Halaman

Senin, 21 November 2016

"APAKAH PENDERITAAN KITA UNTUK TUHAN ATAU IBLIS?"




Pada tanggal 14 November 1970, sebuah kecelakaan pesawat terbang telah merenggut nyawa sebagian besar anggota Tim sepakbola Marshall University. Tujuh puluh lima orang tewas, yakni staff, pelatih dan sejumlah pemimpin masyarakat di Huntington, Virginia Barat, sehingga Universitas dan masyarakat sangat terguncang. Dua dari orang-orang yang kehilangan sanak keluarga dan orang-orang yang mereka kasihi, adalah Paul Griffen dan Annie Cantrell. Kisah mereka berpautan, karena putra Griffen, Chris adalah tunangan Annie. Ketika Chris tewas, mereka tenggelam dalam tahun-tahun yang penuh kesedihan, derita dan dukacita yang tak tertanggungkan. Kata Griffen kepada Annie, “Kesedihan itu memporak-porandakan!”  Ia benar, kesedihan – apa pun bentuknya – kerapkali memporak porandakan. Pada waktu-waktu tertentu merasakan, kita semua merasakan bagaimana kesedihan itu tidak hanya memporak-porandakan hidup kita, tetapi juga membuat kita terluka dan kehilangan pengharapan. “Sudahlah tidak usah bicara tentang Tuhan. Buat apa saya ke Gereja? Buat apa saya berdoa? Nyatanya, hidup saya seperti ini!”

Dorothee Soelle, seorang teolog Protestan dalam bukunya Suffering pernah berkata, ”Pertanyaan terpenting yang dapat kita ajukan tentang penderitaan adalah untuk siapa penderitaan itu terjadi? Apakah penderitaan kita untuk Tuhan atau Iblis?” Dengan pertanyaan itu, Soelle mau berkata, yang terpenting sebenarnya bukan dari mana tragedi atau kesedihan itu datang, tetapi ke arah manakah penderitaan itu tertuju? Apakah derita itu kita persembahkan kepada Tuhan atau Iblis? Jika kematian atau penderitaan, atau orang yang kita kasihi membuat kita mengalami kepedihan hati, dendam, sakit hati dan membenci kehidupan ini, itu berarti kita sudah membuat diri kita menjadi seorang hamba atau pelayan Iblis. Tapi jika penderitaan dan keterhilangan itu membuat kita menemukan Sumber Penghiburan yang tidak pernah kita mengerti sebelumnya, maka kita telah membuat diri kita menjadi hamba atau pelayan Allah. Kebenaran yang harus kita petik dalam situasi ini adalah : Tuhan tidak mengasihi kita dengan cara yang sama seperti kita mengasihi Dia! Boleh jadi kita pikir, Tuhan sudah meninggalkan dan membiarkan kita. Namun marilah kita melihat apa yang dikerjakan Tuhan dalam perspektif yang lebih luas, karena iman kita mengatakan, bahwa segala sesuatu yang dilakukan Tuhan itu selalu tepat dan benar, sekalipun kita tidak dapat memahaminya.

Beriman kepada Allah memungkinkan kita hidup dengan pengaharapan yang aktif, bukan dengan sikap sinis. Dalam Yeremia 29:11 Firman Tuhan berkata, “Sebab Aku ini mengetahui rancangan-rancangan apa yang ada pada-Ku mengenai kamu, demikianlah firman Tuhan, yaitu rancangan damai sejahtera dan bukan rancangan kecelakaan, untuk memberikan kepadamu hari depan yang penuh harapan.” Oleh karena itu, ketika kesukaran datang seperti gunung penghalang, dan kesedihan menutup pandangan kita seperti kabut, kita memang menghadapi saat-saat yang sulit. Tetapi, kalau Tuhan Yang Mahakuasa dan Mahabaik itu mengijinkan kita mengalami kesedihan dan kesusahan itu, apakah Ia berharap iman kita hancur lebur di tengah goncangan itu?! Tentu saja tidak! Mungkin Tuhan sedang mengajarkan sesuatu tentang diri-Nya, yang selama ini mungkin belum kita sadari dan pahami. Seperti kata orang, ”no pain, no gain,” tidak ada rasa sakit, tidak ada hasil, dan melalui kesedihan dan kesusahan itulah iman kita diharapkan-Nya bertumbuh dan berbuah. Sebab Tuhan sudah, sedang dan tengah membentuk ulang hidup kita dan memurnikan kita seturut dengan kehendak-Nya. Tujuan atau maksudnya adalah supaya setiap kita, dapat menjadi alat di tangan Tuhan untuk mewartakan keagungan dan kasih-Nya! 

Segala kesedihan dan permasalahan yang kita hadapi, merupakan bukti nyata dari kasih dan pemeliharaan Tuhan yang dianugerahkan kepada kita. Dalam Mazmur 22:23-31 Pemazmur mengungkapkan pujian dan rasa syukurnya kepada Tuhan, karena ia sungguh-sungguh merasakan bagaimana Tuhan menyertai dan menolong dia dari segala kesedihan dan permasalahan hidup yang dialaminya. Dalam bagian sebelumnya diungkapkan kepada kita, ada saat-saat di mana Pemazmur merasa ditinggalkan oleh Tuhan sehingga ia tidak hanya putus asa tetapi juga kehilangan pengharapan dalam hidupnya. Namun bedanya dengan kita, Pemazmur tidak hanya berhenti sampai di situ. Ia melihat apa yang dikerjakan Tuhan dalam perspektif yang lebih luas, karena imannya mengatakan, bahwa segala sesuatu yang dilakukan Tuhan itu selalu tepat dan benar, sekalipun ia tidak dapat memahaminya. Bagi Pemazmur, keagungan Allah itu ditunjukkan melalui tindakan-Nya, yang memperhatikan permohonan anak-anak-Nya, dan Ia sungguh-sungguh menunjukkan perhatian-Nya kepada orang yang berseru kepada-Nya. Pemazur mengajak kita untuk mewartakan keagungan dan kasih Allah kepada anak-anak dan cucu kita, kepada generasi selanjutnya, bahwa Tuhan Allah, adalah satu-satunya sumber kekuatan di sepanjang hidup kita. Walaupun kita banyak menghadapi ujian, hambatan dan rintangan yang membuat kita susah dan menderita, namun kita tidak pernah ditinggalkan dan dibiarkan oleh-Nya. Dalam Mazmur 18:31-32 dikatakan, “Adapun Allah, Jalan-Nya sempurna; jani Tuhan adalah murni. Dia menjadi Perisai bagi semua orang yang berlindung pada-Nya. Sebab siapakah Allah, selain dari Tuhan, dan siapakah Gunung Batu kecuali Allah kita?”
 
Late post, Rev. Maryam Kurniawati D.Min

Tidak ada komentar:

Posting Komentar