Halaman

Rabu, 05 September 2012

KERENDAHAN HATI


Takut akan TUHAN adalah didikan yang mendatangkan hikmat, dan kerendahan hati mendahului kehormatan
(Amsal 15:33)



Di Mesir hidup seorang sufi tersohor bernama Zun-Nun. Pada suatu hari, seorang pemuda datang menjumpainya dan bertanya, “Guru, saya tidak mengerti mengapa orang seperti Anda koq berpakaian amat sederhana. Bukankah di masa seperti sekarang ini, penampilan diperlukan untuk banyak tujuan lain yang baik.” Sang sufi hanya tersenyum; lalu ia melepaskan cincin dari salah satu jarinya. Ia berkata, “Sobat muda, aku akan menjawab pertanyaanmu, tetapi lebih dulu lakukan satu hal untukku. Ambillah cincin ini dan bawalah ke pasar di seberang sana. Bisakah kamu menjualnya seharga satu keping emas?” Melihat cincin Zun-Nun yang kotor, pemuda itu merasa ragu-ragyu, “Satu keping emas? Saya tidak yakin cincin ini bisa dijual seharga itu.” Tapi Zun-Nun berkata, “Cobalah dulu sobat muda. Siapa tahu kamu berhasil.”
Pemuda itu segera bergegas ke pasar. Ia menawarkan cincin itu kepada pedagang kain, pedagang sayur, penjual daging dan ikan, serta kepada yang lainnya. Ternyata tak satu pun dari mereka yang berani membeli cincin itu seharga satu keping emas. Mereka menawarnya hanya satu keping perak. Tentu saja, pemuda itu tak berani menjualnya dengan harga satu keping perak. Ia kembali ke padepokan Zun-Nun dan melapor, “Guru, tak seorang pun berani menawar lebih dari satu keping perak.” Zun-Nun, sambil tetap tersenyum arif, berkata, “Sekarang pergilah kamu ke toko emas di belakang jalan ini. Coba perlihatkan kepada pemilik toko atau tukang emas di sana. Jangan buka harga, dengarkan saja bagaimana ia memberikan penilaian.”
Pemuda itu pun pergi ke toko emas yang dimaksud. Ia kembali kepada Zun-Nun dengan raut wajah yang lain. Ia kemudian melapor, “Guru ternyata para pedagang di pasar tidak tahu nilai sesungguhnya dari cincin ini. Pedagang emas menawarnya dengan harga seribu keping emas. Rupanya nilai cincin ini seribu kali lebih tinggi daripada yang ditawar oleh para pedagang di pasar.”
Zun-Nun tersenyum simpul sambil berujar lirih, “Itu jawaban atas pertanyaanmu tadi sobat muda. Seseorang tak bisa dinilai dari pakaiannya. Emas dan permata yang ada dalam diri seseorang, hanya bisa dilihat dan dinilai, jika kita mampu melihat ke kedalaman hati dan jiwa seseorang. Kita tidak bisa menilainya hanya dengan tutur kata dan sikap yang kita lihat dan kita dengar secara sekilas.”
Dalam kehidupan sehari-hari, kerapkali kita menilai seseorang mungkin hanya dari penampilannya, dari baju yang dipakainya, atau mungkin dari tutur kata dan sikapnya yang kita lihat dan kita dengar, hanya sekilas. Akibatnya, sama seperti para pedagang di pasar tadi, kita jadi suka keliru, karena penampilan mereka, baju mereka, tutur kata dan sikap mereka, bisa saja mengelabui mata dan telinga kita. Mungkin sama seperti Samuel yang pada mulanya, terpikat oleh penampilan dan perawakan Eliab dan Abinadab yang tampan dan gagah perkasa. Namun ternyata bukan mereka, tetapi Daud-lah yang dipilih dan diurapi menjadi raja Israel. Karena itu dalam 1 Sam. 16:7b dikatakan, “Manusia melihat apa yang di depan mata, tetapi Tuhan melihat hati.”  Sebab itu, jangan melihat seseorang hanya dari penampilannya, atau dari bajunya, atau kemasannya. Mengapa? Karena terus terang saja, pendengaran kita terbatas dan penglihatan kita sering keliru. Emas dan permata yang ada dalam diri seseorang, ternyata hanya bisa kita lihat dan kita nilai, jika kita mampu melihat ke kedalaman hati dan jiwa seseorang.
Untuk melihat ke dalaman dan jiwa seseorang, sebenarnya dibutuhkan kerendahan hati. Dalam PL kerendahan hati (modesty) diperlihatkan dengan sikap menangis, berpuasa dan mengoyakkan jubah (1 Raj. 21:29; 2 Raj.  22:11-20; Amsal 3:34). Dalam PB kerendahan hati adalah merasa tidak berdaya seperti “anak-anak” (Mat. 18:4); tidak mempertahankan kedudukan (Flp. 2:8-9); tidak merendahkan martabat orang lain (Luk. 14:11; 18:4). Dengan demikian kerendahan hati adalah bersikap ramah, terbuka, tidak sombong/tinggi hati, mampu menghargai martabat dan kelebihan orang lain, dan mudah menyesuaikan diri. Kerendahan hati seperti ini berkenan kepada Allah (Ef. 4:2) Itulah sebabnya mengapa dalam Yakobus 4:6b dikatakan, bahwa “Allah menentang orang yang congkak, tetapi mengasihani orang yang rendah hati.”
Tampaknya tidak sedikit orang yang memandang dirinya lebih dari orang2 lain. Baik dalam penampilan, bakat, kemampuan yang dimiliki, prestasi yang dihasilkan, jabatan dan kedudukan yang diraihnya, status hidup yang didapatnya, atau popularitas dan prestise yang dicapainya di tengah masyarakat. Dengan hal2 tsb orang lalu memandang dan menilai dirinya lebih hebat dan lebih tinggi derajatnya dari orang lain. Karena itu dalam Alkitab, kesombongan atau tinggi hati dipandang sebagai “akar dosa” karena mengesampingkan orang lain dan Allah (Bnd. Ester 5:9-14 : Haman dan Mordekhai). Sebaliknya kerendahan hati tidak dipahami sebagai rendah diri atau menghinakan diri. Hidup dengan rendah hati akan membuat seseorang : menghargai dirinya dan bebas dari perangkap kesombongan. Dengan kerendahan hati orang dapat menerima dan menghargai dirinya dan menghargai orang lain, dengan segala kelebihan dan kekurangannya.
Dengan kerendahan hati, akan terbentuk hati yang penuh cinta dan memiliki cinta untuk semua orang. Dalam Amsal 29:23 dikatakan, “Keangkuhan merendahkan orang, tetapi orang yang rendah hati menerima pujian.” Dengan kata lain, perasaan lebih tinggi daripada orang lain dapat membuat orang merendahkan orang lain. Perasaan lebih rendah dapat membuatnya iri hati terhadap orang lain. Iri hati adalah perasaan tidak puas karena keberuntungan orang lain. Perasaan iri terbentuk ketika orang berpikir bahwa keberuntungan dan kebahagiaan orang lain mengurangi atau menurunkan kehormatannya. Akar iri hati terdapat pada perasaan rendah diri atau menghinakan diri.
Dalam Filipi 2:7 Paulus menggunakan istilah “kenosis” (pengosongan diri atau pengingkaran diri dari segala arogansi insani). Menurut Paulus, Yesus telah mengosongkan dirinya. Ia menerima rupa seorang hamba. Merendahkan diri dan mati. Ketakjuban Paulus akan pengorbanan Kristus di kayu salib telah melenyapkan segala bentuk kesombongan dirinya. Bagi Isaac Waat, berhadapan dengan salib Kristus, kita semua bagaikan cacing (makhluk hina, rendah dan tak berharga). When I survey the wondrous cross, for such a worm as I? (Yesaya 41:14). Oleh karena itu, dari Yesus kita belajar untuk mengosongkan diri, dalam arti menghapuskan semua pikiran mengenai diri sendiri dan mencurahkan diri habis2an untuk memperkaya orang lain (kenotic intelligence : 2 Kor. 8:9, Ef. 1:23; 4:10). Bagi kita ini berarti, “Ia harus makin besar, tetapi aku harus makin kecil” atau menjadi pribadi yang berkarakter positif dan kooperatif (Yoh. 3:30) di dalam setiap aspek kehidupan kita, baik secara individual maupun secara kolektif. 
Akhirnya, ada kalimat bijak yang berkata demikian, “Tempat yang bisa digunakan untuk mengubah duniamu adalah hatimu (heart), isi pikiranmu (mind), dan tindakanmu (hands).” Apa yang mau dikatakan oleh perkataan bijak ini? Jika kita menginginkan kehidupan bersama kita lebih baik, mulailah melakukan perubahan dari diri kita terlebih dahulu. Kita dapat melakukan sesuatu yang baik bagi orang lain, ketika kita sudah mengalami pembaruan hati, pikiran dan tindakan kita. Itulah transformasi kehidupan yang seutuhnya. Karena itu kita harus mengubah dunia ini menjadi lebih baik, dengan kerendahan hati. Mulailah dari diri kita. Memang bukan hal yang mudah, tetapi mungkin untuk dilakukan. Inilah wujud konkret iman kita kepada Tuhan Yesus, Sang Pembaru Kehidupan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar