Halaman

Rabu, 27 September 2017

THE POWER OF FORGIVENESS




Kekuatan dari Pengampunan
Rev. Maryam Kurniawati D.Min

Mengampuni bukanlah hal yang mudah untuk dilakukan. Kita berhadapan dengan yang namanya, kemarahan, kepedihan, kepahitan dan rasa sakit hati yang mendalam. Mungkin kita mempunyai segudang pengalaman disakiti, dilukai, dikhianati yang dilakukan oleh orang-orang terdekat, orang-orang yang kita hormati, orang-orang yang kita anggap bagian dari kehidupan kita. Oleh karena itu kalau kita bertanya, mengapa kita harus mengampuni? Jawabannya, pengampunan adalah salah satu aspek kehidupan yang penting dalam Kerajaan Allah. Yesus mengatakan, bila kita ingin mengetahui – mengenal dan mengalami damai sejahtera dan sukacita Kerajaan Allah, kita harus mengampuni siapa saja yang bersalah kepada kita dan sering mengampuni. 
Sampai berapa kali kita harus mengampuni? Tujuh kali tidaklah cukup, melainkan harus tujuh puluh kali tujuh kali atau dengan kata lain tak terbatas. Perikop Matius 18:21-35 menceritakan betapa pentingnya mengampuni dan berbelas kasih kepada sesama, karena kita semua telah menerima belas kasih dan pengampunan dari TuhanDi dalam Alkitab, banyak tokoh Perjanjian Lama yang memberikan contoh kepada kita untuk mengampuni. Yusuf yang telah dicelakai dan dijual oleh saudaranya, akhirnya mau memaafkan saudara-saudaranya (Kej. 45:5-15; Kej 50:10-21). Musa mengampuni Harun dan Miryam yang memberontak (Bil 12:1-13). Daud juga mengampuni Saul, walau pun Saul berusaha berkali-kali membunuhnya (1Sam 24:10-12; 1Sam 26:9; 1Sam 26:23; 2 Sam 1:14-17 ). Daud juga mengampuni Simei yang sebelumnya telah menghina Daud (2 Sam 16:9-13; 2Sam 19:23; 1Raj 2:8-9). Akhirnya, contoh paling sempurna dari tindakan mengampuni adalah Yesus, ketika di kayu salib Dia mengatakan “Ya Bapa, ampunilah mereka, sebab mereka tidak tahu apa yang mereka perbuat” (Luk 23:34).

Dalam bahasa Yunani, mengampuni (aphiemi) berarti membatalkan, melepaskan atau membebaskan. Pengampunan merupakan perwujudan dari belas kasih Allah Bapa kepada umat manusia, yang memberikan Putera-Nya yang dikasihi untuk datang ke dunia dan menebus dosa dunia, sehingga barang siapa percaya kepada-Nya akan mendapat kehidupan yang kekal (Yoh 3:16). Karena itu mengampuni sesama adalah perwujudan dari kasih kita kepada Allah. Dalam Matius 6:15, Yesus berkata, “Jikalau kamu tidak mengampuni orang, Bapamu juga tidak akan mengampuni kesalahanmu.”

Pengampunan adalah penyembuh terbesar dari semua. Bayangkan kedamaian akan datang ke planet kita, jika semua orang di dunia mau melepaskan masalah lama dengan tetangga mereka (tetangga yang dimaksud di sini lintas agama, budaya dna bahasa). Bayangkan apa yang akan terjadi jika kita dapat melepaskan diri dari semua sengketa yang telah terjadi berabad-abad, perbedaan ras, agama, dan luka masa lalu pada yang lain.

 (Forgiveness: The Greatest Healer of All. “Imagine the peace that could come to our planet if all the people of the world would let go of old grievances with their neighbors. Imagine what could happen if we would all let go of centuries-old battles over racial differences, religious differences, and past injuries to one another!” – Gerald G. Jampolsky)

Pengampunan tidak menghapus masa lalu yang pahit. Memory yang sembuh bukanlah memory yang terhapus. Sebagai gantinya mengampuni apa yang tidak dapat kita lupakan, membuat suatu cara baru untuk mengingatnya. Kita mengubah memory masa lalu menjadi sebuah harapan untuk masa depan kita.
(Forgiving does not erase the bitter past. A healed memory is not a deleted memory. Instead, forgiving what we cannot forget creates a new way to remember. We change the memory of our past into a hope for our future” - Lewis B. Smedes)
Mengampuni sesama adalah perwujudan dari kasih kita kepada Allah. Hanya orang yang kuat, yang mampu mengampuni. Contohnya adalah Malala Yousafzai. Dengan mengampuni penyerangnya, Malala telah mengambil langkah pertama menuju penyembuhan dengan terus menerus menawarkan harapan kepada orang lain.
Siapakah Malala Yousafzai? Malala lahir di Mingora, Distrik (Lembah) Swat, Pakistan, 12 Juli 1997. Ayahnya bernama Ziauddin Yousafzai, dan ibunya bernama Tor Pekai Yousafzai Dengan dua adik laki-lakinya, Khushal dan Atal, dari suku Pusthun. Pada 9 Oktober 2012, sebuah truk yang dimodifikasi sebagai bus Sekolah “Khushal” – sekolah milik ayah Malala - di kota Mingora, sedang membawa sejumlah murid perempuan pulang dari sekolah mereka, salah satunya adalah Malala.
Tiba-tiba truk itu dihadang oleh dua laki-laki muda bersenjata dari Taliban. Salah satunya menaiki belakang truk itu, lalu bertanya, “Yang mana Malala?” Itulah pertanyaan yang sempat didengar oleh Malala, sebelum dia kehilangan kesadaran. Pemuda Taliban itu menembaknya dua kali, tembakan pertama mengena kepala di dekat mata kirinya, dan yang kedua mengena lehernya.  Malala roboh bermandikan darahnya sendiri.
Malala ditembak dengan maksud dibunuh oleh Taliban, karena dia seorang anak perempuan yang berani menantang  Taliban yang melarang anak-anak perempuan sekolah. Tak perduli dia hanya seorang anak perempuan remaja yang baru berusia 16 tahun. Saat itu Taliban di bawah pimpinan Maulana Fazlullah yang menguasai Lembah Swat melarang semua anak perempuan sekolah.
Meskipun Malala menderita luka sangat parah, nyawanya berhasil diselamatkan. Setelah dioperasi untuk mengeluarkan peluru yang bersarang di kepalanya, dan beberapa hari dirawat di sebuah rumah sakit militer  di Peshawar,  Pakistan, dia diterbangkan ke Inggris, untuk menjalani operasi dan perawatan intensif yang jauh lebih baik di Rumah Sakit Queen Elizabeth, di Birmingham.
Enam bulan Malala harus berada di rumah sakit untuk menjalani beberapakali operasi dan perawatan pemulihan. Malala melanjutkan sekolahnya di Birmingham, tinggal di sebuah rumah yang disediakan oleh pemerintah Inggris bekerjasama dengan pemerintah Pakistan, bersama ayah, ibu dan dua adik laki-lakinya itu. Pada tanggal 12 Juli 2013, bertepatan dengan hari ulang tahunnya yang keenam belas, Malala berpidato di Forum Majelis Kaum Muda di Markas Besar PBB, di New York, Amerika Serikat. Inti pidatonya berbicara mengenai hak-hak (anak) perempuan untuk bersekolah, perlawanan terhadap terorisme dan kebodohan. Salah satu kalimatnya yang terkenal adalah, dengan ”Satu anak, satu guru, satu buku, satu pena, bisa mengubah dunia.”


(“Dear sisters and brothers, I am not against anyone. Neither am I here to speak in terms of personal revenge against the Taliban or any other terrorists group. I am here to speak up for the right of education of every child. I want education for the sons and the daughters of all the extremists especially the Taliban.”)
Pada tanggal 10 Oktober 2014, Malala memperoleh hadiah Nobel bidang Perdamaian bersama dengan Kailash Satyarthi dari India. Malala adalah penerima Nobel termuda dalam sejarah untuk semua kategori. Sejak usia 12 tahun, Malala  sudah dengan luar biasa gigihnya memperjuangkan hak anak perempuan untuk sekolah, meskipun itu sama dengan menantang Taliban. Apa yang dilakukan Taliban terhadap Malala untuk membunuhnya, sedikit pun tidak membuat Malala mundur. Ia terus berjuang, agar anak laki-laki dan anak-anak perempuan lainnya dapat bersekolah. Untuk melawan terorisme dan kebodohan, Malala menegaskan, ”Satu anak, satu guru, satu buku, satu pena, bisa mengubah dunia.”
Pengampunan merupakan perwujudan dari belas kasih Allah Bapa kepada umat manusia, yang memberikan Putera-Nya yang dikasihi untuk datang ke dunia dan menebus dosa dunia, sehingga barang siapa percaya kepada-Nya akan mendapat kehidupan yang kekal (Yoh 3:16). Oleh karena itu mengampuni orang lain yang telah melukai atau menyakiti kita, atau berbuat kesalahan kepada kita adalah perwujudan dari kasih kita kepada Allah.





Tidak ada komentar:

Posting Komentar