasti
memiliki kekuatan-kekuatan dan kekayaan yang masih belum ditemukan dan
dikembangkan dalam hidupnya.
Dengan demikian seorang Pendeta atau konselor sangat diharapkan dapat
memahami kebutuhan yang mendasar dari setiap orang akan kasih, sehingga dapat
membimbing anggota Jemaat dari rasa bersalah, keterasingan dari orang-orang
yang dikasihinya, dan dari keputus-asaan mereka, agar mereka dapat memahami
makna kasih dan pengampunan melalui iman dan kasih kepada Allah di dalam Yesus
Kristus. Di sinilah letak pentingnya pembacaan Alkitab, pemberitaan Firman
Tuhan, doa dan berkat dalam konseling pastoral. Kesadaran Alkitab tentang kefanaan, dosa dan kehancuran manusia, dapat
membuat Pendeta tetap berupaya secara optimal sebagai penyembuh dan pendorong
pertumbuhan. Namun hal terbaik yang dapat diharapkan ialah bahwa orang mungkin
dapat memperoleh kekuatan dan dapat ketenangan untuk menerima kehidupan dan
situasinya yang tidak dapat diubah, dan orang dapat hidup lebih konstruktif di
dalam situasi tersebut.
Selanjutnya, beberapa bentuk ketrampilan
konseling mendasar yang perlu diperhatikan dan dikembangkan oleh Pendeta dalam konseling
pastoral[10],
yaitu :
1.
Sikap yang terus memperhatikan
dan menjaga kontak mata, sehingga Konseli mengetahui bahwa Pendeta sedang
berusaha memahami dunia batinnya.
2.
Mintalah konseli untuk
berbicara tentang soal yang penting dengan pertanyaan terbuka dengan komentar
yang singkat atau dengan isyarat badan.
3.
Dengarkan dan amati dengan
hati-hati pesan non-verbal yang disampaikan Konseli.
4.
Ikutilah jalan ceritanya,
sehingga konseli mengetahui bahwa Pendeta sedang berupaya memahami dunia
batinnya.
5.
Berilah tanggapan empatik
dengan cara meringkaskan arah utama dari perasaan dan masalah yang penting dan
apa maknanya bagi konseli.
6.
Buatlah kejelasan dengan
meringkaskan pokok-pokok dari apa yang disampaikan oleh konseli, dan kemudian
periksalah catatan Anda dengan menanyakannya.
7.
Selidikilah bagian-bagian yang
masih belum didiskusikan dengan pertanyaan-pertanyaan yang tajam.
8.
Berkonfrontasi jika perlu dan
situasinya cocok.
9.
Pahamilah makna, persoalan dan
dinamika masalah yang dihadapi oleh konseli dan berilah rekomendasi berdasarkan
pemahaman diagnostik.
10.
Buatlah suatu pengertian
tentang gambaran batin atau “internal
frame of reference” dari konseli (bagaimana orang itu memandang kehidupan
dari dunia batiniahnya, bagaimana ia merumuskan masalahnya, di mana letak
kegagalannya, dan di mana kekuatan untuk mengatasi situasinya).
4. BENTUK-BENTUK
PELAYANAN PASTORAL KEPADA ORANG YANG MENGALAMI KEPAHITAN ATAU LUKA BATIN
Dalam konseling pastoral yang
bersifat mendukung, Pendeta atau konselor harus mempergunakan metode-metode
yang memberi dukungan dan sokongan yang dapat mengayomi, memotivasi dan
membimbing orang-orang yang mengalami luka-luka batin daan akar pahit untuk
mengatasi persoalan-persoalan dan gangguan-gangguan dalam hubungan mereka
dengan cara yang lebih konstruktif, di dalam batas-batas yang ditentukan oleh
sumber-sumber dan keadaan-keadaan kepribadian mereka.[11]
Dalam kasus Albert, kita melihat salah
satu bentuk konseling pastoral yang mendukung, dalam bentuk yang sederhana dari
Andrea, sehingga Albert dapat mengungkapan perasaan-perasaan dan sikap-sikap
batinnya yang terluka akibat perlakuan kakak perempuannya.
Sifat konseling yang memberi
dukungan memiliki nilai lebih jika dibandingkan dengan pendekatan-pendekatan
yang berorientasi pada penyingkapan atau pembongkaran akar-akar tersembunyi
dari luka-luka batin yang dialami oleh anggota Jemaat. Bila dalam konseling
pastoral yang mendukung, Pendeta atau Konselor memberi dukungan dan memotivasi konseli
agar mereka dapat mengatasi persoalan-persoalan yang menyebabkan akar pahit dan
luka-luka batin, maka dalam pendekatan yang beroreintasi pada penyingkapan ini,
anggota Jemaat diarahkan untuk menyingkapkan, membongkar dan menghadapi
persoalan-persoalan dan gangguan-gangguan yang mereka hadapi. Penyembuhan dengan cara-cara penyingkapan dan
pemahaman diri ini (menurut hemat penulis) mungkin lebih manjur bagi
orang-orang yang mengalami gangguan neurotis. Orang-orang neurotis mempunyai
ego yang sangat kuat, tetapi “defens
mechanism” (pertahanan mereka) sangat berat dan merugikan, karena melahirkan
gejala-gejala yang menyakitkan karena didorong rasa bersalah dan rasa cemas
yang berlebihan.[12]
Sedangkan konseling pastoral yang
bersifat mendukung, tujuannya adalah untuk menolong orang untuk memperoleh
kekuatan dan arah untuk memanfaatkan potensi-potensi yang ada dalam dirinya dan
hubungan pribadinya (betapa pun terbatasnya) dalam mengatasi situasi-situasi
kehidupannya. Oleh karena itu metode-metode yang bersifat mendukung ini
dipusatkan pada kehidupan kini dan di sini, yaitu menolong orang untuk
mengatasi atau menerima masalah yang dihadapinya dengan cara-cara yang lebih
realistis, sehingga memperkuat mereka untuk mengatasi persoalan-persoalannya
secara konstruktif di masa depan. Nilai lebih dari pendekatan yang mendukung
ini adalah membantu mereka untuk mencegah sikap-sikap yang dapat melukai diri
sendiri dan orang lain, karena pertumbuhan kepribadian dapat terjadi secara
bertahap. Hasilnya, orang semakin efektif mengatasi problema-problemanya dan
mampu memperbaiki hubungan-hubungannya yang telah rusak di masa lalu.
Bagaimana kita dapat menentukan pendekatan konseling pastoral yang
mendukung atau yang pendekatan yang menyingkapkan di dalam pelayanan pastoral
kita? Mungkin tidak ada resep yang sangat ampuh. Namun beberapa kecenderungan konseli
yang dapat memandu Pendeta atau konselor untuk mengembangkan konseling pastoral
yang mendukung bila : (1) Konseli tidak mampu menangani atau memikul
tanggung-jawabnya sebagai orang dewasa; (2) Konseli tidak mampu meredakan rasa
frustrasi dan mengontrol emosinya; (3) Konseli mengalami ketergantungan yang
berat dan kronis terhadap hal-hal tertentu; (4) Konseli mengalami
gangguan-gangguan persepsi/interpretasi/daya tangkap (perceptual distortion); (5) Konseli memiliki kepribadian yang kaku
(personality rigidity); (6) Konseli
mengalami kesulitan untuk memperoleh manfaat dari pendekatan konseling yang
berpusat pada pemahaman diri.[13]
Di dalam praktiknya
keenam ciri tersebut di atas, dapat menolong para konselor untuk segera membuat
perencanaan konseling pastoral yang bersifat mendukung dengan memanfaatkan
hubungan sebagai fondasi dan alat utama terjadinya perubahan/transformasi. Dengan
demikian mempertahankan hubungan yang dapat dipercaya dan bersifat mengayomi,
merupakan inti dari proses konseling pastoral. Pendeta atau konselor dianjurkan
lebih banyak menggunakan bimbingan, peneguhan dan penguatan yang dapat
menginspirasi konseli melalui percakapan yang dilakukan untuk mendorong atau
mencegah perilaku yang membahayakan diri sendiri maupun orang lain.
Sehubungan dengan hal tersebut di
atas, sedikitnya ada empat tipe penggembalaan dan konseling pastoral yang
bersifat mendukung, yang dapat kita pertimbangkan yaitu :
1.
Penggembalaan/Konseling Krisis
2.
Penggembalaan/Konseling Darurat
3.
Penggembalaan/Konseling yang Menopang (sustaining)
4.
Penggembalaan/Konseling Pertumbuhan
Konseling Krisis yang bersifat mendukung merupakan suatu kesempatan
pastoral yang terutama, karena sangat penting bagi konselor untuk menolong konseli
agar tetap berfungsi secara optimal, walau pun ada banyak keterbatasan, dan
situasi kehidupan tetap sulit. Karena itu sangat penting artinya bagi konselor
untuk menolong konseli agar mereka dapat menerima kenyataan, bahwa masa lalu
dan masalah-masalah mereka tidak mungkin dapat dirubah lagi. Dengan keterbukaan
konseli untuk menerima semua kenyataan pahit yang dialaminya, maka terbuka
peluang untuk pemulihan dan penyembuhan, karena energi kejiwaan yang dahulu
digunakan untuk terbenam dalam kepahitan hidupnya atau sikap yang mengasihani
diri secara berlebihan, sekarang disalurkan untuk mengatasi beban dan luka-luka
batin mereka.
Franz Alexander[14] mendeskripsikan lima
prosedur yang digunakan dalam psikoterapi yang bersifat mendukung, yaitu :
1. Pemuasan kebutuhan-kebutuhan ketergantungan.
Orang yang memberi dukungan adalah seperti tokoh “orang tua yang baik hati”
yang kepadanya Jemaat dapat menyandarkan diri. Banyak bentuk-bentuk pemuasan
ketergantungan, di dalamnya termasuk menghibur, menyokong, memberi makan (baik
emosional maupun fisik), melindungi, memberi instruksi, dan menentukan
batas-batas yang dapat dipercaya untuk mencegah perilaku yang dapat menyakiti diri
sendiri dan orang lain.
2. Katarsis Emosional. Seperti yang dikatakan
oleh Carl Roger, maka penerimaan perasaan-perasaan yang membebani seseorang
yang dapat dilakukan oleh konselor akan mengeluarkan racun dan luka-luka batin.
Hal itu juga akan membantu untuk mengurangi kecemasan-kecemasan yang
melumpuhkan serta merintangi penggunaan pertimbangan untuk mengatasi persoalan.
Orang-orang yang merasakan adanya orang lain yang mengetahui dan turut prihatin
akan kesusahan batinnya akan memperoleh kekuatan yang berasal dari perasaan
bahwa hidupnya didukung oleh orang lain.
3. Tinjauan obyektif tentang situasi ketegangan
atau tekanan (stress). Hubungan yang bersifat mendukung akan memberi
kemungkinan bagi konseli untuk menjadi cukup obyektif untuk meninjau masalahnya
dari suatu perspektif yang agak lebih luas dan menyelidiki kemungkinan
alternatif-alternatif lainnya. Keobyektifan ini akan menolongnya untuk
mengambil keputusan-keputusan yang lebih bijaksana tentang apa yang dapat dan
sepantasnya dikerjakan.
4. Membantu
pertahanan-pertahanan ego. Pada umumnya konseli akan berulang-ulang
membicarakan kejadian-kejadian yang melukai batinnya itu untuk meringankan
tanggung jawabnya dalam kecelakaan atau masalah tersebut, yang dapat
menimbulkan rasa bersalah yang sangat besar yang dapat menimbulkan perilaku
yang berusaha menebus kesalahan dengan cara yang merusak dirinya sendiri.
Setelah krisis itu mulai reda, konselor dapat membantu konseli agar lambat laun
menjadi mampu menghadapi tanggung jawab dan kesalahannya, dan terus
menyelesaikan masalah-masalah tersebut secara konstruktif.
5. Mengubah situasi kehidupan. Pendeta
dapat juga menolong konseli untuk membuat perubahan-perubahan, atau jika tidak
membuat rencana sehingga perubahan-perubahan dapat dilakukan (baik secara
jasmani, ekonomi, atau hubungan antar pribadi)
yang menyebabkan melemahnya gangguan-gangguan dalam hidup mereka.
6. Mendorong tindakan yang tepat. Bila orang
menjadi lemah atau lumpuh oleh perasaan-perasaan cemas, gagal, kalah, harga
diri hancur, atau kemalangan yang tragis, maka sering berguna bagi pendeta
untuk menggambarkan suatu aktivitas yang akan menjaga agar ia tetap berfungsi
dan berhubungan dengan orang. Hal ini mengurangi kecenderungan untuk
mengundurkan diri ke dalam depresi dan menarik diri dari hubungan-hubungan.
Aktivitas yang konstruktif memberi stuktur sementara bagi dunianya yang kacau
balau dan juga menyediakan cara-cara untuk mengubah situasi yang amat
menyulitkan itu. Membaca Alkitab atau bahan yang relevan dengan problemnya
penting nilainya.
7. Menggunakan sumber-sumber religius. Doa, Kitab
Suci, bacaan rohani, persekutuan dsb. menjadi sumber-sumber pendukung yang
berharga dan unik untuk konseling pastoral. Apabila dimanfaatkan secara tepat,
maka semua itu akan memberi konseli kesadaran yang segar bahwa hidup mereka
punya makna yang mengatasi kepedihan dan tragedi yang mereka hadapi. Di dalam
saat-saat itu, konselor dan konseli dapat menyadari bahwa kuasa pendukung Roh
Kudus tersedia bagi mereka berdua, di dalam, melalui dan di luar proses
konseling.
5.
KONKLUSI
Konseling pertumbuhan yang bersifat mendukung (supportive growth counselling) adalah suatu pendekatan yang berharga dalam
karya pastoral. Banyak orang dapat memanfaatkan hubungan konseling yang
bersifat mendukung, bukan hanya supaya mereka dapat terus menjalankan peran dan
fungsinya secara optimal, tetapi juga sebagai sebuah kesempatan yang
memungkinkan terjadinya pertumbuhan pribadi secara bertahap dan terarah ke masa
depan. Pertumbuhan terjadi ketika orang mampu mengatasi situasi kehidupan mereka
secara konstruktif dan dapat menggunakan kekuatan-kekuatan mereka untuk
mempercepat pemulihan dan penyembuhan atas luka-luka batin dan akar pahit yang
mereka alami. Soli Deo Gloria!
DAFTAR KEPUSTAKAAN
Abineno, J.L. Ch. Pedoman
Praktis untuk Pelayanan Pastoral. Jakarta : BPK Gunung Mulia, cet.2, 1999.
Clinebell, Howard. Tipe-Tipe dasar Pendampingan dan Konseling
Pastoral. Yogyakarta : Kanisius, BPK Gunung Mulia, 2002.
Gerkin, Charles V. Konseling Pastoral Dalam Transisi.
Yogyakarta : Kanisius, BPK Gunung Mulia, 1992.
Paulus S. Widjaja,
“Rekonsiliasi Antar Umat Beragama : Refleksi Pengalaman Lapangan,”Basilica Dyah
Putranti & Asnath Niwa Natar (ed.), Perempuan,
Konflik dan Rekonsiliasi. Yogyakarta : Pusat Studi Feminis Universitas Kristen Duta
Wacana, 2004.
Susanto, Daniel.
“Clinical Pastoral Education” Sebuah Metode Pendidikan Pastoral, materi kuliah
Ministri & Konseling Pastoral Semester II Program D. Min STT Jakarta, 2007.
[2] Sebagaimana
dikisahkan oleh “Bernard” (bukan nama yang sebenarnya) pada tanggal 25 Januari
2010.
[3] Setiap
percakapan (verbatim, antara konselor dan konseli) atau kasus
dapat dianalisa dari berbagai aspek, seperti aspek psikologis, antropologis,
sosiologis, dan teologis untuk mencari solusi yang tepat guna bagi permasalahan
yang dihadapi oleh konseli.
[4] Semua
hubungan antarmanusia yang bersifat terbuka selalu mengandung potensi konflik
yang pada gilirannya akan menimbulkan luka, batin maupun fisik. Kita tidak mungkin bisa menghindari
terjadinya luka, kecuali kita hidup dalam isolasi.
[5] Paulus
S. Widjaja, “Rekonsiliasi Antar Umat Beragama : Refleksi Pengalaman Lapangan,”Basilica
Dyah Putranti & Asnath Niwa Natar (ed.), Perempuan, Konflik dan Rekonsiliasi. Yogyakarta : Pusat Studi Feminis Universitas Kristen Duta Wacana,
2004, 64.
[6] Ibid.,
72-73.
[7]
Clinebell, Howard. Tipe-Tipe dasar
Pendampingan dan Konseling Pastoral. (Yogyakarta : Kanisius, BPK Gunung
Mulia, 2002), 53-54.
[8] Gerkin, Charles V. Konseling Pastoral Dalam Transisi. (Yogyakarta : Kanisius, BPK
Gunung Mulia, 1992), 17, 21.
[9]
Clinebell, 37, 54-55.
Mencerahkan dan bermanfaat sekali. Sangat membantu untuk para pelayan yang kadang mendadak menjadi konselor.
BalasHapusSyalom,
Iono Sandjojo
www.jiwasehat.blogspot.com
Terimakasih Pak Iono.
BalasHapushaloo ibu pdt. saya punya pacar dia dahulu nya juga punya mantanpacar dimana mantan pacar nya ini membuat di kecewa berat. sampai-sampai dia harus di okname dan ini membuat saya bingung menghadapi dia karena dia cepat tersinggung dan marah tanpa ada alasan yang jelas dia juga sering curiga yang macam2 yang gk munkin saya lakukan. ibu punya saran bagai mana saya bisa menghadapi ini?
BalasHapusemail.natalcristiansamuel@yahoo.co.id
Samuel Christian yang baik. Dikhianati oleh orang yang disayangi, terluka dan kecewa, itulah yang dialami oleh pacar Anda. Luka itu belum pulih dan sembuh, sebab itu dia cepat marah, tersinggung dan curiga. Ajaklah pacar Anda bicara dari hati ke hati, dan ajaklah dia untuk mengampuni. Hidupnya terlalu berharga untuk dihabiskan dalam luka masa lalu yang tak akan pernah kembali. Mengampuni berarti tidak lagi mengingat-ingat dan memperhitungkan semua kesalahan yang telah diperbuat oleh pacarnya di masa lampau. Perumpamaan Anak Terhilang dalam Lukas 15:11-32 mengajak kita untuk memberikan pengampunan, seperti Allah yang tidak memperhitungkan kesalahan dan dosa-dosa yang telah kita perbuat. Pemulihan akan terjadi ketika kita mengampuni, dalam arti tidak memperhitungkan dan menyimpan kesalahan orang lain. Pengampunan akan membebaskan, memulihkan dan menyembuhkan. Salam.
Hapussaya suka dengan tulisan ibu tapi saya mau bertanya bagaimana pelayanan pastoral yang tepat untuk menolong anak muda pecandu alkohol?
BalasHapusTerimakasih Made- Konseling Pastoral yang tepat, adalah penanganan secara holistik. Dalam arti kata perlu diidentifikasi dulu (bisa dengan analisa SWOT), mengapa anak muda itu menjadi pecandu alkohol. Ada banyak kemungkinan. Boleh jadi karena ada banyak akar pahit, sehingga minum2 menjadi kompensasi, lari atau mengingkari kenyataan dengan minum2. Alternatif berikutnya, karena pergaulan, lalu menjadi kebiasaan. Sebab itu percakapan demi percakapan perlu dicatat, guna membantu kita sebagai Konselor. Bilamana diperlukan, bermitra dengan psikolog untuk mengatasi ketergantungan pada alkohol. Salam, Maryam.
BalasHapusShalom bu Maryam, saya mau tanya apakah ada sekolah atau pembekalan khusus untuk seorang konselor yg menangani masalah luka batin?
BalasHapusShalom Filie. Terimakasih sudah berkunjung ke blog saya. Anda tertarik untuk menjadi seorang konselor? Mengapa seorang Konselor? Karena seorang konselor bisa saja menangani masalah luka batin, KDRT, Terminal Ilness dan masalah-masalah lainnya. Jadi tidak hanya masalah luka-luka batin saja. Di Sekolah Tinggi Teologi Jakarta misalnya, ada bidang studi khusus yang dapat menolong kita untuk mempelajari hal tersebut, yaitu Konseling Pastoral. Kalau di Universitas Indonesia, di Fakultas Psikologinya. Selamat mengeksplorasi. Salam, Maryam
BalasHapus