Halaman

Minggu, 20 November 2011

KEKERASAN TERHADAP PEREMPUAN



Dalam kehidupan keluarga, gereja dan masyarakat, semua orang pasti pernah mengalami ketidakbaikan, atau pengalaman yang buruk, yang meninggalkan bekas-bekas luka yang sulit dipahami dan diterima. Bisa jadi seseorang pernah disakiti, disalahpahami, dikecewakan, kehilangan kepercayaan, ditertawakan, diejek, kehilangan muka, dan ditindas. Semua orang pernah mengalami penderitaan semacam itu, namun penderitaan juga dapat diwarnai oleh gender (atau masalah jenis kelamin : laki-laki dan perempuan). Bagi laki-laki, kejahatan adalah sesuatu yang dibuat dan dapat dihilangkan lagi. Tetapi bagi kaum perempuan, ketidakbaikan atau ketidakadilan itu terjalin dalam dirinya. Keperempuanan itu sendiri kerapkali dipandang tidak baik, atau paling tidak merupakan suatu tembok atau batas kemanusiaan. Bila seorang perempuan melakukan sesuatu yang buruk, hal itu dipandang sebagai ’kodratnya’ yang memang dipenuhi oleh ketidakbaikan, karena perempuan bertanggungjawab atas kejatuhan manusia ke dalam dosa.
Kekerasan merupakan masalah di mata Allah, karena menyangkut hidup dan kehidupan (perempuan dan anak-anak). Kekerasan adalah penghancuran hak manusia yang paling hakiki, yaitu hak untuk hidup dengan aman.

Kekerasan adalah masalah iman.  Karena manusia (baik laki-laki maupun perempuan adalah gambar dan rupa Allah). Oleh karena itu kekerasan adalah penghancuran akan gambar dan citra Allah itu. Inilah yang menjadi alasan utama mengapa segala bentuk kekerasan harus dihentikan dari kehidupan manusia di dunia ini, baik di dalam kehidupan rumah tangga, keluarga, dan bahkan gereja. Bentuk-bentuk kekerasan atau penindasan itu dapat kita lihat dalam 5 bentuk :
(1) Dominasi/Subordinasi. Laki-laki adalah tuan, dan majikan (karena tempatnya adalah di luar/publik), dan perempuan adalah kaum yang lemah, karena itu tempatnya adalah di rumah (memasak, mengurusi suami dan anak dsb).
(2) Marginalisasi. Marginalisasi bisa dalam bentuk diskriminasi. Sikap kita sebagai orangtua, kerapkali tidak adil. Anak laki-laki boleh melakukan apa saja, termasuk hal-hal yang buruk, karena dia adalah laki-laki. Sedangkan anak perempuan, harus pandai mematut-matut diri dan tunduk kepada ayahnya. Upah buruh perempuan sangat rendah dibandingkan dengan laki-laki, karena dia dianggap punya suami, dan lebih bodoh dari laki-laki. Di gereja, tempat perempuan hanya di bagian konsumsi dan sekretariat. mereka tidak dilibatkan untuk mengambil keputusan, karena mereka tidak tahu apa-apa.
(3) Stereotyping. Cap atau stempel, bahwa perempuan itu lemah, dan kurang terdidik dalam menangani masalah-masalah sosial-ekonomi dan politik. Pekerjaan perempuan hanya memasak dan mengurusi suami, anak dan keluarganya.
(4) Unjust burden (beban yang tidak adil antara laki-laki dan perempuan). Bila seorang istri bekerja sebagai pegawai atau guru dan karyawan, dia dituntut untuk bisa menangani sekaligus urusan di dalam keluarganya. Melayani suami dan anak-anaknya, bahkan mertuanya.
(5) Kekerasan, baik secara fisik (dengan memukul, menampar dan sebagainya) maupun secara psikis (dengan kata-kata kasar, umpatan, caci maki, tidak memberi nafkah kepada istri dsb)

Dalam kaitan itu, Gereja seharusnya adalah pihak pertama yang harus bertanggung jawab untuk terlibat secara aktif dalam upaya penghentian kekerasan. Gereja adalah saudara dan saya, dan bukan bangunan gereja ini. Kita harus merombak atau mengubah entah itu ajaran, tradisi atau budaya yang telah secara langsung atau pun tidak langsung mengakibatkan kekerasan terhadap umatnya, khususnya kaum perempuan dan anak-anak. Karena terbukti, dan Gereja tidak bisa mengingkari, bahwa telah terjadi begitu banyak kekerasan yang dilakukan di dalam keluarga-keluarga kita, bahkan di dalam gereja-gereja  dan lembaga-lembaga pendidikan kita. Anna Julia Cooper, seorang pendidikan perempuan, lebih dari seratus tahun lalu sudah menuliskan, ”dunia perlu mendengar suara perempuan” yang sekian lama dibungkam, termasuk di dalam membaca ”teks-teks Kitab Suci” untuk menempatkan pengalaman manusia secara keseluruhan baik laki-laki maupun perempuan.”





Tidak ada komentar:

Posting Komentar