Halaman

Selasa, 01 November 2011

MEREKONSTRUKSI PERAN SUAMI DI TENGAH MASYARAKAT DAN BUDAY APATRIARKHI


Pendahuluan
Rekonstruksi peran suami di tengah masyarakat & budaya patriarkhi, memperhadapkan kita pada kehidupan seharian istri atau keperempuanan yang terdiskriminasi oleh budaya dan tradisi, dan hampir dapat dipastikan di dalam diskriminasi terdapat kekerasan atau opresi secara fisik, psikis, mental dan spiritual, baik secara perseorangan maupun komunitas perempuan. Dalam budaya patriarkhi, dominasi suami atas istri pada umumnya dibenarkan oleh paham kodrat, sebab kodrat suami (sebagai laki-laki) diyakini kuat, pemberani, rasional, produktif, dan sanggup membuat perencanaan. Sedangkan kodrat istri (sebagai perempuan) adalah lemah lembut, penakut, perasa, reproduktif, memelihara dan merawat kehidupan, biasa melayani dan suka dipimpin. Akibatnya tempat suami (dan atau laki-laki) adalah di area publik, sementara istri di ruang domestik (di rumah dan sekitarnya). 

Adapun pengambilan keputusan dalam masalah-masalah besar seperti membeli rumah, pengelolaan saham atau keuangan keluarga, ada di dalam otoritas suami karena ia adalah kepala keluarga. Dalam konteks budaya kita, sistem patriarkhal memberikan seorang suami kekuasaan penuh atas istri dan anak-anaknya. Sedangkan hal-hal yang berkaitan dengan pemeliharaan dan pendidikan anak dan urusan rumah tangga lainnya, dianggap tidak cukup berharga untuk dilirik, apalagi untuk diketahui orang lain, karena posisi istri sebagai perempuan, ditempatkan dalam posisi rendah dan lemah. Sebab itu, tugas utama dalam kehidupan seorang istri adalah dalam kekuasaan ayahnya (ketika ia belum menikah), dalam kekuasaan suami (ketika ia menikah), dan dalam kekuasaan anak laki-laki (ketika ia tua).

Menurut Tissa Balasuriya dalam bukunya Teologi Ziarah (2004), diskriminasi terhadap istri dan atau perempuan terdapat dalam banyak masyarakat Asia (termasuk di Indonesia). Dalam kenyataannya, para suami sering berlaku kasar dan tidak adil terhadap istri mereka, sekalipun mereka menaruh sikap hormat terhadap perempuan dan ibunya sendiri. Hal ini disebabkan karena sejak lahir, anak perempuan diperlakukan secara berbeda, tidak diinginkan dan kurang diasuh, sedangkan anak laki-laki selalu diperlakukan secara istimewa, disambut dengan gembira dan diutamakan oleh keluarganya. Sepanjang hidupnya kaum perempuan diatur sedemikian rupa agar cocok dengan peran rumah tangga yang disediakan bagi mereka. Mereka tidak diizinkan untuk mengatur langkahnya sendiri dan mengambil keputusan.[2] Perasaan takut senantiasa ditanamkan. Sebab itu secara piskologis dan fisik, mereka menjadi sangat bergantung pada kaum laki-laki. Menjelang akil-balik, para gadis didesak agar segara menikah dan ”berumah-tangga.” Dengan demikian para orangtua terbebas dari tanggung jawab untuk mengasuh anak gadisnya. Setelah berumah-tangga, maka tempatnya adalah di rumah, menjadi alat prokreasi untuk melahirkan anak, serta memelihara suami dan keluarganya.[3] Mereka diharuskan untuk memilih peran ”bergantung sepenuhnya” kepada suaminya, di mana mereka merasa dipelihara, dan berperan sebagai ibu dan pengasuh, serta dapat menyatakan perasaan keibuannya, kesabaran, kelemah-lembutan, dan sambutan hangatnya kepada suami dan anak-anaknya.

Demikianlah identitas perempuan telah direkonstruksi oleh budaya, sehingga mereka mengalami subordinasi dan marginalisasi. Hal ini membuka ruang terjadinya kekerasan psikologis, psikis, mental dan spiritual terhadap seorang perempuan.[4] Perubahan demi perubahan telah terjadi, namun nilai budaya dalam keluarga dan masyarakat, sehingga sebagai perempuan, mereka mengalami berbagai tindak kekerasan budaya.[5] Untungnya hal ini tidak membuat mereka berdiam diri sebagai korban yang pasif. Berbekalkan pendidikan yang memadai, seorang perempuan dapat menyusun dan mengaplikasikan berbagai strategi untuk mengatasi kekerasan budaya dengan cara yang tidak frontal. Keperempuantionghoaan terlihat melalui cara mereka membentuk identitas baru yang terus menjadi. Sebab itu kemampuan perempuan untuk memakna-ulang budaya patriarkhi menjadi modal utama untuk menuju ranah publik.

Refleksi
Dominasi dan subordinasi laki-laki terhadap perempuan berada dalam susunan dan jaringan sosial berlapis-lapis dan kompleks, karena menempatkan laki-laki sebagai penguasa, pembesar, tuan, pemilik, majikan dan suami menurut tradisi dan budaya. Perjuangan kaum perempuan, adalah membangun egalitarian community (suatu komunitas yang sederajat antara laki-laki dan perempuan). Selanjutnya, adalah menumbuhkan kesadaran dan kepekaan kaum perempuan, dan menantang kaum laki-laki untuk melancarkan kritik, serta merekonstruksi bangunan-bangunan teoritis dan metodologis (dalam berbagai disiplin ilmu) yang melestarikan dominasi, ketimpangan dan ketidakadilan dalam realitas hubungan laki-laki dan perempuan, tekstual dan kontekstual.

Merekonstruksi peran suami di tengah masyarakat dan budaya patriarkhi, berarti menempatkan baik laki-laki maupun perempuan, sebagai manusia yangs etara dan sederajat (equality) dalam kesamaan dan perbedaan mereka, dan menghayati kemanusiaan mereka dalam hubungan timbal balik (mutuality).[6] Rosemary Radford Ruether dalam bukunya Sexism and God-Talk: Toward a Feminist Theology, mengatakan bahwa : upaya apapun yang mengurangi kemanusiaan kaum perempuan harus dianggap bukan “merefleksikan yang ilahi” atau “relasi yang otentik” dengan yang ilahi. Prinsip kemanusiaan yang penuh didasarkan pada konsep “imago Dei,” bahwa perempuan secara setara dibebaskan oleh Kristus dan secara setara dikuduskan oleh Roh Kudus. Berikutnya, kita perlu mengangkat serta menilai kaum perempuan ke dalam kesadaran masyarakat agar berkembang suatu hubungan baru yang didasarkan pada kesederajatan dan kesetaraan antara laki-laki dan perempuan, sehingga terbuka suatu cara berpikir yang terbuka dan inklusif demi terwujudnya keadilan, kebenaran, perdamaian serta keutuhan ciptaan.





[1] Dalam tulisan ini, kata “patriarkhi” menunjuk pada arti “pola atau tatanan yang ditentukan oleh kaum laki-laki.” Dalam masyarakat patriarkhal, kaum laki-laki menentukan pola masyarakat dan kaum perempuan dinomorduakan.
[2] Dalam tradisi keluarga Tionghoa tradisional, seorang istri harus tunduk dan patuh kepada suami dan keluarganya, sehingga hal-hal yang berkaitan dengan penatalayanan dan pengelolaan kehidupan keluarga, ada dalam kekuasaan suami dan keluarganya.
[3] Dalam bidang pekerjaan, perempuan tidak dianjurkan atau diharapkan mendapat pekerjaan tetap diluar rumah. Kalau mereka diperkerjakan, mereka sering mendapat upah yang lebih sedikit, atau bahkan tidak mendapatkan bayaran yang sepantasnya, ketimbang kaum laki-laki untuk jenis pekerjaan yang sama. Kaum perempuan sering dipekerjakan sebagai tenaga yang kurang trampil; pada umumnya menangani urusan administrasi atau pengawasan yang dianggap sepele oleh kaum laki-laki. Kaum perempuan juga dieksploitasi dalam zona-zona perdagangan bebas di hotel-hotel, restoran-restoran, dan pusat-pusat pariwisata, kadang-kadang sebagai pelacur (atau PSK), terutama kalau mereka tidak punya pekerjaan dan keluarganya sangat kekurangan.
[4] Menurut Tissa Balasuriya, seksisme adalah sistem budaya yang dikuasai laki-laki, yang menentukan tujuan, peran, dan nilai-nilai dari kehidupan perempuan. Perempuan dilihat lebih banyak sebagai pembantu (bnd. dalam sistem budaya Tionghoa yang bercorak paternalistik-hierarkhis). Kepribadian perempuan dipaksa mencari dan menemukan pemenuhannya dalam hubungannya dengan laki-laki. Laki-laki adalah norma-norma, perempuan adalah ’pihak lain.’  Pekerjaan laki-laki dianggap lebih produktif dan dibayar lebih mahal dibandingkan dengan perempuan. Secara ekonomis, politis dan sosial kebutuhan perempuan dianggap lebih rendah dari laki-laki. Karena itu, pada umumnya perempuan tidak mendapat kesempatan untuk memperoleh pendidikan dan menjadi pejabat lebih sulit bagi perempuan. Mereka tidak diikut-sertakan dalam proses pengambilan keputusan, karena dianggap tidak memahami pelbagai kebijakan politik dan ekonomi. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar