Halaman

Jumat, 23 Agustus 2013

BERTUMBUH DI DALAM RENCANANYA



Dalam Kamus Bahasa Indonesia, kata “bertumbuh” mempunyai arti “bertambah besar atau sempurna.” Ambil saja contohnya, benih tanaman yang berkembang, hidup dan menjadi besar atau bagian tubuh seperti rambut, yang tumbuh dan bertambah panjang. Sedangkan dalam Kamus Global, kata “bertumbuh” (develop) mempunyai arti mengembangkan, mengupayakan pertumbuhan atau memperkuat. Ambil saja contohnya, seorang anak kecil, secara fisik bertumbuh dari bayi menjadi anak, remaja, pemuda, dewasa dan tua. Namun secara mental, psikologis, emosi dan spiritual belum tentu mengalami pertumbuhan yang baik. Pertumbuhan adalah tanda kehidupan, dan indicator utamanya adalah adanya kehidupan, dan bertumbuh. Pada manusia, ada enam aspek yang terus menerus mengalami pertumbuhan, dan jika aspek itu tidak bertumbuh, sudah dipastikan akan mengalami masalah.

1.       Aspek Jasmani atau Fisik. Secara fisik terlihat jelas bahwa dengan bertambahnya usia, fisik seseorang mengalami pertumbuhan baik dalam hal tinggi maupun dalam hal berat. Selain itu, terjadi juga menguatan otot-otot dan perubahan bentuk badan menjadi semakin menyerupai orang dewasa.
2.      Aspek Intelektual atau Berpikir. Berbeda dengan tahap sebelumnya, pada masa SMA seseorang sudah mulai mampu memikirkan hal-hal yang lebih abstrak dan logis. Ketika ada sesuatu yang tidak bisa dipahami atau diterima dengan akal, ada perasaan tidak enak yang muncul. Menjadi dewasa secara intelektual berarti menggunakan akal budi untuk melakukan penilaian tentang benar atau tidaknya sesuatu sehingga terjadi pertimbangan yang matang dalam menghadapi masalah atau mengambil keputusan.
3.      Aspek Emosi. Emosi berkaitan dengan bagaimana perasaan muncul dan diekspresikan. Dewasa secara emosi artinya mampumengendalikan perasaan dengan cara yang tepat untuk alasan yang tepat dan ditujukan pada orang yang tepat. Bertambahnya usia, seharusnya membuat orang lebih mampu mengendalikan emosinya.
4.      Aspek sosial. Orang yang dewasa dalam aspek ini mampu berhubungan dengan baik dan benar dengan orang lain, walaupun berbeda dari sudut usia, pendidikan, latar belakang keluarga, kedudukan dan status sosial. Ia mampu menempatkan dirinya sedemikian rupa, sehingga berhasil menjalin komunikasi dua arah dengan orang lain.
5.      Aspek Moral. Pada usia kanak-kanak, seseorang bertingkah laku baik karena disuruh, diiming-imingi hadiah, atau diancam hukuman. Namun, pada usia dewasa, seseorang diharapkan sudah memiliki pedoman mengenai apa yang benar dan baik untuk dilakukan. Standard moral yang tinggi diperlihatkan oleh orang yang memiliki kepedulian pada orang lain. Pada saat ia melakukan sesuatu, ia mempertimbangkan dampaknya pada orang lain, seberapa jauh hal itu membawa kesejahteraan pada orang lain. Pada kenyataannya, ada juga orang dewasa yang berperilaku ke kanak-kanakan. Kalau anak kecil usia empat atau lima tahun, sikap egonya sedang bertumbuh. Ia harus menjadi pusat perhatian, dan setiap mainan yang ia suka, harus menjadi miliknya. Namun, ada banyak orang dewasa yang masih berperilaku ke kanak-kanakan. Merasa diri super, tidak mau kalah, selalu benar da menang sendiri.
6.      Aspek spiritual. Spiritualitas adalah hubungan yang terjalin dengan Allah. Atau lebih tepatnya, bagaimana penghayatan seseorang terhadap apa yang terbaik bagi Tuhan dan apa yang dikehendaki-Nya. Itulah yang mewarnai standard moral yang dimilikinya. Orang yang dewasa dalam aspek ini mengenal bukan hanya kekuatan, melainkan juga kelemahan dirinya. Ia tidak menjadi sombong dengan semua kelebihan yang dimilikinya karena pada saat yang sama, ia tahu bahwa ia juga mempunyai kekurangan.

Dalam Lukas 2:41-52, diceritakan kisah Yesus. Walaupun masih berusia 12 tahun, Yesus sudah menunjukkan minat yang tinggi pada hal-hal spiritual. Ia melakukan tanya jawab dengan para alim ulama yang tentunya dikenal sebagai orang yang mengenak isi Kitab Suci. Namun Yesus juga menunjukkan ketaatan-Nya kepada Yusuf dan Maria, dengan mengikuti mereka kembali pulang ke Nazareth. Walaupun kecerdasan Yesus pada hal-hal spiritual mengagumkan, bahkan melebihi rata-rata orang yang dewasa.
Alkitab menceritakan kepada kita, ada pertumbuhan yang salah. Hofni dan Pinehas adalah anak-anak imam Eli, yang sudah pasti mengalami didikan seorang imam. Mereka tumbuh menjadi dewasa secara fisik, namun tidak secara rohani. Dalam 1 Samuel 2:12-17 diceritakan, mereka melakukan pelbagai kejahatan dan kekejian di hadapan Tuhan hanya untuk memuasan hawa nafsu dan keinginan mereka. Jabatan keluarga Imam Eli disalahgunakan. Berbeda halnya dengan Samuel, yang diserahkan orangtuanya ke dalam didikan Eli. Dia justru mengalami pertumbuhan yang lengkap, tidak hanya secara fisik. Ketika Samuel kecil, ibunya dengan setia membuatkan jubah kecil buat Samuel. Tentu ada banyak pertanyaan mengapa anak-anak Imam Eli sendiri mengalami pertumbuhan yang tidak diharapkan. Alkitab tidak memberi penjelasan, dan hanya mengatakan, “Mengapa engkau memandang dengan loba kepada korban sembelihan-Ku dan korban sajian-Ku, yang telah kuperintahkan, dan mengapa engkau menghormati anak-anakmu lebih dari pada-Ku, sambil kamu menggemukkan dirimu dengan bagian yang terbaik dari setiap korban sajian umat-Ku Israel?”

Dari teguran Tuhan ini kita dapat menarik kesimpulan, bahwa Eli menjalankan tugas keimamannya hanya sebagai “profesi” sehingga ia merasa berhak menikmati bagian yang terbaik, yang seharusnya untuk Tuhan, dan sikap Eli ini dilihat oleh anak-anaknya. Akibatnya, teguran yang disampaikan Eli kepada mereka tidak diindahkan (1 Sam. 2:22-24). Sedangkan Samuel, ia melihat begitu besar peran ayah dan ibunya dalam mendukung dirinya menjadi pelayan di rumah Tuhan, sehingga Samuel itu dikasihi oleh Tuhan dan manusia (1 Sam. 2:26).

Kisah yang sama kita temukan dalam diri Yesus. Orangtuanya, Yusuf dan Maria memberikan perhatian serius untuk pendidikan iman-Nya. Setiap tahun, mereka pergi ke Yerusalem pada hari Paska, dan Yesus selalu ikut. Tidak mengherankan, bila pada usia 12 tahun, Yesus dapat bersoal jawab dengan para alim ulama di Bait Allah. Sama seperti Samuel, Yesus terus bertumbuh, “Dan yesus makin bertambah besar dan bertambah hikmat-Nya dan besar-Nya, dan makin dikasihi Allah dan manusia” (Lukas 2:52). Kita semua seharusnya seperti Dia, yang “makin bertambah besar dan bertambah hikmat-Nya dan besar-Nya, dan makin dikasihi oleh Allah dan manusia” (Lukas 2:52). Pertambahan usia menjadi makin dewasa dibuktikan dengan hikmat dan pengenalan akan Allah yang juga bertambah, sehingga kita tahu bagaimana membawakan diri di tengah-tengah orang lain dan orang banyak.

Apa tanda-tanda pertumbuhan seorang manusia yang lengkap? Dikasihi Tuhan dan manusia! Keduanya tidak dapat dipisahkan, sekalipun berbeda. Itulah indicator pertumbuhan jasmani dan rohani kita yang utuh. Bagaimana sekarang dengan kita? Apakah semakin lama, dan semakin tua, semakin dikasihi Tuhan dan orang-orang di sekitar kita? Ataukah semakin lama, semakin orang tidak mau kenal dan bergaul dengan kita? Semakin dijauhi orang. Jika selama ini kita lebih memperhatikan penampilan fisik, cobalah kini lebih utuh lagi melihat dan membenahi seluruh aspek kehidupan kita. Bila kita mau dikasihi Tuhan dan sesama, salah satu syaratnya adalah: Ubahlah sikap egois menjadi murah hati! Perhatikan orang lain yang ada di sekitar kita dan lakukanlah kebaikan untuk mereka. Jangan menghitung apa untungnya, dan apa ruginya karena kita semua adalah “manusia baru” di dalam Kristus. Jadilah manusia baru yang tidak egois supaya kita makin lama makin dikasihi Allah dan sesama. Dalam 2 Petrus 3:18 dikatakan, “Bertumbuhlah dalam kasih karunia dan dalam pengenalan akan Tuhan dan Juruselamat kita, Yesus Kristus.” Betapa indahnya jika kita dikasihi oleh Tuhan dan sesama.

Kisah yang satu ini mungkin dapat mengajarkan kita untuk tidak egois atau mementingkan diri sendiri. Pada suatu hari ada seorang anak muda terpelajar mengamati seorang Pak Tua yang sedang menanam sebatang pohon mangga dengan keringat bercucuran. Anak muda itu menghampirinya dan bertanya, “Pak Tua, untuk apa melakukan pekerjaan sia-sia menanam pohon mangga? Apakah Pak Tua masih sempat menikmati buah pertama dari pohon ini?” Sambil tersenyum dan meneruskan pekerjaannya, Pak Tua itu menjawab, “Apakah yang kamu makan adalah hasil yang kamu tanam sendiri?” Dengan tersipu, anak muda itu meninggalkan Pak Tua. Pertanyaannya, apakah kita sekarang lebih mirip dengan Pak Tua ataukah seperti anak muda itu?”









Selasa, 30 Juli 2013

"TIDAK USAH MENCARI KAMBING HITAM"





Hari Selasa, tanggal 15 Januari 2013, hujan  deras terus mengguyur Jakarta, nyaris tanpa jeda. Akibatnya, hampir seluruh wilayah Jakarta terendam banjir. Jalan Sudirman, Bundaran HI pun tak luput dari genangan air. Bahkan, Istana Merdeka turut terendam banjir. Sejak tahun 2009, saya dan keluarga tinggal di Jakarta Barat, di daerah Greenville selama dua tahun, dan di Taman Ratu Indah hampir dua tahun. Selama dua hari kami dikepung air, listrik padam dan pasokan air PAM tidak berfungsi. Baru kemarin siang air surut, namun hingga hari ini listrik masih padam dan air PAM tidak mengalir.  Untuk pertama kalinya saya menikmati segarnya air Aqua Galon untuk mandi selama dua hai  berturut-turut, dan mempersiapkan kotbah dengan menggunakan lilin di tengah kegelapan malam.

Banjir memang persoalan besar bagi kota Jakarta. Hampir setiap tahun kita diterjang banjir. Banjir membawa kerugian yang tidak sedikit. Rumah terendam air, listrik padam, pasokan air bersih tidak berfungsi.  Banjir juga kadang meminta korban jiwa. Tidak heran, warga DKI Jakarta menempatkan banjir sebagai salah satu problem pokok. Berbagai proyek penanganan banjir sudah pernah dilakukan, seperti proyek kanal banjir barat dan timur, tanggul banjir, normalisasi sungai, interkoneksi, sistem drainase perkotaan, sistem polder (waduk dengan pompa), pintu air pasang, dan pintu air pengatur. Sayangnya, penyelesaian soal banjir tidak kunjung menemui titik terang.

Banjir di Jakarta juga tidak lepas dari model pembangunan yang sangat kapitalistik. Banyak kawasan hijau, taman kota, dan rawa-rawa diubah menjadi pusat perbelanjaan, pemukiman elit, apartemen, dan lain-lain. Akibatnya, dalam 10 tahun terakhir saja, daerah resapan air di Jakarta berkurang hingga 50 persen. Akibatnya, dari curah hujan di Jakarta yang mencapai dua miliar m3 setiap tahunnya, hanya 36 persen yang terserap. Sebagian besar sisanya, terbuang ke jalan aspal, selokan dan pemukiman penduduk. Diperparah lagi, jumlah saluran air yang semakin betkurang dan menyempit, yang tertimbun oleh proyek-proyek pembangunan ruko, mall-mall, apartemen dan sebagainya, membuat sebagian besar sungai-sungai di Jakarta mengalami sedimentasi dan tertimbun sampah.

Sampai hari ini, banyak orang yang saling menyalahkan dan mencari kambing hitam atas banjir yang terjadi di Jakarta. Dalam keadaan sulit,  biasanya orang memang lebih suka saling menyalahkan dan mencari kambing hitam atau penyebab atas masalah yang terjadi. Boro-boro mencari solusinya, karena masing-masing pihak merasa pendapatnya yang paling benar dan mereka lebih senang menyalahkan orang lain. Akhirnya, terjadi disharmoni (pertengkaran, perpecahan di antara mereka). Pertengkaran dan perpecahan juga terjadi di Jemaat Korintus. Sama seperti kita, mereka juga  berasal dari pelbagai latar belakang status sosial, budaya,  ras, dan golongan, demikian juga dengan talenta. Namun sayangnya, Keberagaman  tidak diterima sebagai sebuah anugerah atau kekayaan dalam jemaat, melainkan sebagai sumber perpecahan. Akibatnya, potensi jemaat yang luar biasa itu energinya hanya dihabiskan untuk berdebat, siapa yang paling hebat di antara mereka.

Dalam pandangan Paulus, Tuhan memberikan karunia yang berbeda pada setiap orang dan karunia itu diberikan tidak dengan maksud untuk dinikmati sendiri apalagi dipakai sebagai alat atau sarana pemuliaan diri dan meremehkan orang lain. Kalau ditanya, Mengapa Tuhan tidak memberikan karunia yang sama pada setiap orang? Di sinilah justeru Tuhan menginginkan setiap anggota jemaat untuk belajar berelasi satu dengan yang lain. Mereka saling membutuhkan, saling terkait satu dengan yang lainnya sama seperti tubuh manusia yang anggota-anggotanya berbeda dengan fungsi yang berbeda. Begitu pula dengan kita. Mereka saling membutuhkan, dan saling terkait satu dengan yang lainnya.

Belajar dari Jemaat Korintus, kita disadarkan bahwa setiap kita diberi talenta atau pun karunia. Apapun bentuknya. Mungkin dalam bentuk kepandaian mengorganisasi sebuah sistem, atau kepandaian untuk mendesign sebuah bangunan dst. Karunia yang diberikan Tuhan kepada saya tentu berbeda dengan karunia Anda. Dan karunia yang dianugerahkan Tuhan kepada Anda tentu juga tidak sama persis dengan teman Anda. Di sinilah kita terpanggil menggunakan karunia itu untuk kepentingan bersama. Membangun jemaat Tuhan bukan sebaliknya, menjadi penyulut perpecahan.

Pesan moral yang sama juga disampaikan kepada kita melalui kisah pernikahan di Kana (Yohanes 2:1-11). Maria ibu Yesus yang hadir dalam pesta itu, sekalipun ia seorang ibu, tidak memaksa Yesus untuk menuruti kehendaknya. Ia menyuruh semua pelayan agar menuruti saja apa yang dikatakan Yesus (Yohanes 2:5). Maria juga tampil sebagai sosok yang tidak mudah tersinggung lantaran permohonannya tidak langsung direspon Yesus yang adalah anaknya sendiri dengan alasan saatnya belum tiba. Keyakinan bahwa Yesus pasti melakukan yang terbaik pada saat yang tepat dan melakukan apa yang diperintahka-Nya itulah yang membuat mujizat itu terjadi. Dengan cara seperti itu, mereka melihat mujizat terjadi. Air berubah  menjadi anggur!

Nah bagaimanakah sekarang dengan kita? Ilustrasi dari Spencer Johnson ini mungkin dapat menolong kita.
Dahulu kala hiduplah dua pasang sahabat, dua kurcaci dan dua tikus. Setiap hari mereka berkeliaran dalam sebuah labirin mencari keju yang lezat.
Dua tikus menggunakan metode trial and error, masuk ke satu lorong dan segera berpindah ke tempat lain sampai mereka menemukan keju. Sedangkan dua kurcaci menggunakan kemampuan berpikir mereka untuk menemukan keju.
Suatu hari, terjadi tragedi. Keju telah habis.
Dua tikus yang menyadari situasi yang sudah berubah ini, tanpa membuang waktu, memutuskan untuk berubah juga. Mereka pun mengangkat hidung, mengendus dan berlari ke labirin lain untuk menemukan keju yang baru.
Namun dua kurcaci tak siap menghadapi kenyataan ini. Alih-alih mengambil tindakan, mereka malah berteriak-teriak, berkacak pinggang, menggerutu dan mengomel berkepanjangan.
“Ini tidak adil. Siapa yang memindahkan keju kita?” kata kurcaci pertama.
Sahabatnya menjawab, “Ini kecerobohanmu, kalau saja kau memperhatikan bahwa persediaan keju kita semakin menipis, hal ini tak mungkin terjadi!”
Dan mereka mulai menganalisa. “Pasti ada orang jahat yang hendak mempermainkan kita. Kita harus mencari tahu.”
Maka, berhari-hari lamanya mereka mendiskusikan masalah ini. Tapi keju tak kunjung tiba, hingga mereka benar-benar merasa lemas dan tak bertenaga.
Ilustrasi sederhana nan menarik ini amatlah tepat menggambarkan kondisi bangsa kita. Tingkah kita pun semakin mirip sepasang kurcaci itu.

Saat musibah dan bencana melibas kita,  respon kita biasanya hanyalah tak henti menganalisa berkepanjang, menggerutu tak henti, saling menyalahkan dan tanpa aksi, apalagi solusi. Yang membuat suasana makin runyam sebenarnya bukanlah musibah dan bencana itu sendiri, tapi respon kita menghadapi musibah dan bencana itu sendiri. Tuhan memperlengkapi setiap kita untuk berkarya bagi kepentingan sesama. Dengan talenta dan karunia yang berbeda, kita semuanya memiliki karunia yang berbeda, dan maksud Tuhan dengan itu semua adalah supaya kita membangun relasi yang baik dan saling terkait satu dengan yang lain, untuk meluas lebarkan pekerjaan Tuhan di dalam kehidupan ini.

Kamis, 23 Mei 2013

"WHY DO PARENTS PLAY THE MOST IMPORTANT ROLE IN EDUCATION?"






“Mengapa Orang tua Memainkan Peran Paling Penting
Dalam Pendidikan Anak?”
Oleh: Pdt. Maryam Kurniawati D.Min



“Didiklah orang muda menurut jalan yang patut baginya, maka pada masa tuanya pun ia tidak akan menyimpang daripada jalan itu”
(Amsal 22:6)


Menjadi orang tua, dalam pemikiran saya adalah sebuah anugerah atau hadiah dari Tuhan. Masih melekat dalam ingatan saya, ketika Brian (anak laki-laki kami yang pertama) lahir pada tanggal 14 Mei 1992 (dengan berat 3,7 kg dan panjang 51 cm), dan ketika Justin (anak laki-laki kami yang kedua) lahir pada tanggal 3 Januari 1997 (berat 3,85 kg dan panjang 51 cm). Kehadiran Brian dan Justin tentu saja menambah keceriaan di dalam keluarga kami. Namun tugas dan tanggung jawab untuk mendidik dan membesarkan dua anak laki-laki, bukanlah suatu hal yang mudah untuk dilakukan. Kami (sebagai ayah dan ibu) memiliki waktu yang terbatas (karena sama-sama bekerja dan aktif dalam pelayanan). Namun kami terus belajar dan berupaya untuk memenuhi semua kebutuhan mereka, baik emosional, intelektual mau pun spiritual.
Selama lebih dari delapan tahun, kami di rumah tidak memiliki pembantu, atas permintaan Brian dan Justin. Semua pekerjaan di rumah, menjadi “pe-er” kami bersama. Tidak ada jenis pekerjaan laki-laki atau pun perempuan, karena semua pekerjaan di rumah adalah tanggung jawab kami bersama dan kami harus gotong-royong. Begitu pula, permasalahan yang terjadi di rumah atau pun di sekolah dan gereja, menjadi topik diskusi bahkan perdebatan kami yang hangat. Dalam usia 21 tahun, Brian sudah bekerja dan tidak lama lagi akan melanjutkan kuliah. Sedangkan Justin, dalam usia 16 tahun, masih berada di bangku Sekolah Menengah Atas. Kedua-duanya, sejak awal bulan Mei ini – terpaksa tinggal di kost, karena sewa rumah kontrak kami berakhir pada tanggal 9 Mei 2013, dan kami pindah ke Tangerang, yang jauh dari sekolah dan tempat mereka beraktivitas.
Memasuki babak kehidupan yang baru, karena terpisah oleh jarak dan waktu, kami belajar untuk memberi kepercayaan kepada Brian dan Justin untuk lebih mensyukuri “kehidupan bersama keluarga” (menurut istilah mereka), serta memberi ruang dan waktu bagi mereka untuk belajar mandiri, lebih matang dan dewasa karena harus belajar berhemat serta mencukupi kebutuhan sehari-hari di sekolah dan di tempat kost dengan cerdik.
Sebagai ibunya, saya belajar untuk memberi kepercayaan dan tanggung jawab bagi Brian dan Justin untuk bersikap matang dan dewasa. Dari seorang Ibu yang setiap hari bangun pagi-pagi, menyediakan makanan dan memasok kebutuhan mereka (sampai bekal di sekolah dan di kantor setiap hari), menjadi seorang Ibu yang hanya menyediakan makanan dan memasok kebutuhan mereka dua minggu atau sebulan sekali. Satu minggu pertama, ada perasaan “kosong” dan “hampa” ketika kembali ke rumah, setiap sore.
Kalau ditanya, apakah ada rasa cemas dan kuatir “melepaskan” anak-anak untuk kost dan mandiri? Jawabnya adalah, kami sangat cemas dan kuatir karena baru untuk pertama kalinya kami harus “menyapih” Brian dan Justin. Mempunyai dua anak laki-laki, mendidik dan mengajar saya (khususnya) untuk memahami dan menyadari, bahwa memberi waktu dan ruang bagi anak-anak untuk bertumbuh makin dewasa melalui tantangan dan permasalahan kehidupan, merupakan suatu keharusan. Setiap anak perlu menyadari, bahwa mereka belajar tidak hanya di bangku sekolah tetapi juga di sekolah kehidupan dengan segala bentuk permasalahan yang ada di dalamnya, agar kelak mereka lebih siap, matang dan dewasa dalam menjalani kehidupan.
          Oleh karena itu memanjakan anak dengan uang dan fasilitas, tidak pernah ada di dalam benak kami. Brian dan Justin bisa menghitung, berapa biaya yang harus diperlukan untuk membayar uang Sekolah dan keperluan sekolah, les tambahan dan keperluan mereka setiap tahunnya. Dan mereka juga memahami, acara berlibur keluarga perlu dipersiapkan satu sampai dua tahun di muka, karena harus berhemat dan menabung. Mengurangi “jatah uang jajan keluarga” dan keperluan lainnya, untuk berlibur ke Bali dan tempat lainnya.
Sebagai orang tua, saya dan suami saya bukan malaikat. Kami hanya orang tua sederhana yang punya cita-cita besar bagi masa depan anak-anak kami. Selaras dengan apa yang dikatakan oleh penulis kitab Amsal, “Didiklah orang muda menurut jalan yang patut baginya, maka pada masa tuanya pun ia tidak akan menyimpang daripada jalan itu” (Amsa 22:6). Oleh karena itu ada juga keceriaan di dalam hati, karena jarak dan waktu yang memisahkan, membuat kami “semakin melekat dan merindukan” satu sama lain.
Hal ini mengingatkan saya pada seorang ahli antropologi, yang bernama James Prescott. Ia mengatakan, bahwa jika anak-anak dibesarkan dalam kasih sayang, mereka akan tumbuh menjadi seorang dewasa yang lebih sehat, dan lebih bahagia. Sebaliknya anak-anak yang masa kanak-kanaknya penuh dengan penolakan dan kekerasan, kelak akan bertumbuh menjadi anak-anak yang sangat tertekan dan jahat. Kami berdoa, semoga Brian dan Justin terus bertumbuh menjadi seorang dewasa yang sehat dan bahagia karena mereka dibesarkan dalam kasih sayang dan penuh cinta. <3





“THE COURAGE TO TEACH"



“THE COURAGE TO TEACH[1]
Oleh: Pdt. Maryam Kurniawati Sutanto D.Min




Khru Suwimon Suwanat adalah seorang guru Sekolah Dasar Krong Pinang. Tiga puluh enam tahun lamanya ia telah menjadi guru di sekolah, yang terletak di daerah Ujung Selatan, Thailand meskipun ia menghadapi ancaman kekerasan setiap hari.
Di daerah lainnya di Ujung Selatan, seperti Yala, Pattani dan Narathiwat, guru-guru, siswa dan para orang tua menghadapi ancaman kekerasan dari para pemberontak, yang telah membakar sejumlah sekolah di kawasan itu sejak tahun 2004. Lebih dari seratus lima puluh guru terbunuh dalam aksi kekerasan itu, dan seratus orang lagi menderita cacat permanen. Untuk menjaga keamanan guru dan siswa mereka, sekolah-sekolah setempat mengandalkan personil keamanan untuk menjaga dan melindungi mereka.
“Setiap pagi, para tentara menjemput para guru dan mengantar mereka dalam iringan kendaraan, kemudian mengantar mereka pulang ketika jam pelajaran di sekolah sudah berakhir,” kata Direktur Sekolah Krong Pinang, Pollawat Boonchuy kepada wartawan Surat Kabar Asia.
Bagi Khru Suwimon Suwanat, penjagaan dan perlindungan dari personil keamanan itu telah menjadi rutinitas sehari-hari. Setiap hari dengan pengawalan ketat sepanjang 15 km dari rumah ke sekolah, Suwimon bekerja keras tanpa kenal lelah selama 36 tahun di Sekolah Krong Pinang. Tinggal satu tahun lagi, Suwimon akan memasuki usia pensiun pada usia 60 tahun.
“Ketika saya memutuskan bekerja di tiga provinsi perbatasan di daerah selatan, pada awalnya saya merasa takut. Tetapi ketika saya bertemu dengan para guru kepala, mereka sangat baik kepada saya,” tutur Suwimon.
“Saya cinta tempat ini. Sudah seperti rumah saya sendiri. Saya suka sekolah ini dan juga penduduk di daerah ini. Ketika saya pergi ke luar sekolah, saya tidak merasa takut. Tetapi ketika saya berbicara dengan mantan murid-murid saya, mereka memberikan informasi mengenai apa yang boleh dan yang tidak boleh dilakukan, dan saya menuruti mereka,” kata Suwimon dengan hati-hati.
               Di antara mantan murid-murid yang menghargai pengabdiannya, ada Funha Sah-ah, yang berusia 11 tahun. “Ibu Suwimon mengajar orang tua saya, dan sekarang dia mengajar saya. Saya merasa sangat nyaman dengannya, sebab dia sangat berdedikasi dan berkomitmen pada kami. Dia berkata akan bekerja di sekolah ini selama dia mampu, meneruskan pengetahuannya kepada para muridnya dan membantu kami menjadi orang-orang yang baik di masa depan, sampai dia tidak lagi mampu berbuat demikian,” kata Funha Sah-ah kepada wartawan Asia.
Sekolah Krong Pinang memiliki 33 orang guru dan staff untuk mengajar lebih dari 510 orang murid, yang hampir seluruhnya adalah kaum Muslim Melayu. Suwimon mengajar matematika di kelas empat dan bahasa Thailand di kelas dua. Setiap pagi ia bergabung dengan guru-guru lainnya, berkendara di belakang Songthew, sebuah truk terbuka yang dimodifikasi untuk mengangkut penumpang. Tempat penjemputan tidak jauh dari lokasi serangan bom mobil yang terjadi pada tanggal 31 Maret 2012.[2] Penyedia keamanan bagi para guru adalah para anggota Unit Operasi Khusus 13 dari Angkatan darat Kerajaan Thai yang berpusat di distrik Krong Pinang, sebagai salah satu distrik yang paling berbahaya di Propinsi Yala.
Seperti guru-guru yang lainnya, Suwimon pada awalnya memilih Sekolah Krong Pinang, untuk memulai profesinya sebagai guru. Namun, ia tidak seperti orang lain yang menggunakan kedudukan dan senioritas mereka untuk dipindahkan ke sekolah yang lebih dekat dengan rumah mereka, atau yang berada di luar kawasan Ujung Selatan.  Dia memutuskan untuk tetap tinggal. “Saya merasa ini rumah saya,” kata Suwimon.
“Pada tahun 2005, pemerintah menerapkan kebijakan yang memungkinkan para guru sekolah negeri di kawasan itu untuk pindah ke sekolah di provinsi asal mereka. Banyak teman saya yang pindah. Saya dulu juga berpikir untuk pindah. Keputusan itu berat! Tetapi setelah saya lama mengajar di sekolah ini, saya mengajar putra dan putri dari mantan murid-murid saya. Saya menganggap mereka semua keluarga. Mereka adalah putra, putri dan sepupu saya. Saya merasa berada di rumah sendiri,” kata Suwimon.
Tidak semua orang mempunyai keberanian dan komitmen untuk mengajar seperti Khru Suwimon Suwanat. Di tempatkan di sebuah kawasan yang rentan dengan aksi kekerasan dalam bentuk serangan bom, akan membuat orang takut untuk mengajar. Selain medan yang sulit dan berbahaya, juga sama sekali tidak ada jaminan akan keselamatan dalam mengajar. Apa yang membuat Khru Suwiman Suwanat berani mengambil resiko itu? Jawabannya adalah karena cinta kasih. Kalau seorang guru sudah memiliki cinta kasih sejati kepada murid-muridnya, ia akan menemukan tidak hanya model pembelajaran yang paling sesuai dengan kondisi murid-muridnya, tetapi juga daya dan kekuatan untuk menghalau ketakutan-ketakutan yang menghalanginya untuk mengajar.[3] Ah, kalau saja di tengah carut marutnya dunia pendidikan kita di Indonesia, kita memiliki guru-guru yang mempunyai keberanian dan komitmen seperti Khru Suwimon Suwanat, sehingga sebagai guru atau pendidik kita  “merasa berada di rumah sendiri,” berperilaku lebih santun dan mampu menghadirkan conroh konkret akan nilai-nilai keutamaan dalam hidup. Dengan cara seperti itu, pembelajaran menjadi suatu perziarahan guru dan murid-murid untuk mencari kebenaran dan mencintai apa yang baik. Khalil Gibran berkata, “Besarkan anakmu dengan cinta, maka dia akan belajar mencintai.”[4]
Sebagai guru dan atau pendidik, kita dapat belajar dari Yesus, Sang Guru Sejati. Memiliki kasih, yang memberikan diri kepada orang lain, sehingga semakin besar energy yang dihasilkan dalam menanggapi setiap kebutuhan cinta dari orang lain. Dalam Yohanes 14:21b, Yesus berkata, “… Barangsiapa mengasihi Aku, ia akan dikasihi oleh Bapa-Ku, dan Aku pun akan mengasihi dia dan akan menyatakan diri-Ku kepadanya.” Menjadi guru – dengan segala inflasi makna – dalam berbagai jargon yang terkait dengan pahlawan tanpa tanda jasa, yang digugu lan ditiru, panutan, dan orang tua kedua, kita dipanggil untuk melakukan sesuatu yang lebih besar dari dirinya sendiri, seperti yang diyakinkan oleh pendiri Apple dan Pixar, Steve Jobs pada saat acara wisuda di Stanford University 2005:
“Your work is going to fill a large part of your life, and the only way to be truly satisfied is to do what you believe is great work. And the only way to do great work is to love what you do. If you haven’t found it yet, keep looking. Don’t settle. As with all matters of the hearts, you’ll know when you find it. And, like any great relationship, it just gets better and better as the years roll on” (Steve Jobs, 1955-2011)
Semoga sukses!








[1] “The Courage to Teach” berasal dari kata “Parrhesiazomai,” yang menunjuk pada arti to use freedom in speaking, be free spoken, to speak freely; dan atau to grow confident, have boldness, show assurance, assume a bold bearing. Dalam terjemahan Bahasa Indonesia, “The Courage to Teach” dapat diartikan sebagai mengajar dengan berani, dengan keberanian mengajar, keberaniannya mengajar. Seorang guru yang baik, tidak ditentukan oleh seberapa pandai dan hebatnya dia mengajar di kelas. Pengajaran yang baik selalu datang dari kepribadian dan integritas guru yang baik.
[2] Serangan bom ini menewaskan 11 orang, dan menciderai lebih dari 100 orang
[3] A. Mintara Sufiyanta & Yulia Sri Prihartini, Sang Guru Sang Peziarah (Jakarta: Penerbit Obor, Cet-2, 2011), 142.
[4] Ibid., 152.