Halaman

Rabu, 05 September 2012

MENANGIS ...




Menangis berarti menumpahkan, bukan saja tetes air mata, 
namun juga beban dalam kalbu... seiring isak tangis, 
biarlah tangan Tuhan mengisi bagian kosong dalam 
kalbumu - yang tadinya dipenuhi dengan beban - dengan damai 
sejahtera-Nya yang melampaui 
akal budi manusia...

KERENDAHAN HATI


Takut akan TUHAN adalah didikan yang mendatangkan hikmat, dan kerendahan hati mendahului kehormatan
(Amsal 15:33)



Di Mesir hidup seorang sufi tersohor bernama Zun-Nun. Pada suatu hari, seorang pemuda datang menjumpainya dan bertanya, “Guru, saya tidak mengerti mengapa orang seperti Anda koq berpakaian amat sederhana. Bukankah di masa seperti sekarang ini, penampilan diperlukan untuk banyak tujuan lain yang baik.” Sang sufi hanya tersenyum; lalu ia melepaskan cincin dari salah satu jarinya. Ia berkata, “Sobat muda, aku akan menjawab pertanyaanmu, tetapi lebih dulu lakukan satu hal untukku. Ambillah cincin ini dan bawalah ke pasar di seberang sana. Bisakah kamu menjualnya seharga satu keping emas?” Melihat cincin Zun-Nun yang kotor, pemuda itu merasa ragu-ragyu, “Satu keping emas? Saya tidak yakin cincin ini bisa dijual seharga itu.” Tapi Zun-Nun berkata, “Cobalah dulu sobat muda. Siapa tahu kamu berhasil.”
Pemuda itu segera bergegas ke pasar. Ia menawarkan cincin itu kepada pedagang kain, pedagang sayur, penjual daging dan ikan, serta kepada yang lainnya. Ternyata tak satu pun dari mereka yang berani membeli cincin itu seharga satu keping emas. Mereka menawarnya hanya satu keping perak. Tentu saja, pemuda itu tak berani menjualnya dengan harga satu keping perak. Ia kembali ke padepokan Zun-Nun dan melapor, “Guru, tak seorang pun berani menawar lebih dari satu keping perak.” Zun-Nun, sambil tetap tersenyum arif, berkata, “Sekarang pergilah kamu ke toko emas di belakang jalan ini. Coba perlihatkan kepada pemilik toko atau tukang emas di sana. Jangan buka harga, dengarkan saja bagaimana ia memberikan penilaian.”
Pemuda itu pun pergi ke toko emas yang dimaksud. Ia kembali kepada Zun-Nun dengan raut wajah yang lain. Ia kemudian melapor, “Guru ternyata para pedagang di pasar tidak tahu nilai sesungguhnya dari cincin ini. Pedagang emas menawarnya dengan harga seribu keping emas. Rupanya nilai cincin ini seribu kali lebih tinggi daripada yang ditawar oleh para pedagang di pasar.”
Zun-Nun tersenyum simpul sambil berujar lirih, “Itu jawaban atas pertanyaanmu tadi sobat muda. Seseorang tak bisa dinilai dari pakaiannya. Emas dan permata yang ada dalam diri seseorang, hanya bisa dilihat dan dinilai, jika kita mampu melihat ke kedalaman hati dan jiwa seseorang. Kita tidak bisa menilainya hanya dengan tutur kata dan sikap yang kita lihat dan kita dengar secara sekilas.”
Dalam kehidupan sehari-hari, kerapkali kita menilai seseorang mungkin hanya dari penampilannya, dari baju yang dipakainya, atau mungkin dari tutur kata dan sikapnya yang kita lihat dan kita dengar, hanya sekilas. Akibatnya, sama seperti para pedagang di pasar tadi, kita jadi suka keliru, karena penampilan mereka, baju mereka, tutur kata dan sikap mereka, bisa saja mengelabui mata dan telinga kita. Mungkin sama seperti Samuel yang pada mulanya, terpikat oleh penampilan dan perawakan Eliab dan Abinadab yang tampan dan gagah perkasa. Namun ternyata bukan mereka, tetapi Daud-lah yang dipilih dan diurapi menjadi raja Israel. Karena itu dalam 1 Sam. 16:7b dikatakan, “Manusia melihat apa yang di depan mata, tetapi Tuhan melihat hati.”  Sebab itu, jangan melihat seseorang hanya dari penampilannya, atau dari bajunya, atau kemasannya. Mengapa? Karena terus terang saja, pendengaran kita terbatas dan penglihatan kita sering keliru. Emas dan permata yang ada dalam diri seseorang, ternyata hanya bisa kita lihat dan kita nilai, jika kita mampu melihat ke kedalaman hati dan jiwa seseorang.
Untuk melihat ke dalaman dan jiwa seseorang, sebenarnya dibutuhkan kerendahan hati. Dalam PL kerendahan hati (modesty) diperlihatkan dengan sikap menangis, berpuasa dan mengoyakkan jubah (1 Raj. 21:29; 2 Raj.  22:11-20; Amsal 3:34). Dalam PB kerendahan hati adalah merasa tidak berdaya seperti “anak-anak” (Mat. 18:4); tidak mempertahankan kedudukan (Flp. 2:8-9); tidak merendahkan martabat orang lain (Luk. 14:11; 18:4). Dengan demikian kerendahan hati adalah bersikap ramah, terbuka, tidak sombong/tinggi hati, mampu menghargai martabat dan kelebihan orang lain, dan mudah menyesuaikan diri. Kerendahan hati seperti ini berkenan kepada Allah (Ef. 4:2) Itulah sebabnya mengapa dalam Yakobus 4:6b dikatakan, bahwa “Allah menentang orang yang congkak, tetapi mengasihani orang yang rendah hati.”
Tampaknya tidak sedikit orang yang memandang dirinya lebih dari orang2 lain. Baik dalam penampilan, bakat, kemampuan yang dimiliki, prestasi yang dihasilkan, jabatan dan kedudukan yang diraihnya, status hidup yang didapatnya, atau popularitas dan prestise yang dicapainya di tengah masyarakat. Dengan hal2 tsb orang lalu memandang dan menilai dirinya lebih hebat dan lebih tinggi derajatnya dari orang lain. Karena itu dalam Alkitab, kesombongan atau tinggi hati dipandang sebagai “akar dosa” karena mengesampingkan orang lain dan Allah (Bnd. Ester 5:9-14 : Haman dan Mordekhai). Sebaliknya kerendahan hati tidak dipahami sebagai rendah diri atau menghinakan diri. Hidup dengan rendah hati akan membuat seseorang : menghargai dirinya dan bebas dari perangkap kesombongan. Dengan kerendahan hati orang dapat menerima dan menghargai dirinya dan menghargai orang lain, dengan segala kelebihan dan kekurangannya.
Dengan kerendahan hati, akan terbentuk hati yang penuh cinta dan memiliki cinta untuk semua orang. Dalam Amsal 29:23 dikatakan, “Keangkuhan merendahkan orang, tetapi orang yang rendah hati menerima pujian.” Dengan kata lain, perasaan lebih tinggi daripada orang lain dapat membuat orang merendahkan orang lain. Perasaan lebih rendah dapat membuatnya iri hati terhadap orang lain. Iri hati adalah perasaan tidak puas karena keberuntungan orang lain. Perasaan iri terbentuk ketika orang berpikir bahwa keberuntungan dan kebahagiaan orang lain mengurangi atau menurunkan kehormatannya. Akar iri hati terdapat pada perasaan rendah diri atau menghinakan diri.
Dalam Filipi 2:7 Paulus menggunakan istilah “kenosis” (pengosongan diri atau pengingkaran diri dari segala arogansi insani). Menurut Paulus, Yesus telah mengosongkan dirinya. Ia menerima rupa seorang hamba. Merendahkan diri dan mati. Ketakjuban Paulus akan pengorbanan Kristus di kayu salib telah melenyapkan segala bentuk kesombongan dirinya. Bagi Isaac Waat, berhadapan dengan salib Kristus, kita semua bagaikan cacing (makhluk hina, rendah dan tak berharga). When I survey the wondrous cross, for such a worm as I? (Yesaya 41:14). Oleh karena itu, dari Yesus kita belajar untuk mengosongkan diri, dalam arti menghapuskan semua pikiran mengenai diri sendiri dan mencurahkan diri habis2an untuk memperkaya orang lain (kenotic intelligence : 2 Kor. 8:9, Ef. 1:23; 4:10). Bagi kita ini berarti, “Ia harus makin besar, tetapi aku harus makin kecil” atau menjadi pribadi yang berkarakter positif dan kooperatif (Yoh. 3:30) di dalam setiap aspek kehidupan kita, baik secara individual maupun secara kolektif. 
Akhirnya, ada kalimat bijak yang berkata demikian, “Tempat yang bisa digunakan untuk mengubah duniamu adalah hatimu (heart), isi pikiranmu (mind), dan tindakanmu (hands).” Apa yang mau dikatakan oleh perkataan bijak ini? Jika kita menginginkan kehidupan bersama kita lebih baik, mulailah melakukan perubahan dari diri kita terlebih dahulu. Kita dapat melakukan sesuatu yang baik bagi orang lain, ketika kita sudah mengalami pembaruan hati, pikiran dan tindakan kita. Itulah transformasi kehidupan yang seutuhnya. Karena itu kita harus mengubah dunia ini menjadi lebih baik, dengan kerendahan hati. Mulailah dari diri kita. Memang bukan hal yang mudah, tetapi mungkin untuk dilakukan. Inilah wujud konkret iman kita kepada Tuhan Yesus, Sang Pembaru Kehidupan.

MERAJUT BENANG KEARIFAN DALAM HIDUP





Hidup kita tampaknya tidak pernah sepi dari yang namanya susah dan derita, keberhasilan dan kegagalan baik dalam kehidupan keluarga, pekerjaan, dan bahkan dalam pelayanan kita. Sekali waktu, mungkin kita sudah bekerja keras, berupaya seoptimal mungkin untuk membangun usaha, pekerjaan atau masa depan keluarga kita. Lalu tiba-tiba saja, ada orang menjahati kita, dan merampas semua kebahagiaan hidup kita. Hidup kita jadi morat marit. Jangankan untuk keperluan yang lain, untuk makan pun susah. Belum lagi, biaya untuk anak-anak sekolah, bayar listrik, telpon dan air. Kepala kita jadi pusing tujuh keliling. Keadaan kita, mungkin sama dengan si anak muda dalam cerita tadi. Sedih, kecewa, dan sakit hati, menghadapi pahit getirnya hidup ini. Akibatnya,  hati kita jadi kosong dan hampa diperhadapkan pada kesulitan, keras dan kejamnya kehidupan ini.. Bagaikan minum segelas air dengan segenggam garam. Kita tidak pernah menduga, bahwa prestasi, kerja keras kita selama bertahun-tahun akan dihancurkan dalam sekejab mata. Rumah pun tak pernah sepi dari pertengkaran dan kesalahpahaman. 

Saya jadi ingat sebuah kisah. Suatu ketika, hiduplah seorang tua yang bijak. Suatu pagi, datanglah seorang anak muda yang sedang dirundung banyak masalah. Langkahnya gotai dengan air muka muram. Anak muda itu tampak seperti orang yang tak bahagia. Tanpa membuang waktu, ia segera menceritakan semua masalahnya. Pak Tua yang bijak hanya mendengarkannya dengan saksama. Ia lalu mengambil segenggam garam, dan meminta tamunya untuk mengambil segelas air. Ditaburkannya garam itu ke dalam gelas, lalu diaduknya  perlahan. “Coba, minum ini dan katakan bagaimana rasanya …”, ujar Pak Tua itu. “Asin dan pahit. Pahit sekali,” jawab anak muda itu, sambil meludah ke lantai.
Pak Tua sedikit tersenyum. Ia lalu mengajak tamunya ini untuk berjalan ke tepi telaga di dalam hutan dekat tempat tinggalnya. Kedua orang itu berjalan berdampingan, dan akhirnya sampailah mereka ke tepi telaga yang tenang itu. Pak Tua itu kembali menaburkan segenggam garam ke dalam telaga. Dengan sepotong kayu dibuatnya gelombang mengaduk-aduk dan tercipta riak air, mengusik ketenangan telaga itu. “Coba, ambil air dari telaga ini, dan minumlah.” Saat anak muda itu selesai mereguk air itu, Pak Tua berkata lagi, “Bagaimana rasanya ?” “Segar,” sahut tamunya. “Apakah kamu merasakan garam di dalam air itu ?” tanya Pak Tua itu.
“Tidak,” jawab si anak muda. Dengan bijak Pak Tua itu menepuk-nepuk punggung si anak muda. Ia lalu mengajaknya duduk berhadapan, bersimpuh disamping telaga itu dan berkata, “Anak muda, dengarlah. Pahitnya kehidupan adalah layaknya segenggam garam, tak lebih dan tak kurang. Jumlah dan rasa pahit itu adalah sama, dan memang akan tetap sama. Tapi, kepahitan yang kita rasakan, akan sangat tergantung dari wadah yang kita miliki.”
Kepahitan itu didasarkan pada perasaan, tempat kita meletakkan segalanya. Itu semua akan tergantung pada hati kita. Jadi, saat kamu merasakan kepahitan dan kegagalan dalam hidup, hanya ada satu hal yang bisa kamu lakukan. ”Lapangkanlah dadamu menerima semuanya … “ Pak Tua itu lalu kembali memberikan nasihat. “Hatimu adalah wadah itu .. Jadi, jangan jadikan hatimu itu seperti gelas, buatlah laksana telaga yang mampu meredam setiap kepahitan itu dan mengubahnya menjadi kesegaran dan kebahagiaan.” Keduanya lalu  beranjak pulang. Mereka telah belajar sesuatu yang penting hari itu.

Dari kisah Pak Tua kita diajak untuk mengubah paradigma atau cara berpikir kita. Caranya, dengan melapang dada. Menerima semua kenyataan, bahkan kepahitan hidup kita dengan berjiwa besar, dan tidak putus asa. Kita jadikan hati kita laksana telaga, yang mampu meredam setiap kepahitan dan mengubahnya menjadi peluang atau kesempatan, yang akan membawa kebahagiaan bagi kita di masa depan. Hidup kita mungkin akan makin susah, tapi berkat Tuhan toh tak pernah berkurang. Kita tidak selalu dapat melihat tangan Tuhan bekerja, dan tangan-Nya tidak pernah berhenti bekerja. Itulah sebabnya, mengapa Yesus katakan, kita harus punyai iman (dalam arti tetap percaya dan bersandar kepada Allah). Sebab bila kita punya iman sebesar biji sesawi saja, iman itu akan dapat memindahkan ”gunung” persoalan kita dan tidak ada yang mustahil bagi Allah (Lukas 17:6).
Alkitab memperlihatkan kepada kita orang-orang yang dipilih Allah sebagai kakek moyang Israel. Namun toh hidup mereka tidak selalu indah dan manis. Contohnya adalah Yakub. Berapa banyak persoalan yang harus Yakub hadapi. Karena mengambil secara paksa hak kesulungannya, hidup Yakub jauh dari rasa aman, nyaman dan tentram. Ia harus meninggalkan keluarganya. Diburu rasa takut, kalau-kalau Esau akan membunuhnya. Di rumah Laban, pamannya, ia harus bekerja selama 7 tahun untuk menyunting Rahel. Namun Lea yang diperoleh. Ia harus bekerja kerasa lagi selama 7 tahun pada Laban. Sesudah menikah dengan Rahel dan punya 12 anak, Yakub dikhianati oleh anak2nya sendiri yang cemburu kepada Yusuf, anak kesayangannya. Begitulah kenyataan hidup Yakub. Tidak bebas dari kesulitan, kesalahan2 dan kekeliruan2. Namun Allah membentuk Yakub menjadi lebih matang dan dewasa secara rohani.  Pengalaman manis, positif dan luar biasa bersama Tuhan itu, menjamin bahwa kenyataan2 hidup yang paling pahit sekalipun bermanfaat, dan berbuah manis bagi umat-Nya. Hal ini dijamin dengan kuat, karena kebangkitan Kristus Yesus sendiri. Kenyataan pahit dalam kehidupan-Nya, ketika dijalani dengan setia, berbuah manis, bukan hanya untuk diri-Nya sendiri, tetapi juga untuk seluruh dunia. Itulah sebabnya mengapa Rasul Paulus berkata, ” Siapakah yang akan memisahkan kita dari kasih Kristus? Penindasan atau kesesakan atau penganiayaan, atau kelaparan atau ketelanjangan, atau bahaya, atau pedang?” (Roma 8:35)
Dengan pertanyaan itu, Rasul Paulus mau mengatakan, bahwa hidup beriman tidak secara otomatis membuat kita menjadi nyaman dan aman. Sebab kekuatan yang menghancurkan kehidupan kita terus bekerja. Namun semuanya berada di bawah kasih karunia Allah. Jaminan bahwa Allah setia mengasihi serta setia kepada umat-Nya digambarkan secara dramatis, bahwa “Anak-Nya” sendiri saja diberikan, tentu Ia tidak akan membiarkan penganiayaan, kelaparan, ketelanjangan, bahaya, atau pedang menjadi kekuatan yang menghancurkan kehidupan kita. Kalau seorang berobat ke dokter, lalu dokter itu memberikan kepadanya obat yang pahit dan tidak enak, atau bahkan memutuskan untuk melakukan operasi, toh pasien harus menerimanya, karena akibat yang diharapkan, adalah pulihnya kesehatan. Dengan demikian, keadaan yang tidak baik dalam pandangan manusia, bisa menjadi berguna bagi manusia di tangan Allah. Dalam perumpamaan tentang biji sesawi dan ragi, Yesus mau mengatakan kepada kita, bahwa kuasa Kerajaan Allah itu mengubahkan karakter kehidupan seseorang. Dalam takaran yang tepat ragi mengubah adonan menjadi roti yang sedap. Ketika seorang pengikut Kristus hidup dengan nilai-nilai sorgawi (atau berlaku seperti ragi sorgawi), maka karakter atau kondisi lingkungannya akan mengalami perubahan ke arah yang lebih baik. Kecil tetapi berakibat besar dan berguna. Begitulah pesan dari perumpamaan itu. Karya penyelamatan Allah yang istimewa tidak selalu hadir dalam bentuk-bentuk yang spektakuler dan kolosal, tetapi juga lewat perkara-perkara yang sangat sederhana. 
           Dalam Mazmur 105:4, Firman Tuhan berkata, “Carilah TUHAN dan kekuatan-Nya, carilah wajah-Nya selalu!”  Dengan demikian, lakukanlah POWER. P adalah Positif. Berpikirlah secara positif dalam menghadapi kenyataan hidup ini. Keberhasilan dan kegagalan, kesedihan dan kegembiraan merupakan bagian dari kehidupan. Sebab itu terimalah dengan lapang hati manis dan pahitnya kehidupan ini, sebagai kesempatan untuk mematangkan keimanan kita. O adalah Opportunity. Dalam menghadapi setiap permasalahan dan pergumulan, setiap kita tidak hanya diperhadapkan dengan ancaman ataupun bahaya, tapi juga peluang untuk menjadi lebih dewasa dan arif dalam menjalani kehidupan ini. W adalah Will, dengan berpikir secara positif dan melihat setiap persoalan hidup kita sebagai peluang atau kesempatan untuk bertumbuh, maka Tuhan pasti akan memberikan kekuatan dan kemampuan kepada kita. E adalah Energy, tetaplah bersemangat dalam menjalani kehidupan ini. R adalah Reality. Berpikir dan bersikaplah secara realitis dalam menghadapi kehidupan ini. Bukankah tidak selamanya kita susah, dan tidak selamanya juga kita senang? Ketika kita susah, ingatlah saat-saat yang menyenangkan dan menggembirakan dalam hidup kita, sehingga kita tidak putus asa. Dan pada saat kita senang, ingatlah saat-saat yang sulit dan pahit dalam hidup kita, sehingga kita tidak takabur dan bersyukur kepada Tuhan atas setiap anugerah dan berkat-Nya dalam kehidupan kita.  Semoga kasih Allah dalam Kristus Yesus selalu menjadi topangan yang meneguhkan dan menguatkan kita dalam menghadapi keras dan kejamnya hidup ini.










Senin, 20 Agustus 2012

TUHAN ADA DI SANA ...


Death is Not the greatest loss is What Dies Within Us While We Live (Norman Cousin)


Bacaan : Filipi 1:20-22a

Kelahiran dan Kematian, merupakan suatu bagian yang pasti dijalani oleh semua orang. Kelahiran, menandai awal dari suatu kehidupan.  Sedangkan Kematian, menandai akhir dari suatu kehidupan. 

Berbicara  tentang kematian, sesungguhnya kita dapat melihatnya dari dua sisi. Pertama, sudah seberapa lama kita menjalani kehidupan ini? Kedua, sudah seberapa dekat kita dengan kematian? Kedua pertanyaan ini menjadi sangat penting, karena kematian bagi kita, bagaimana pun juga adalah  penyebab berakhirnya suatu kehidupan atau penyebab terputusnya secara mutlak jalinan kehidupan antara kita dengan orang-orang yang kita kasihi, teman dan sahabat serta dunia sekitar kita. Berpisah dari seseorang yang kita kasihi adalah sesuatu yang berat dan menyakitkan. Itulah sebabnya  kita sering takut menghadapi kematian.

Lalu  bagaimana seharusnya kita memandang dan menempatkan kematian itu di dalam kehidupan kita? Epicurus, seorang pemikir dari Athena, mengatakan kepada kita.   
"Biasakanlah dirimu untuk meyakini bahwa kematian tidak berpengaruh apa-apa kepada kita, karena yang baik dan yang buruk mengandaikan adanya kemampuan kita untuk merasakan sesuatu, padahal kematian adalah ketiadaan semua perasaan demikian." 
Menurut Epicurus, Kematian memang akan datang dan menghampiri setiap manusia, tetapi dia tidak boleh ditakuti, karena kematian akan membebaskan kita dari kemampuan membedakan manakah yang baik dan manakah yang buruk. 

Oleh karena itu  ketakutan pada kematian adalah sebuah kebodohan. Menurut Epicurus, yang penting adalah kehidupan, dan yang lebih penting lagi adalah bagaimana mengisi kehidupan dan bukan menyia-nyiakan waktu untuk tidak melakukan sesuatu apapun, karena takut akan kematian. Bagi dia, kehidupan itu jauh lebih berharga karena hanya dalam kehidupanlah manusia memiliki kemampuan merasakan sesuatu. Dan hanya melalui kemampuan menginderai, manusia sanggup membedakan manakah hal yang baik yang harus dia lakukan, dan manakah hal yang buruk yg tidak boleh dilakukan.

Upaya kita untuk membebaskan diri dari bayang-bayang kematian justru akan membuat manusia fokus pada upaya, bagaimana mengisi kehidupan ini. Dalam bahasa sederhana, 

"Daripada menyiksa diri dalam ketakutan akan kematian dan hukuman setelah kematian, lebih baik kita menjalankan kehidupan sekarang yg lebih menyenangkan."
Tawaran Epicurus untuk fokus pada kehidupan ini sangat jelas. 
Kehidupan lebih berharga dari kematian, karena dalam kehidupanlah kita bisa merasakan sesuatu dg panca indera kita.  Hanya orang bijak yang sanggup membedakan antara perbuatan yang baik yang menciptakan  kebahagiaan dan perbuatan buruk yang menimbulkan rasa sakit.

Di dalam Filipi 1:20-22a, Rasul Paulus menuliskan pandangannya mengenai kematian. "Karena bagiku hidup adalah Kristus dan mati adalah keuntungan ..." Hal ini menegaskan kepada kita bahwa bagi Rasul Paulus, baik Kehidupan maupun Kematian merupakan suatu kesatuan. Senada dan bahkan melampaui apa yang dipikirkan oleh  Epicurus, maka Paulus mau menegaskan, bahwa :  Kita harus fokus untuk terus mengisi kehidupan ini, dengan beriman kepada Kristus. Dengan demikian, hidup kita harus senantiasa terarah kepada Kristus dan Firman-Nya, agar hidup kita menjadi berkat bagi orang lain.

Dalam Injil Yohanes 15:5, Tuhan Yesus berkata, "Akulah pokok anggur dan kamulah ranting-rantingnya. Barangsiapa tinggal di dalam Aku dan Aku di dalam dia. Ia berbuah banyak, sebab diluar Aku kamu tidak dapat berbuat apa-apa."

Hal ini menegaskan kepada kita, bahwa hidup kita akan menjadi bermakna, serta menjadi berkat, bila kita sungguh-sungguh menempatkan Kristus di jantung kehidupan kita. Sebab itu kita  harus memandang kematian itu dengan kacamata dan  pandangan positif, yaitu dengan mengisi kehidupan ini dengan hal-hal yang positif, dan membangun orang lain. Misalnya,

memperjuangkan keadilan bagi orang yang tertindas, menjaga dan melestarikan lingkungan dan alam sekitar. Belajar melihat kelebihan (dan bukan kekurangan) orang lain dan sebagainya.
 

Bagaimana pun juga, kematian pasti akan datang dan menghampiri kita. Entah kematian suami atau istri, anak, atau orang tua, bahkan kematian kita sendiri. Tetapi dia tidak boleh ditakuti, karena kematian akan menjadi suatu pembebasan yang sempurna dari segala kekurangan dan penderitaan spiritual dan material yang kita alami selama di dunia ini.

Dengan demikian pernyataan Paulus, bahwa "bagiku hidup adalah Kristus dan  mati adalah untungku" seharusnya mampu mengangkat segala bentuk kecemasan dan ketakutan kita akan kematian .. Kita harus terus menatap masa depan dengan memaknai kehidupan  ini. Seperti Norman Cousin mengatakan, bahwa kematian bukanlah kehilangan terbesar dalam hidup. Kehilangan yang terbesar adalah apa yang mati dalam diri kita pada waktu kita hidup. Dengan demikian, kematian bukanlah akhir karena Tuhan ada di sana dan kekekalan akan menjadi bagian dari kehidupan kita.
Saya jadi ingat sebuah kisah.

Seorang pasien berpaling menghadap dokternya, selagi dokter itu bersiap untuk pergi. "Dokter, aku takut mati. Ceritakan apa yang ada di sebelah sana." Dengan lembut, dokter itu berkata, "Saya tidak tahu."

"Anda tidak tahu? Anda, seorang Kristen, tidak tahu apa yang ada di sebelah sana?" Dokter itu sedang memegang gagang pintu kamar di sebelah sana terdengar suara garukan dan keluhan, begitu pintu itu dibukanya, seekor anjing menerobos masuk dan lompat ke arahnya dengan antusias dan senang sekali.

Menoleh ke arah sang pasien, dokter berkata, "Anda lihat anjing saya? Ia belum pernah masuk ruangan ini sebelumnya, dan ia tidak tahu apa di dalamnya. Ia tidak tahu apa-apa,  kecuali bahwa tuannya ada di dalam, dan ketika pintu dibuka, ia langsung masuk tanpa takut. Saya hanya tahu sedikit tentang ada apa di sebelah kematian, tapi saya tahu benar tentang satu hal, saya tahu Tuhan saya ada di sana dan itu cukup."