Halaman

Jumat, 08 September 2017

INKUISISI



INKUISISI

Sejarah mencatat, ada suatu masa Lembaga Gereja dengan kekuasaannya yang otoriter membunuhi (membakar, memancung dan menyiksa) orang-orang yang dianggap berdosa atau dianggap sesat. Gereja-gereja justru menjadi pelanggar HAM yang serius. Pengucilan (atau disebut dengan istilah "ekskomunikasi") kala itu menjadi suatu momok yang amat sangat menakutkan, karena konsekuensinya adalah siksaan yang diakhiri dengan hukuman mati. Semangat Gereja-gereja dalam menumpas kesesatan dan menumpas pendosa saat itu memang luar biasa, namun di saat yang sama gereja-gereja justru melupakan kasih. "Orang-orang saleh" di dalam gereja menjadi algojo-algojo atas nama Tuhan. Gereja untuk waktu yang panjang menjadi momok dan mesin pembunuh untuk "para pendosa" (orang yang dianggap berdosa). Jangan lah hal ini terulang lagi. 

HUKUM KASIH harus menjadi patokan yang terutama, dan yang tertinggi daripada segala macam hukum-hukum atau peraturan-peraturan hasil dari Persidangan gerejawi manapun dan apa pun.


Catatan pinggir Goenawan Mohamad (20 Februari 1993, http://caping.wordpress.com/ yang berjudul "Michael Servetus" merupakan contoh dari bahaya yang luar biasa dari pemberian kekuasaan yang tak terbatas atas tubuh dan kehidupan orang-orang yang tidak kudus yang menyatakan diri kudus.


Michael Servetus

Iman --atau bagaimana iman itu ditafsirkan-- terkadang bukan lagi sebuah cahaya lampu yang menemani kita dalam perjalanan mencari; ia menjadi lidah api, yang menyala, membakar, kuat, kuasa, gagah, tapi juga pongah.

Terutama ketika masa terasa gelap.

Seperti di sebuah hari musim gugur di tahun 1553. Michael Servetus, seorang ahli agama asal Spanyol, dihukum mati di bukit Champel, di selatan Kota Jenewa. Ia diikat ke sebuah tiang, dan dibakar pelan-pelan. Ia tewas kesakitan dengan jangat yang jadi hitam, hangus.

Apa salahnya? Ia menulis buku, ia menulis surat, ia berpendapat. Tetapi ia punya kesimpulannya sendiri tentang Tuhan, dan sebab itu mengusik para penjaga iman Protestan di Jenewa, kota yang telah jadi sebuah teokrasi yang lebih keras ketimbang Roma. Adalah Jean Calvin sendiri yang menyeret Servetus ke dalam api. Pelopor dahsyat dari Protestantisme itulah yang memimpin Jenewa ke suatu masa ketika iman sama artinya dengan ketidaksabaran.

Servetus sebenarnya hanya salah satu suara yang mengguncang, di zaman ketika doktrin retak-retak seperti katedral tua yang digocoh gempa. Ia lahir di Villanueva, Spanyol, mungkin di tahun 1511. Ia bermula belajar ilmu hukum di Toulouse, Prancis. Di sini ia menemukan injil, yang ia baca "seribu kali" dengan haru. Tapi kabarnya ia juga membaca Quran dan terpengaruh oleh Yudaisme, dan sebab itu sangat meragukan doktrin Trinitas. Marin Luther menjulukinya "Si Arab".

Di tahun 1531 ia menerbitkan bukunya, De Trinitatis erroribus libri vii. Konon ia mengemukakan bahwa inilah arti Yesus sebagai "Putra Allah": Tuhan Bapa mengembuskan Logos ke dalam dirinya, tapi Sang Putra tak setara dengan Sang Bapa. Seperti dikutip oleh Will Drant dalam jilid ke-6 The Story of Civilization, bagi Servetus, Yesus "dikirim oleh Sang Bapa dengan cara yang tak berbeda seperti salah seorang Nabi".

Ditulis dalam usia 20-an tahun, dengan bahasa Latin yang masih kaku, buku itu cukup membuat amarah para imam Katolik dan pemimpin Protestan sekaligus, di tengah suhu panas (dan berdarah) yang menguasai mereka. Di tahun 1532, Servetus pun buru-buru pindah ke Prancis.

Tapi di sana ia dihadang. Badan Inkuisisi Gereja Katolik -- yang bertugas mengusut lurus atau tidaknya iman seseorang, dengan cara menginterogasinya dan kalau perlu menyiksanya -- mengeluarkan surat perintah penangkapan. Servetus lari lagi sampai Wina, dengan nama samaran Michel de Villeneuve. Selama itu ia berhasil menguasai ilmu kedokteran, tetapi ia toh selalu ingin mengemukakan pendapatnya tentang agama. Di tahun 1546 ia menyelesaikan Christianismi Restitutio, dan mengirim naskahnya ke Calvin. Mungkin ia ingin menunjukkan oposisinya terhadap tafsir Calvin atas injil. Bagi Servetus, Tuhan tak menakdirkan sukma manusia ke neraka. Baginya, Tuhan tak menghukum orang yang tak menghukum dirinya sendiri. Iman itu baik, tetapi Cinta Kasih lebih baik.

Calvin, yang memandang Tuhan seperti yang tergambar dalam Perjanjian Lama -- angker dan penghukum -- tak melayani Servetus. Ia hanya mengirimkan karyanya, Christianae Religionis Institutio. Servetus pun mengembalikannya -- dengan disertai catatan yang penuh hinaan, disusul dengan serangkaian surat yang mencemooh. "Bagimu manusia adalah kopor yang tak bergerak, dan Tuhan hanya sebuah gagasan ganjil dari kemauan yang diperbudak." Calvin tak bisa memaafkan cercaan ini.

Calvin pula, lewat orang lain, yang memberitahu padri inkuisitor di Prancis tentang tempat bersembunyi Servetus. Kerja sama Protestan-Katolik yang tak lazim ini yang akhirnya membuat Servetus tertangkap di Wina. Ia memang berhasil melarikan diri. Tapi nasibnya sudah diputuskan: pengadilan sipil Wina, dengan napas Gereja Katolik, memvonisnya dengan hukuman bakar bila tertangkap.

Anehnya ia lari ke Jenewa, tempat Calvin berkuasa. Mungkin Servetus berpikir bahwa orang protestan, yang di Prancis dianiaya karena berbeda keyakinan, akan lebih toleran di kota itu. Tapi tidak. Mereka membakarnya.

Calvin kemudian membela kekejaman di bukit Champel itu dengan sebuah argumen yang kita kenal: Aku beriman kepada Kitab Suci, maka akulah yang tahu kebenaran itu. Yang tak sama dengan aku adalah musuh ajaran, musuh Tuhan, harus ditiadakan.

Argumen dengan api itu masih bisa kita dengar kini, dalam pelbagai versinya, dalam pelbagai agama, meskipun di tahun 1903, seperti sebuah sesal, sebuah monumen untuk Servetus dibangun di bukit Champel. Salah satu donaturnya: gereja Protestan yang dulu dipimpin Calvin. Tampaknya manusia sudah lebih sadar tentang kerumitannya sendiri, sedikit.

(Sumber: http://www.sarapanpagi.org/inkuisisi-dalam-sejarah-gereja-vt1554.html)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar