Halaman

Sabtu, 27 Juni 2015

KETIDAKPEDULIAN, TUMPULNYA HATI NURANI




Kepedulian VS Ketidakpedulian. Tumpulnya Hati Nurani
Oleh: Maryam Kurniawati D.Min


            Yue-Yue (seorang bocah perempuan berusia dua tahun) lepas dari pengawasan orang tuanya, menyeberang jalan di depan toko milik orang tuanya. Tiba-tiba sebuah mobil menabraknya. Ban depan melindas tubuhnya. Mobil itu berhenti sejenak, tetapi bukannya turun, si sopir malah terus menancap gas, dan tubuh Yue-yue yang nyangkut di ban belakang  terlindas untuk kedua kalinya di bagian perut. Yue-yue tergolek sekarat di pinggir jalan, dan tidak ada seorang pun yang memperdulikan keadaannya. Sampai seorang pemulung berhenti untuk menolong Yue-yue. Tubuh Yue-yue masih bergerak-gerak saat pemulung itu menyentuhnya. Ia menariknya ke pinggir jalan dan memanggil-manggil orang-orang. Akhirnya orang tua Yue-yue datang; menggendongnya untuk mencari pertolongan.  Pada saat itu terlihat ada kurang lebih 7 orang lalu-lalang tanpa rasa iba. Sungguh mengerikan! Bocah perempuan yang terlindas itu akhirnya meninggal dunia (21/10/2011), dan peristiwa tragis tabrak lari Yue-yue ini terekam oleh CCTV dan ditayangkan di situs Youtube.   


            Kasus tabrak lari Yue-yue adalah sebuah tragedi kemanusiaan, karena tumpulnya hati nurani manusia. Mengapa orang vang lewat atau yang ada di sekitar itu (bystanders) tidak mau menolong dan cenderung tidak peduli? Apa sebenarnya yang terjadi pada orang-orang ini? Di mana kah hati nurani mereka? Dalam Psikologi sosial gejala ini dinamakan Bystander Effect, atau dinamakan juga Genovese Syndrome.
Suatu malam, Kitty Genovese seorang karyawati di New York berteriak-teriak minta tolong karena dua kali ditusuk orang dengan pisau tetapi tidak seorang pun tetangga yang datang menolongnya. Penjahat itu lari tetapi beberapa menit kemudian kembali lagi, memperkosa dan menusuknya berkali-kali sampai mati. Kasus yang menimpa Kitty Genovese itu tidak hanya mendapat publikasi yang luas tapi kemudian menjadi bahan penelitian para psikolog yang kemudian menyebut fenomena sosial seperti itu sebagai The Genovese Syndrome atau Bystander Effect. Efek penonton atau Sindrom Genovese adalah kejadian dimana banyak orang tidak melakukan apa-apa sementara mereka menyaksikan kejahatan itu berlangsung di depan mata mereka.



            Dua psikolog Amerika John Darley dan Bibb Latane (1968) mengemukakan bahwa makin banyak kehadiran orang lain, seseorang menjadi merasa lebih kecil keinginannya untuk membantu seseorang, jika ia bukan satu-satunya orang yang melihat orang yang membutuhkan pertolongan tersebut. Boleh jadi mereka merasa dirinya tidak mampu untuk menolong dan bukan ahlinya. Bukankah masih banyak orang lain yang bisa menolong dia? Mengapa harus saya? Bukankah orang lain lebih mampu menolong daripada saya? Tampaknya kita semua tidak terbebas dari "Genovese Syndrome" atau "Bystander Effect" (Diffusion of Responsibility).  Ambil saja contohnya ketika kita melihat sebuah peristiwa yang membutuhkan pertolongan kita, tetapi kita mengabaikannya karena tahu masih banyak orang lain yang bisa menolong dia. Sebagian dari kita berpikir, jangan-jangan malah timbul masalah dengan pihak hukum atau polisi bila kita menolongnya. Sebab itu kita lebih senang mengambil sikap "cuci tangan, lepas tangan dan angkat tangan" bilamana terjadi sesuatu di sekitar kita. Dalam perspektif iman Kristiani, gejala "Genovese Syndrome" atau Bystander Effect (kecenderungan untuk tidak menolong) tidak dapat dibenarkan. Berapa banyak tragedi kemanusiaan (ketidakadilan, penindasan, KDRT, kekejaman dan kejahatan) yang terjadi di depan mata kita, dan kita memilih sikap, berdiam diri dan tidak peduli karena kita pikir, masih ada orang lain yang dapat membantunya???


            Mengambil sikap tidak peduli, tidak mau menolong dan berdiam diri, berarti kita membenarkan dan menyetujui kekejaman dan kejahatan yang terjadi, dan membiarkannya bertumbuh kembang dalam kehidupan kita. Mudah-mudahan Syndrome ini tidak menjangkiti komunitas gereja, keluarga dan masyarakat kita. Tanpa kita sadari, gaya hidup modern membuat kita lebih peduli kepada diri sendiri daripada peduli kepada orang lain. Kita lebih senang banyak berpikir dan berbicara mengenai diri kita sendiri dan apa yang menjadi tujuan serta kepentingan pribadi kita. Dalam Injil Markus 8:1-10 kita membaca kisah tentang Yesus memberi makan empat ribu orang. Kisah ini memang tidak seterkenal cerita Yesus memberi makan lima ribu orang (Matius 14:13-21).


            Ceritanya hampir mirip tetapi tentu agak berbeda meski lokasi kejadian sama-sama di seputar danau Galilea. Ketika Yesus hendak memberi makan empat ribu orang (yang dihitung hanya laki-laki dan belum termasuk perempuan dan anak-anak).
Disebutkan dalam Injil Markus 8:2 TuhanYesus berkata, “Hati-Ku tergerak oleh belas kasihan  kepada orang banyak ini." Karena itu Ia meminta murid-murid-Nya untuk mengumpulkan roti dan ikan yang ada pada mereka. Kemudian dengan  ucapan syukur Yesus membagi-bagikan roti dan ikan kepada murid-murid-Nya dan dilanjutkan kepada orang banyak. Mereka semua makan sampai kenyang bahkan tersisa tujuh bakul penuh. Mukjizat memberi makan empat ribu orang lebih berasal dari sedikit roti (tujuh ketul) dan beberapa ekor ikan kecil. Di sini mukjizat terjadi pada saat hati mereka tergerak oleh belas kasih, disertai dengan ucapan syukur yang tulus dan tangan yang terulur untuk memberi.

            KIta semua tahu bahwa mukjizat terjadi selalu atas prakarsa ilahi. Kita tidak akan pernah bisa menentukan terjadinya mukjizat. Hanya Tuhan lah yang menentukan. Namun ada alasan mengapa Tuhan mau melakukan mukjizat, yakni karena hati-Nya tergerak oleh belas kasihan. Mukjizat adalah sebuah anugerah, karena Tuhan sangat peduli kepada kita, dan mukjizat itu terjadi atas kesediaan manusia untuk turut serta dan terlibat di dalamnya. Para murid dan beberapa orang tergerak untuk menolong orang banyak yang kelaparan. Apa yang ada pada mereka diserahkan kepada Yesus. Tujuh ketul roti diberikan kepada Yesus. Rasanya mustahil memberi makan 4000 orang hanya dengan 7 ketul roti. Namun mereka melakukan bagian yang dapat mereka kerjakan dan sisanya, Yesus yang menyelesaikan bagian-Nya. Mukjizat terjadi, bukan ketika 4000 orang itu kenyang, tetapi lebih dari itu. Masih ada sisa yang tadinya tidak cukup. Dengan 7 ketul roti dan beberapa ekor ikan, lebih dari 4000 orang dikenyangkan dan masih banyak lebihnya.

            Hal ini mengingatkan kepada kita, bahwa mukjizat Tuhan terjadi ketika hati kita digerakkan oleh belas kasih, dan Yesus mau mengajar kita untuk menunjukkan belas kasih dan kepedulian kita terhadap semua orang, siapa pun mereka, dan apa pun status, jenis kelamin, suku, ras, agama dan budaya mereka. Dalam Injil Lukas 6:36 Yesus berkata, "Hendaklah kamu murah hati, sama seperti Bapamu adalah murah hati." Murah hati di sini secara harafiah boleh kita artikan sebagai hati yang dijual murah alias senantiasa memberi perhatian kepada siapapun tanpa pandang bulu. Dengan belas kasih dan kemurahan hati kita, mukjizat Tuhan akan terjadi dan banyak orang memperoleh berkatnya.


- Primum quaerite regnum Dei, et omnia adicientur vobis, dicit Dominus - Carilah dahulu Kerajaan Allah dan kebenaran-Nya, maka semuanya itu akan ditambahkan kepadamu (Matius 6:13)


Tidak ada komentar:

Posting Komentar