Halaman

Kamis, 16 Februari 2012

MENAFSIR ALKITAB DENGAN PERSPEKTIF PEREMPUAN




 
I  profess that I believe in God
And that my faith roots on my human experience.
I believe that God is the power which connects us with
the entire human race, and even with the entire universe.
God is the power which creates.
Is the power which built an equal relationship in history.
God is the tongue which binds us to one another,
that each of us is enabled to grow,
to work, to play, to love, and to be loved.
God created the right and equal relationship amongst us.
He does not only become a power which connects us,
He is even the source of power;
He is the fountainhead of power to know ourselves
as people who relate.
To this God we pray. He is God who flows prosperity
and who endlessly helps us. We love Him, and we trust,
that he loves us as well, He is our mother or sister,
He is our brother, father, or friend.
 (Isabel Carter Heyward)1




1 Quoted from Marie C. Barth with further citation from Isabel Carter Heyward. The Redemption of God, A Theology of Mutual Relation. (University Press of America, 1982). Marie Claire Barth Frommel, Hati Allah Bagaikan Hati Seorang Ibu (Jakarta : BPK Gunung Mulia, Cet-2, 2006),145-146.

Pada hakikatnya manusia diciptakan laki-laki dan perempuan. Sejauh yang kita ketahui, sejarah mencatat dengan pasti (sebagai realitas yang diciptakan oleh kaum laki-laki), bahwa kaum laki-laki menentukan pola masyarakat dan kaum perempuan disubordinasikan. Dominasi kaum laki-laki atas kaum perempuan pada umumnya dibenarkan oleh paham kodrat. Menurut paham ini, kodrat laki-laki adalah kuat, pemberani, rasional, produktif, menciptakan kebudayaan, dan sanggup membuat perencanaan. Sedangkan kodrat perempuan adalah lemah lembut, penakut, perasa, reproduktif, memelihara dan merawat kehidupan, biasa melayani dan suka dipimpin. Dengan pandangan seperti ini, tempat kaum laki-laki adalah di ruang publik, dalam masyarakat luas sementara kaum perempuan di ruang domestik atau privat (di rumah dan sekitarnya).Masalah-masalah ”besar” seperti membeli rumah atau tanah, pengelolaan saham atau keuangan keluarga, adalah masalah yang menyangkut laki-laki. Masalah-masalah perempuan, seperti pemeliharaan anak, masak, pendidikan anak dan urusan rumah tangga yang lainnya jarang disinggung, dan sering ”disembunyikan.”

Pandangan ini dibenarkan oleh filsafat klasik, baik di Barat mau pun di Timur. Menurut Aristoteles, ”Alangkah layak dan tepat bahwa tubuh dipimpin oleh jiwa dan perasaan oleh pemikiran yang berakal; seandainya keduanya sejajar, bahkan jika tatanannya terbalik, maka pasti akan menimbulkan kecelakaan. Menyangkut kelamin pun laki-laki lebih tinggi secara naluri dan perempuan lebih rendah; laki-laki memerintah dan perempuan diperintah.  Hal yang sama berlaku dalam filsafat Tionghoa : Yang (maskulin) dihubungkan dengan dunia atas (langit) dan Yin (feminin) dengan dunia bawah. Dengan demikian kaum laki-laki memerintah perempuan, dan tatanan ini ditekanlah dalam tradisi Confucinisme. Muncul kecenderungan untuk menilai kaum perempuan dari sudut pandang laki-laki dengan menekankan ”kekurangan-kekurangannya” dibandingkan dengan ”laki-laki.” Akibatnya, hanya kaum laki-laki saja yang dipandang sebagai manusia sejati sementara perempuan hanyalah pelengkap. Dalam naskah-naskah yang penting di bidang hukum, sejarah, filsafat dan agama (sebagai realitas yang diciptakan oleh laki-laki) sering dipakai istilah ”manusia” dan sebenarnya yang dimaksudkan hanyalah laki-laki dewasa yang mampu menentukan kehidupannya sendiri, dan pokok tentang perempuan ”tidak kelihatan” karena dianggap sudah termasuk dalam konsep tentang ”manusia.”

Stigma sosial yang dikenakan kepada kaum perempuan sebagai kaum yang dikesampingkan dan dipinggirkan (karena dianggap ”tidak kelihatan” dan ”tidak ada”) kerapkali diabaikan dan tidak tersentuh, apalagi teratasi dengan membaca Alkitab hanya dari perspektif kaum laki-laki. Hal ini disebabkan karena corak budaya dan sikap kaum laki-laki yang mendominasi dan meminggirkan kaum perempuan itu sudah sangat berakar dalam ”jantung” kehidupan masyarakat. Perempuan disamakan dengan nature (alam, segala sesuatu yang naluriah) dan laki-laki dengan culture (kebudayaan dan penanaman). Dalil ini sangat berpengaruh di Barat. Antara abad ke-16 dan ke-19, jutaan perempuan dihukum mati dan dibakar hidup-hidup sebagai ”tukang sihir” yang dianggap membahayakan masyarakat. Hal itu didukung oleh ajaran rasional baru dan ajaran gereja.Akibatnya, ialah perempuan membenci dirinya sendiri.Dalam bukunya  Sexism and God Talk, Rosemary Radford Ruether menyatakan,
“Jika seksisme berarti kekerasan dan pelanggaran terhadap integritas tubuh perempuan, kemanusiaan, dan kapasitas untuk pengembangan diri, seksisme juga menjadi distorsi bagi kemanusiaan laki-laki. Meski pun laki berusaha untuk memonopoli tugas-tugas kemanusiaan yang paling dihargai, … untuk menguasai kebudayaan dan kreativitas, mereka tidak berhasil dalam mengaktualisasikan suatu kemanusiaan yang kita cita-citakan. Dalam kebrutalan dan dalam abstraksi intelektualnya seksisme mendistorsi kemanusiaan laki-laki dan dengan demikian mendistorsi semua kegiatan manusia. Bila distorsi terhadap kemanusiaan perempuan merupakan suatu tragedi menjadi korban dalam banyak segi, maka distorsi terhadap kemanusiaan laki-laki merupakan suatu penyakit endemis yang akan menghancurkan baik kemanusiaan dan dunia kita sendiri jika tidak terjadi pertobatan yang dramatis.

Selanjutnya, yang lebih ironis lagi, Alkitab sendiri mengandung banyak teks yang secara sepintas atau pun langsung meminggirkan, dan bahkan menindas kaum perempuan. Teks-teks semacam itu sudah sangat sering digunakan, dan dilegitimasi (dijadikan sebagai pengesahan atau pembenaran) untuk memperkokoh subordinasi kaum perempuan dalam masyarakat maupun gereja. Para penulis Alkitab pada umumnya dipengaruhi oleh budaya jamannya yang patriarkhal.  Sebab itu berita Injil mengenai manusia laki-laki dan perempuan sebagai gambar Allah (Kejadian 1-2) dan kesamaan martabat manusia perempuan dan laki-laki di dalam Kristus (Galatia 3:28) sering dikaburkan oleh ayat-ayat Alkitab lainnya yang mengagungkan laki-laki dan merendahkan perempuan. 

Hal itu disebabkan karena Alkitab bernada androsentris (andros=laki-laki, sentris=berhubungan dengan inti) menentukan budaya, yakni segala peristiwa dilihat dari sudut laki-laki. Pandangan perempuan tersembunyi.  Sama halnya dengan naskah dasar agama-agama yang lain, Perjanjian Lama dan Perjanjian Baru bersifat androsentris. Naskahnya ditulis oleh laki-laki dengan pandangan laki-laki dan mula-mula dialamatkan terutama bagi kaum laki-laki sebagai imam, pengajar dan pemberita. Oleh karena itu :  
1. Dalam Sepuluh Firman (Kel. 20:17), dikatakan, ”Janganlah mengingini istri sesamamu.” Larangan itu dialamatkan pada kaum laki-laki dan tidak terdapat larangan yang sepadan untuk perempuan. 
2.  Laki-laki (Ibr : isy) sering dipakai dalam arti manusia, misalnya dalam perintah Kel. 21:12, 18, 20, 22, 26, 33; kebijaksanaan, misalnya Ams. 12:25, Mzm. 37:7; rumus berkat Mzm. 1:1, 112:1,5 dsb.; kutukan Ul. 27 dst. Di situ ”perempuan” termasuk secara tersembunyi atau kurang penting. Hal yang sama terdapat dalam Perjanjian Baru dengan adelphos, saudara laki-laki dalam surat rasuli, misalnya, Rm. 8:19, 9:3; 14:10, 13, 15 dsb. 
3.  Nama murid perempuan sering dilupakan, sedangkan nama murid laki-laki diingat. Bnd. Mrk. 14:3; Kis. 1:14. 
4.  Kotbah di Bukit merupakan pembicaraan dari seorang laki-laki kepada laki-laki lainnya (Mat. 5:21-26, antara saudara laki-laki; Mat. 5:27-30 dan 5:31-32, suami).
5.  Perempuan-perempuan sering ”disembunyikan,” misalnya makanan dibagikan kepada 5.000 orang laki-laki (Mrk. 6:44; Luk. 9:14; Yoh. 6:10; hanya Mat. 14:21 yang menambahkan informasi bahwa perempuan dan anak-anak ikut serta.
6.  Kita ”kebetulan” mendengar tentang mertua Simon Petrus (Mrk. 1:29-34), tetapi isterinya tidak ditampilkan, entah hidup entah mati. Akan tetapi, Paulus mengatakan bahwa rasul-rasul, termasuk Simon Petrus, sering berjalan bersama isteri mereka (1 Kor. 9:5). Nada tersebut dipertajam lagi oleh tafsiran patriarkhal yang ditemukan dalam Alkitab sendiri :
1.  Hawa dianggap orang kedua, pelengkap belaka. Ia pun menjadi orang pertama yang dicobai (2 Kor. 11:3) dan yang jatuh ke dalam dosa (1 Tim. 2:13, 14). Baik Kej. 1:26 tentang laki-laki dan perempuan yang dijadikan bersama menurut gambar Allah maupun Rm. 5:12 (tentang maut yang masuk ke dalam dunia melalui Adam) diabaikan. Sebab itu perempuan dipimpin oleh laki-laki karena Hawalah yang menjatuhkan Adam ke dalam dosa (Gal. 3:16; Ef. 5:21-33; Kol. 3:18-25; Titus 2:2-5). Jadi tugas perempuan adalah memelihara anak dan hidup patuh pada laki-laki.
2.  Sejak Hosea menyamakan Israel dengan seorang istri yang berzinah (Hos. 2), seluruh sejarah Israel dipandang dalam kiasan itu. Bnd. Yer. 3:1-2; 2:20-25 dan Yeh. 16. Bila kiasan Allah sebagai suami dan umat sebagai istri dikenakan pada Kristus dan Gereja, maka ia dipakai untuk mengesahkan secara rohani tatanan keluarga patriarkhal : ”Hai istri, tunduklah kepada suamimu seperti kepada Tuhan” (Ef. 5:22).
3.  Kedua belas rasul, pemimpin utama Gereja, adalah laki-laki (wakil para kepada 12 suku Israel); generasi pemimpin berikutnya juga laki-laki (Timotius, Titus dsb.).
4.  Allah juga digambarkan sebagai laki-laki (abba) dan tentu Yesus sendiri. 
5.  Paulus menggantikan dewi kesuburan Asia (Artemis) dengan Allah Bapa orang Yahudi (Kis. 19:23-27). Paulus mengandaikan tatanan sosial hierarkhis-patriarkhal yang bersifat “alamiah” dan dibenarkan oleh agama (1 Kor. 11:7-9; 14:34-36).

            Kecenderungan yang sama menentukan sebagian besar tafsiran Alkitab, nas tertentu dipakai untuk membatasi kebebasan dan hak perempuan :
1.   Meskipun dominasi laki-laki atas perempuan dilihat sebagai akibat dosa dalam Kej. 3:16, ia sering dipandang sebagai “hukum Allah,” dengan menjustifikasikan surat rasuli, “Hai istri, tunduklah kepada suamimu seperti kepada Tuhan” (Ef. 5:22).
2.  Sistem dominasi laki-laki mengajarkan sikap yang negatif tentang tubuh perempuan : pendarahan perempuan adalah najis, melahirkan sebagai masalah, dan alat-alat reproduksinya sebagai hal yang kotor. Karena itu perempuan dinyatakan najis selama haid dan setelah melahirkan (Bil. 12:1-8), dan mereka tidak diperbolehkan ikut serta dalam ritual-ritual keagamaan selama masa kenajisan tersebut. Perempuan yang sedang menstruasi dilarang beribadah di dalam gereja masih dipraktikkan di beberapa gereja di Afrika, di dalam beberapa gereja di Indonesia pendeta perempuan yang sedang hamil dilarang memimpin ibadah di gereja. Bahkan ada gereja yang tidak memperbolehkan pendeta perempuan melayani sakramen disebabkan pemahaman yang negatif itu. Penghinaan terhadap perempuan dan tubuhnya telah melegitimasikan misogyny (kebencian terhadap perempuan) dan kekerasan terhadap perempuan. Rosemary R. Ruether, misalnya mengatakan : ”Sejarah Kekristenan menyebut perempuan sebagai lebih rendah, subordinat, dan cenderung kepada kejahatan. Citra-citra ini membenarkan kekerasan yang hampir tidak terbatas terhadap perempuan bila perempuan bersebrangan dengan kemauan laki-laki di rumah atau di masyarakat. Perempuan sebagai korban adalah kaum pinggiran dalam sejarah yang patriarkhal ...”
3.   Yesus memanggil dua belas orang laki-laki untuk tinggal bersama Dia dan untuk diutus memberitakan Kerajaan Allah (Mrk. 6:7). Berdasarkan fakta itu hanya mereka sajalah yang dianggap sebagai rasul (ditambah Paulus sebagai pengganti Yudas). Pada saat Yesus mengumpulkan para murid-Nya untuk Perjamuan Kudus (Mrk. 14:22-25) atau menghembuskan Roh dan memberikan kepada mereka hak untuk mengampuni dosa (Yoh. 20:19-23), maka tradisi memberi tempat hanya bagi kedua belas rasul tanpa memperhatikan bahwa perempuan-perempuan pun termasuk murid-murid Yesus, dan mereka hadir pada Perjamuan Kudus pertama.
4.   Ketika Paulus meminta agar perempuan berdiam diri dalam pertemuan jemaat (1 Kor. 14:34), kita lupa bahwa nasihat itu ditujukan pada istri yang dapat ”menanyakan suaminya di rumah” (ay. 35) dan tidak boleh membantah pandangan suami di depan umum. Terlebih-lebih diabaikan bahwa Paulus mengenal perempuan yang berdoa dan bernubuat di depan jemaat (11:5). Nasihat Paulus dipakai sebagai larangan, yakni perempuan tidak boleh memegang jabatan di gereja (kecuali dalam pelayanan diakonia-sosial dan dalam pembinaan anak-anak serta perempuan). Nas yang sama dipakai untuk menolak hak suara para perempuan dan menghindarkan mereka untuk memilih dan dipilih dalam masyarakat umum (sampai pertengahan abad ke-20 di Barat).

Bagi kaum feminis, Alkitab adalah ”buku yang berbahaya karena sering digunakan untuk menasihati kaum bawahan dan kaum perempuan agar mereka tunduk pada tuan-tuannya serta mengagumkan peperangan serta memberkatinya.” Sehubungan dengan hal tersebut di atas,  Elisabeth Schussler  Fiorenza menciptakan sebuah metode yang dinamai “a hermeneutic of suspicion,”tafsiran yang meragukan atau mempertanyakan naskah untuk memahami di mana dan apa sebabnya pengalaman perempuan hilang dan sejauh mana masih terdapat sisa yang dapat digali dan diangkat untuk memperoleh suatu gambaran yang lebih utuh. 

Menurut Elisabeth Schussler Fiorenza, “menganalisis secara kritis naskah Alkitab yang androsentris berguna secara positif untuk merekonstruksi kembali (membangun) dari permulaan umat Kristen untuk mengembangkan suatu kesadaran alkitabiah yang feminis.” Perempuan mengalami solidaritas dan persatuan sebagai golongan sosial bukan berdasarkan perbedaan biologis dibandingkan dengan laki-laki, tetapi berdasarkan pengalaman sejarah sebagai golongan yang tertindas dan yang berjuang untuk menentukan sejarah (menjadi full historical subjects). Sehubungan dengan hal tersebut, para teolog feminis Dunia Ketiga (di Asia dan Afrika) menghadapi tugas yang lebih sulit lagi. Sebab selain usaha menyingkirkan sikap patriarkhal dan androsentris, mereka juga harus mengatasi tradisi Barat yang berpikir secara eksklusif (yaitu yang tidak benar harus dinyatakan salah) dan individualis untuk menemukan kembali paham inklusif menuju persekutuan yang pluralis (hidup dalam kepelbagaian). Mereka mengalami sendiri suatu tradisi yang pernah memperalat Alkitab – dalam pemahaman Barat – sebagai tolok ukur atas budaya dan agama di Asia, Afrika dan Amerika Latin. 

Kwok Pui-Lan, seorang teolog perempuan dari Hongkong, mengingatkan kita, bahwa Alkitab dibawa oleh kaum kolonial. Sama seperti kaum Barat yang memerintah menurut polanya sendiri, demikian juga para penginjil memakai Alkitab untuk membenarkan diri dan menguasai orang Kristen baru menurut pola mereka. Agama, kitab suci atau tradisi lisan, warisan hikmat leluhur, kedudukan tinggi perempuan dalam kebudayaan tertentu, semuanya diremehkan atas nama suatu ”etnosentrisme” yang berinti pada tradisi umat Kristen Barat sebagai umat pilihan Allah. Kaum feminis meninggalkan warisan pemikiran eksklusif yang menentukan kebudayaan Barat yang dominan itu dan mencari pemikiran inklusif, yang menerima kepelbagaian sebagai kekayaan dan dorongan untuk mencari kebenaran yang lebih dalam dan utuh. Menurut Kwok Pui-Lan, ”Alkitab itu terlalu penting untuk ditaklukkan pada satu pola tafsir yang tunggal saja.” Metode ilmiah (historis-kritis) hanya dapat dilihat sebagai salah satu cara, ”hasilnya harus diuji oleh umat beragama di setiap tempat, oleh mereka yang membaca ulang Alkitab setiap hari serta berusaha menyalin sejarah dan perjuangannya sendiri dengan cerita Alkitab.”

Sehubungan dengan hal tersebut, Elisabeth Schussler Fiorenza terus menerus memberikan tantangan kepada kita “… to challenge white Eropean and American feminist movements and articulations to abandon their cultural imperialism, white supremacy, and exclusivist definition of feminism in terms of middle-class white women’s experiences.”Hal ini mau menegaskan, bahwa kita tidak dapat menguniversalisasikan pengalaman perempuan, atau mencoba menggolongkan realitas perempuan ke dalam satu kata “tertindas,” atau “korban” atau “menderita,” karena dengan melakukan kedua hal tersebut di atas, itu berarti kita mengabaikan bahwa setiap teori tentang apa pun terbatas secara kultural dan historis, termasuk tentang perempuan. 

Kita perlu melihat adanya realitas yang multi wajah (perspektif feminis yang beragam) ketika kita berbicara tentang patriarkhi sebagai sistem yang membelenggu terciptanya realitas kesetaraan dalam relasi laki-laki dan perempuan, karena keberagaman setiap kelompok masyarakat dan budaya, karena tidak ada pengalaman perempuan yang tunggal atau berwajah sama. Menurut Banawiratma, patriarkhi berarti ‘hak bapak kekuasaan bapak’ yang sebenarnya memperlihatkan bahwa sebelumnya bapak dan juga suami adalah juga tuan. Karena itu analisis baru muncul dengan istilah ‘kyriarkhi’ (Yun. Kyrios=tuan, arkhe=kuasa, penguasa) yang memperlihatkan bahwa dominasi dan subordinasi laki-laki terhadap perempuan berada dalam susunan dan jaringan sosial berlapis-lapis dan kompleks, menjadi satu dengan kolonialisme, penghisapan kelas, rasisme, dominasi dari penguasa, pembesar, tuan, pemilik, majikan dan juga suami. Yang paling dipedulikan adalah mereka yang hidup pada lapisan dasar dari susunan dan jaringan-jaringan sosial itu dengan segala bentuk dominasi, subordinasi dan penindasan yang diderita oleh perempuan dan laki-laki yang dipinggirkan, guna mencapai egalitarian community (suatu komunitas yang sederajat antara laki-laki dan perempuan).

Berangkat dari realitas gender sebagai struktur sosial yang mengatur fungsi sosial laki-laki dan perempuan, oleh kaum feminis Dunia Ketiga, khususnya di Asia telah dipakai sebagai alat analisis untuk melihat ketidakadilan yang berlangsung dalam masyarakat di mana peran perempuan dan laki-laki dibedakan, antara lain dalam bidang domestic/privat dan public. Namun demikian, harus diakui bahwa hidup dan suara perempuan tidak mempunyai satu entitas yang tunggal (seragam) melainkan jamak (beragam). Pluralitas atau kemajemukan ini mendorong para feminis untuk menekankan aspek kemajemukan dalam metode mereka, dan perbedaan ini didasarkan pada kenyataan bahwa “there are women’s ways of knowing.” Metode-metode ini (khususnya dalam antropologi feminis) bertujuan untuk mentransformasikan dan memberdayakan kaum perempuan; menyebarkan pengertahuan tentang perempuan yang dapat memberi kontribusi pada pemberdayaan dan pembebasan perempuan demi kesetaraannya dengan laki-laki yang harus diwujudkan dalam seluruh aspek kehidupan. 

Bahasa, juga menjadi substansi atau jalan masuk yang krusial (karena bias androsentrisme dan arogansi maskulin yang mengasingkan perempuan) bagi kaum feminis dalam proses menumbuhkan kesadaran dan kepekaan kaum perempuan, dan menantang kaum laki-laki, untuk melancarkan kritik, merekonstruksi bangunan-bangunan teoritis, metodologis (dalam berbagai disiplin ilmu) yang melestarikan dominasi, ketimpangan dan ketidakadilan dalam realitas hubungan laki-laki dan perempuan, tekstual dan kontekstual. Rekonstruksi bahasa dilakukan dengan memakai bahasa yang inklusif yang menempatkan diri pribadi dalam relasi yang lebih utuh dengan sesama dan alam, dengan menerima dan memakai kekayaan pengalaman, perspektif setiap orang, terutama perempuan dalam realitas yang plural. Inklusivitas itu bermuara pada hadirnya shalom dalam komunitas yang egaliter, di mana setiap laki-laki dan perempuan dapat mengalami makna kesetaraan dan setiap orang dapat mengalami realitas keadilan. Pendekatan kritis ini menjadi penting dalam rangka melihat dan memaknakan “pengalaman perempuan sebagai titik berangkat klaim feminisme, juga titik berangkat teologi feminis untuk kita refleksikan dan kontekstualisasikan di Indonesia. 

Teologi feminis tertuju pada “suatu visi masa depan yang di dalamnya maksud Allah bagi ciptaan-Nya yang diperbarui akan tampak. Tatanan patriarchal Kitab Suci, tradisi gerejawi dan teologi sedemikian kebal, sehingga, untuk memberikan kepada perempuan tempat yang layak di dunia laki-laki, dibutuhkan iman yang utopis, yaitu iman yang menemui Allah dalam keakanan, suatu dorongan yang mengubah apa yang kini ada.” Karena itu, meskipun terdapat sejumlah teori sesuai dengan situasinya yang berlainan, mereka “semua setuju, yakni mencari dan membela martabat manusia serta kesetaraan semua perempuan dan laki-laki.” Oleh karena itu perlu dipertanyakan,  mengapa, banyak di antara kita yang masih merasa enggan, dan bahkan merasa tidak nyaman, ketika menggunakan istilah ”feminisme atau feminis” dalam kehidupan sehari-hari? Beberapa atribut yang dikenakan kepada feminisme, misalnya, ”datang dari Barat,” ”tidak membumi di Indonesia,” ”terlalu radikal,” ”aliran kiri,” akan membatasi ruang gerak kita untuk berdiri, melompat, berlari, dan menari dalam keseharian kita dalam proses mendefinisikan ulang istilah ”feminisme,” berangkat dari realitas hidup kita sebagai kaum perempuan dan kaum laki-laki.

Constance Singam, seorang feminis dari Singapura, mengungkapkan betapa istilah tersebut masih menjadi momok yang menakutkan, bahkan oleh kaum perempuan sendiri, yang tidak ingin dicap feminis. Berangkat dari ketakutan dan kecurigaan yang seperti itulah, Constance kemudian menantang pembaca artikelnya, dan termasuk kita supaya :
... before you turn away from feminist, think for a moment what they are trying to accomplish and the work that still needs to be done. You can’t sit back and hope things will change. You only have to look at history to conclude that reform is not handed to you on a plate and equality is something that must be fought for again and again and is retained only by watchfulness.

Kesimpulan Constance memperlihatkan antara lain, dua unsur yang menjadi perjuangan kaum feminis, yaitu “reformasi” dan “kesetaraan laki-laki dan perempuan” yang beraras dalam setiap segi kehidupan. Bagi kaum feminis keyakinan yang paling fundamental ialah bahwa perempuan adalah manusia sepenuhnya dan harus diperlakukan demikian.Keyakinan ini menyangkut dua segi, yakni laki-laki dan perempuan, keduanya manusia setara dan sederajat (equality) dalam kesamaan dan perbedaan mereka, adalah mereka menghayati kemanusiaannya dalam hubungan timbal balik (mutuality). Rosemary Radford Ruether menyatakan, bahwa apa pun yang mengurangi kemanusiaan penuh kaum perempuan harus dianggap bukan merefleksikan yang ilahi atau relasi yang otentik dengan ilahi atau kabar baik dari penebus yang otentik.” Prinsip kemanusiaan yang penuh didasarkan pada konsep “imago dei” : bahwa perempuan secara setara dibebaskan oleh Kristus, dan secara setara dikuduskan oleh Roh Kudus.



Catatan:
1. Dalam tradisi Kristen selalu terdapat dua aliran : 
1) yang pertama, mementingkan segi kelembagaan, ia berwujud hierarkhis dan konservatif dan 
2) yang kedua bersifat nabiah, kritis terhadap ketidakadilan dan penggunaan kekuasaan. 


2. Ada kecenderungan di kalangan masyarakat dan juga di kalangan warga gereja untuk berpikir bahwa teologi feminis adalah teologi yang berat sebelah, yang hanya berbicara tentang perempuan yang mempromosikan kedudukan perempuan saja. Namun hal itu tidak seluruhnya benar. Harus diakui, bahwa teologi feminis bersumber pada, bertumbuh dari pengalaman riel kaum perempuan yang merasa tertindas, yang merasa dilecehkan dalam kehidupan bersama, tetapi fokus dan orientasi dari teologi feminis ini telah berkembang sedemikian rupa sehingga ia juga berorientasi bagi manusia dan keseluruhan alam semesta secara utuh. 

3. Ada lima teori feminis yang dapat kita jadikan perbandingan, antara lain : 
(1) Liberal Feminism (Social discrimination, Sexist socialization); 
(2) Traditional Marxist Feminism (Class society, capitalism); 
(3) Radical Feminism (Patriarchy, women’s biology, sex roles, ecspecially forced motherhood and sexual slavery); 
(4) Socialist Feminism (Capitalism and Patriarchy); 
(5) Third World Feminism (Imperialism, national oppression, class, gender, race/ethnicity).  
Teori feminisme Dunia Ketiga, melihat masalah gender sebagai salah satu sumber penindasan perempuan bersama dengan imperialisme, penindasan nasional, kelas dan etnisitas/ras di Dunia Ketiga. Dalam paparan ini, penulis menggunakan perspektif feminisme dunia ketiga, yang memperjuangkan keadilan dan kesetaraan perempuan dan laki-laki.

4. Teologi Feminis bagi kebanyakan orang Timur diasosiasikan dengan pemikiran Barat yang memperjuangkan hak-hak dan kebebasan perempuan dalam berbagai bidang, dan karena itu banyak yang ”bias” terhadap istilah ini, mencapnya sebagai produk masyarakat Barat. Terlepas dari benar atau tidak sinyalemen ini, banyak kalangan yang mengkuatirkan bahwa teologi ini cenderung dikotomi dan konfrontatif dalam pendekatan, berbau individualistik serta condong menjadi eksklusif perempuan. Bagi masyarakat Timur yang lebih menekankan dimensi kehidupan komunitas tampaknya pendekatan gender dianggap lebih cocok. Namun banyak teolog feminis yang menganggap bahwa pendekatan ini terlalu lunak untuk dapat membongkar sistem patriarkhal yang telah mendarah daging, karena itu mereka lebih condong menggunakan istilah teologi feminis, sekalipun tidak semuanya seragam dalam pendekatan maupun fokus utamanya. Pluralitas teologi feminis maupun pendekatan tersebut dapat saling memperkaya dan saling mengoreksi. 

5. Di kalangan masyarakat Muslim, muncul feminisme Muslim pada tahun 90-an karena kaum perempuan menekuni studi kajian tafsir Al-Qur’an, sekali pun kegiatan ini menghadapi perlawanan seperti yang dialami oleh Fatima Mernissi (Sherine Hafez, The Term of Empowerment : Islamic Women Activist in Egypt, Cairo : AUC Press, 2003). Di Maroko, Fatima Mernissi memprakarsai suatu gerakan perempuan untuk membela hak-hak perempuan. Usaha ini menghasilkan revisi Undang-undang Personal oleh pemerintah Maroko pada tahun 2004. Ini berarti bahwa Undang-undang Perkawinan di Maroko menyediakan lebih banyak hak dan perlindungan kepada kaum perempuan dibandingkan dengan kebanyakan negara Muslim.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar