Halaman

Selasa, 22 Juli 2014

TEOLOGI FEMINIS (1)








 Oleh: Pdt. Maryam Kurniawati D.Min

Entah mengapa, banyak di antara kita yang masih merasa enggan, dan bahkan merasa tidak nyaman, ketika menggunakan istilah ”feminisme atau feminis” dalam kehidupan sehari-hari. Beberapa atribut yang dikenakan kepada feminisme, misalnya, ”datang dari Barat,” ”tidak membumi di Indonesia,” ”terlalu radikal,” ”aliran kiri,” akan membatasi ruang gerak kita untuk berdiri, melompat, berlari, dan menari dalam keseharian kita dalam proses mendefinisikan ulang istilah ”feminisme,” berangkat dari realitas hidup kita sebagai kaum perempuan dan kaum laki-laki.
Constance Singam, seorang feminis dari Singapura, mengungkapkan betapa istilah tersebut masih menjadi momok yang menakutkan, bahkan oleh kaum perempuan sendiri, yang tidak ingin dicap feminis. Berangkat dari ketakutan dan kecurigaan yang seperti itulah, Constance kemudian menantang pembaca artikelnya, dan termasuk kita supaya :
"... before you turn away from feminist, think for a moment what they are trying to accomplish and the work that still needs to be done. You can’t sit back and hope things will change. You only have to look at history to conclude that reform is not handed to you on a plate and equality is something that must be fought for again and again and is retained only by watchfulness."

Pernyataan Constance memperlihatkan antara lain, dua unsur yang menjadi perjuangan kaum feminis, yaitu “transformasi” dan “kesetaraan laki-laki dan perempuan” yang beraras dalam setiap segi kehidupan. Stigma sosial yang dikenakan kepada kaum perempuan sebagai kaum yang dikesampingkan dan dipinggirkan, kerapkali diabaikan dan tidak tersentuh, apalagi teratasi dengan membaca Alkitab hanya dari perspektif kaum laki-laki. Hal ini disebabkan karena sikap dominasi laki-laki, yang mendominasi dan meminggirkan kaum perempuan itu sudah sangat berakar dalam kehidupan masyarakat. Selanjutnya, yang lebih ironis lagi, Alkitab sendiri mengandung banyak teks yang secara sepintas atau pun langsung meminggirkan, dan bahkan menindas kaum perempuan (1 Kor. 14:34 dan sebagainya). Teks-teks semacam itu sudah sangat sering digunakan untuk memperkokohsubordinasi kaum perempuan dalam masyarakat maupun gereja. Menurut Marie C. Barth, “Di satu segi Alkitab melukai kita sebagai perempuan dan mengaburkan kasih Allah, di segi lain ia justru menolong kita memahami kemerdekaan yang kita cari.”

Sehubungan dengan hal tersebut di atas,  S. Fiorenza menciptakan sebuah metode yang dinamai “a hermeneutic of suspicion,”tafsiran yang meragukan atau mempertanyakan naskah untuk memahami di mana dan apa sebabnya pengalaman perempuan hilang dan sejauh mana masih terdapat sisa yang dapat digali dan diangkat untuk memperoleh suatu gambaran yang lebih utuh. Menurut S. Fiorenza, “menganalisis secara kritis naskah Alkitab yang androsentris berguna secara positif untuk merekonstruksi kembali (membangun) dari permulaan umat Kristen untuk mengembangkan suatu kesadaran alkitabiah yang feminis.”[8] Perempuan mengalami solidaritas dan persatuan sebagai golongan sosial bukan berdasarkan perbedaan biologis dibandingkan dengan laki-laki, tetapi berdasarkanpengalaman sejarah sebagai golongan yang tertindas dan yang berjuang untuk menentukan sejarah (menjadi full historical subjects).

Teologi Feminis bagi kebanyakan orang Timur diasosiasikan dengan pemikiran Barat yang memperjuangkan hak-hak dan kebebasan perempuan dalam berbagai bidang, dan karena itu banyak yang ”bias” terhadap istilah ini, mencapnya sebagai produk masyarakat Barat. Terlepas dari benar atau tidak sinyalemen ini, banyak kalangan yang mengkuatirkan bahwa teologi ini cenderung dikotomi dan konfrontatif dalam pendekatan, berbau individualistik serta condong menjadi eksklusif perempuan. Bagi masyarakat Timur yang lebih menekankan dimensi kehidupan komunitas tampaknya pendekatan gender dianggap lebih cocok. Namun banyak teolog feminis yang menganggap bahwa pendekatan ini terlalu lunak untuk dapat membongkar sistem patriarkhal yang telah mendarah daging, karena itu mereka lebih condong menggunakan istilah teologi feminis, sekalipun tidak semuanya seragam dalam pendekatan maupun fokus utamanya. Pluralitas teologi feminis maupun pendekatan tersebut dapat saling memperkaya dan saling mengoreksi. 

Teologi Feminis membuat refleksi kritis atas budaya patriakhi dan membangun kesadaran baru dan penuh (=konsientisasi) dengan tujuan membebaskan kaum perempuan dari belenggu budaya yang menindasnya dan mengembangkan suatu hubungan baru di antara mitra yang sederajat sebagai sesama makhluk Allah dan saudara Yesus. Meskipun terdapat sejumlah teori sesuai dengan situasinya yang berlainan, mereka “semua setuju, yakni mencari dan membela martabat manusia serta kesetaraan semua perempuan dan laki-laki.”  Karena itu teologi feminis tertuju pada “suatu visi masa depan yang di dalamnya maksud Allah bagi ciptaan-Nya yang diperbarui akan tampak. Tatanan patriarchal Kitab Suci, tradisi gerejawi dan teologi sedemikian kebal, sehingga, untuk memberikan kepada perempuan tempat yang layak di dunia laki-laki, dibutuhkan iman yang utopis, yaitu iman yang menemui Allah dalam keakanan, suatu dorongan yang mengubah apa yang kini ada.”

Teolog feminis di Asia dan Afrika menghadapi tugas yang lebih sulit lagi. Sebab selain usaha menyingkirkan sikap patriarkhal dan androsentris, mereka juga harus mengatasitradisi Barat yang berpikir secara eksklusif (yaitu yang tidak benar harus dinyatakan salah) dan individualis untuk menemukan kembali paham inklusif menuju persekutuan yang pluralis (hidup dalam kepelbagaian). Mereka mengalami sendiri suatu tradisi yang pernah memperalat Alkitab – dalam pemahaman Barat – sebagai tolok ukur atas budaya dan agama di Asia, Afrika dan Amerika Latin.
Kwok Pui-Lan, seorang teolog perempuan dari Hongkong, mengingatkan kita, bahwa Alkitab dibawa oleh kaum kolonial. Sama seperti kaum Barat yang memerintah menurut polanya sendiri, demikian juga para penginjil memakai Alkitab untuk membenarkan diri danmenguasai orang Kristen baru menurut pola mereka. Agama, kitab suci atau tradisi lisan, warisan hikmat leluhur, kedudukan tinggi perempuan dalam kebudayaan tertentu, semuanya diremehkan atas nama suatu ”etnosentrisme” yang berinti pada tradisi umat Kristen Barat sebagai umat pilihan Allah.

Kaum feminis meninggalkan warisan pemikiran eksklusif yang menentukan kebudayaan Barat yang dominan itu dan mencari pemikiran inklusif, yang menerima kepelbagaian sebagai kekayaan dan dorongan untuk mencari kebenaran yang lebih dalam dan utuh. Menurut Kwok Pui-Lan, ”Alkitab itu terlalu penting untuk ditaklukkan pada satu pola tafsir yang tunggal saja.” Metode ilmiah (historis-kritis) hanya dapat dilihat sebagai salah satu cara, ”hasilnya harus diuji oleh umat beragama di setiap tempat, oleh mereka yang membaca ulang Alkitab setiap hari serta berusaha menyalin sejarah dan perjuangannya sendiri dengan cerita Alkitab.”

Sehubungan dengan hal tersebut, Elisabeth Schussler Fiorenza terus menerus memberikan tantangan kepada kita “… to challenge white Eropean and American feminist movements and articulations to abandon their cultural imperialism, white supremacy, and exclusivist definition of feminism in terms of middle-class white women’s experiences.” Hal ini mau menegaskan, bahwa kita tidak dapat menguniversalisasikan pengalaman perempuan, atau mencoba menggolongkan realitas perempuan ke dalam satu kata “tertindas,” atau “korban” atau “menderita,” karena dengan melakukan kedua hal tersebut di atas, itu berarti kita mengabaikan bahwa setiap teori tentang apa pun terbatas secara kultural dan historis, termasuk tentang perempuan. Schussler Fiorenza membedakan tiga aliran tafsiran yang berbeda : 1) aliran doktriner yang menempatkan nas dalam kerangka ajaran gereja, 2) aliran histories yang menempatkan nas dalam lingkungan sejarah zamannya, dan 3) aliran pastoral teologi yang bertanya apa yang hendak dikatakan Allah kini pada gereja atau orang Kristen dalam situasinya.

Kecenderungan yang sama menentukan sebagian besar tafsiran Alkitab, nas tertentu dipakai untuk membatasi kebebasan dan hak perempuan : a) Meskipun dominasi laki-laki atas perempuan dilihat sebagai akibat dosa dalam Kej. 3:16, ia sering dipandang sebagai ”hukum Allah.” b) Yesus memanggil dua belas orang laki-laki untuk tinggal bersama Dia dan untuk diutus memberitakan Kerajaan Allah (Mrk. 6:7). Berdasarkan fakta itu hanya mereka sajalah yang dianggap sebagai rasul (ditambah Paulus sebagai pengganti Yudas). Pada saat Yesus mengumpulkan para murid-Nya untuk Perjamuan Kudus (Mrk. 14:22-25) atau menghembuskan Roh dan memberikan kepada mereka hak untuk mengampuni dosa (Yoh. 20:19-23), maka tradisi memberi tempat hanya bagi kedua belas rasul tanpa memperhatikan bahwa perempuan-perempuan pun termasuk murid-murid Yesus, dan mereka hadir pada Perjamuan Kudus pertama. c) Ketika Paulus meminta agar perempuan berdiam diri dalam pertemuan jemaat (1 Kor. 14:34), kita lupa bahwa nasihat itu ditujukan pada istri yang dapat ”menanyakan suaminya di rumah” (ay. 35) dan tidak boleh membantah pandangan suami di depan umum. Terlebih-lebih diabaikan bahwa Paulus mengenal perempuan yang berdoa dan bernubuat di depan jemaat (11:5). Nasihat Paulus dipakai sebagai larangan, yakni perempuan tidak boleh memegang jabatan di gereja (kecuali dalam pelayanan diakonia-sosial dan dalam pembinaan anak-anak serta perempuan). Nas yang sama dipakai untuk menolak hak suara para perempuan dan menghindarkan mereka untuk memilih dan dipilih dalam masyarakat umum (sampai pertengahan abad ke-20 di Barat).
Perlu kita pahami bahwa Alkitab dibentuk oleh kaum laki-laki dalam budaya patriarkhal, sehingga banyak pengalaman dan pernyataan ditafsirkan oleh kaum laki-laki dari sudut pandang patriarkhal. Usaha penafsiran dari abad ke abad dan penentuan kitab-kitab mana yang diterima oleh umat (dalam ”kanon”) menunjang pemahaman patriarkhal dan meniadakan apa yang masih tersirat tentang pengalaman perempuan atau, saat ia masih terpelihara, ia ditafsirkan secara androsentris. Akibatnya Alkitab menjadi sumber yang membenarkan konsep patriarkhat dalam masyarakat Yahudi dan Kristen. Apakah pentingnya Alkitab itu bagi kita? Ia menentukan iman dan jati diri Kristen dan ”Kitab yang merupakan dasar keterikatan kita (pada tradisi-tradisi patriarkhal) serentak merupakan sumber pembebasan kita, yaitu sumber utama kritik feminis terhadap penindasan patriarkhal.

 Inti berita Alkitab dan iman Kristen membebaskan, menyembuhkan dan membangun manusia yang utuh menurut pola kasih dan keadilan Allah. Karena itu bagi kaum feminis, Alkitab adalah ”buku yang berbahaya karena sering digunakan untuk menasihati kaum bawahan dan kaum perempuan agar mereka tunduk pada tuan-tuannya serta mengagumkan peperangan serta memberkatinya.” (Letty M. Russel). Dengan kata lain ”di satu pihak Alkitab ditulis dalam bahasa androsentris, berasal dari budaya patriarkhal zaman dulu dan digunakan sepanjang sejarah untuk meremehkan kaum perempuan dan membenarkan penindasan terhadap mereka. Namun di pihak lain, kaum perempuan, laki-laki dan kaum yang terpinggirkan lainnya, mengalami Alkitab sebagai sumber inspirasi yang mendukung perjuangannya melawan penindasan. Jati dirim Kristen yang berakar dalam Alkitab sebagai pola dasar yang menentukannya itu harus senantiasa dibongkar dan dibangun kembali dalam rangka praktik global untuk membebaskan tidak hanya kaum perempuan tetapi juga semua orang yang kemanusiaannya diancam oleh masyarakat dan agama yang patriarkhal.”  (Schussler Fiorenza).

Oleh karena itu kita perlu melihat adanya realitas yang multi wajah (perspektif feminis yang beragam) ketika kita berbicara tentang budaya patriarkhi sebagai sistem yang membelenggu terciptanya realitas kesetaraan dalam relasi laki-laki dan perempuan, karena keberagaman setiap kelompok masyarakat dan budaya, karena tidak ada pengalaman perempuan yang tunggal atau berwajah sama.


DINAMIKA KOMUNIKASI YANG MEMBANGUN IMAN



Ketika saya mengeksplorasi beberapa sumber untuk presentasi yang saya buat, saya tertarik dengan kata sambutan yang diberikan oleh Paus Benecdictus XVI untuk Hari Komunikasi Sosial Sedunia ke-47. Pesan beliau sangat menarik, karena mengingatkan kita tentang banyak hal yang patut kita gali dari berkomunikasi. Apalagi di era digital seperti sekarang ini, di mana jejaring sosial menjadi sebuah media untuk berkomunikasi dengan pelbagai manusia yang datang dari belahan bumi yang sama, dan mungkin juga dari belahan bumi yang berbeda yang memiliki konteks, ujian, tantangan dan permasalahan yang sangat berbeda dengan kita. Tujuan yang harus kita capai, sebenarnya sama yaitu untuk membangun komunikasi yang membangun relasi, persahabatan dan iman. Bahkan jejaring sosial dapat menjadi sebuah media yang kita pakai untuk mewartakan Kerajaan Allah, ketimbang hanya keseharian hidup. Kita harus percaya bahwa kerinduan mendasar yang ada di dalam hati setiap orang untuk menemukan makna dan kebenaran adalah sebuah kerinduan yang Allah sendiri tanamkan dalam hati setiap laki-laki dan perempuan, merupakan perwujudan dari "cahaya ramah" dari iman kita. Oleh karena itu suara-suara yang tajam dan  memecah-belah serta mengadu domba perlu kita sikapi dengan penuh kehati-hatian. Bukankah Elia mengenal suara Allah tidak dalam angin yang besar dan kuat. Tidak melalui gempa bumi dan api, tetapi dalam hembusan angin sepoi-sepoi (1 Raja2 19:11-12). Semoga setiap kita diberi kemampuan untuk mewujudkan komunikasi yang membangun relasi, persahabatan dan iman.

Pesan Paus Benecdictus XVI Untuk Hari Komunikasi Sosial Sedunia Ke-47 

07 Februari 2013 12:38

Jejaring Sosial: Pintu  kepada Kebenaran dan Iman, Ruang Baru untuk Evangelisasi

Menjelang Hari Komunikasi Sosial Sedunia tahun 2013 ,saya ingin menyampaikan beberapa permenungan mengenai suatu kenyataan  yang  semakin penting tentang cara  manusia sezaman berkomunikasi di antara mereka. Saya ingin mencermati perkembangan jejaring sosial digital yang membantu menciptakan "agora" baru, suatu alun-alun publik tempat manusia berbagi gagasan, informasi dan pendapat, dan yang dalamnya  relasi-relasi dan bentuk-bentuk komunitas baru dapat terwujud.

Ruang-ruang tersebut - bila dimanfaatkan secara  bijak dan berimbang- membantu memajukan berbagai bentuk dialog dan debat yang, bila dilakukan dengan penuh hormat dan memerhatikan privasi, bertanggungjawab dan jujur, dapat memperkuat ikatan kesatuan di antara individu-individu dan memajukan kerukunan keluarga manusiawi secara berdaya-guna. Pertukaran informasi dapat menjadi komunikasi yang benar, relasi-relasi dapat mematangkan pertemanan, koneksi-koneksi dapat mempermudah  persekutuan.  Bila jejaring sosial terpanggil untuk mewujudkan potensi besar ini, orang-orang yang  terlibat di dalamnya harus berupaya menjadi otentik , karena di dalam ruang itu,  orang tidak hanya berbagi gagasan dan informasi, tetapi pada akhirnya orang mengkomunikasikan dirinya sendiri.

Perkembangan jejaring sosial menuntut komitmen:  orang melibatkan diri di dalamnya untuk membangun relasi dan menjalin persahabatan, mencari jawaban atas pertanyaan-pertanyaan dan  mencari hiburan, tetapi juga dalam menemukan dorongan intelektual serta berbagi pengetahuan dan keterampilan. Jejaring sosial semakin menjadi bagian dari tatanan masyarakat sejauh menyatukan orang dengan berpijak pada kebutuhan dasar. Jejaring sosial dengan demikian terpelihara oleh aspirasi yang  tertanam dalam hati manusia.

Budaya jejaring sosial dan perubahan dalam sarana  dan gaya berkomunikasi membawa tantangan bagi mereka yang ingin berbicara tentang kebenaran dan nilai. Seringkali, sama halnya dengan sarana-sarana komunikasi sosial yang lain, makna dan efektifitas berbagai bentuk ekspresi nampaknya lebih ditentukan oleh popularitasnya ketimbang kepentingan hakiki dan nilainya. Pada gilirannya, popularitas seringkali lebih melekat pada ketenaran ataupun strategi persuasi  daripada  logika argumentasi. Kadangkala suara lembut dari pikiran dikalahkan oleh membludaknya informasi yang berlebihan dan gagal menarik perhatian pada apa yang disampaikan kepada orang yang mengungkapkan diri secara lebih persuasif. Dengan demikian, media sosial membutuhkan  komitmen dari semua orang yang menyadari nilai dialog, debat rasional dan argumentasi logis dari orang-orang yang berusaha keras membudidayakan bentuk-bentuk wacana dan pengungkapan  yang menggerakkan aspirasi luhur dari orang-orang yang terlibat dalam proses komunikasi. Dialog dan debat dapat juga berkembang dan bertumbuh ketika kita berbicara  dengan dan sungguh-sungguh  menghargai orang-orang yang gagasan-gagasannya berbeda dengan  kita. "Mengingat kenyataan keragaman budaya, perlulah memastikan bahwa  manusia  bukan saja mengakui keberadaan budaya orang lain tetapi juga bercita-cita diperkaya olehnya dan menghargai segala yang baik, benar dan indah"( Pidato pada Pertemuan dengan Dunia Budaya, Belem, Lisabon, 12 Mei 2010).

Tantangan yang dihadapi oleh jejaring sosial adalah bagaimana benar-benar menjadi inklusif: dengan demikian mereka memperoleh manfaat dari peran serta  penuh dari orang-orang beriman yang ingin berbagi amanat Yesus dan nilai martabat manusia yang dikemukakan melalui pengajaran-Nya. Kaum beriman semakin menyadari bahwa  kalau Kabar Baik tidak diperkenalkan juga di dalam dunia digital, ia akan hilang dalam pengalaman banyak orang yang menganggap ruang eksistensial ini penting. Lingkungan digital bukanlah sebuah dunia paralel  atau murni virtual, tetapi merupakan bagian dari pengalaman keseharian banyak orang teristimewa kaum muda. Jejaring sosial adalah hasil  interaksi manusia akan tetapi pada gilirannya, ia memberikan bentuk baru terhadap dinamika komunikasi yang membangun relasi: oleh karena itu pemahaman yang mendalam tentang lingkungan ini merupakan prasyarat untuk suatu kehadiran yang bermakna.



Kemampuan untuk menggunakan bahasa baru dituntut,  bukan terutama untuk menyesuaikan diri dengan gaya hidup sezaman, tetapi justru untuk memampukan kekayaan tak terbatas dari Injil menemukan bentuk-bentuk pengungkapan yang mampu menjangkau pikiran dan hati semua orang.  Di dalam lingkungan digital, perkataan tertulis sering disertai dengan gambar dan suara. Komunikasi yang efektif seperti yang terungkap dalam perumpamaan Yesus memerlukan pelibatan imaginasi dan kepekaan emosional  mereka yang ingin kita ajak untuk berjumpa dengan misteri kasih Allah.  Disamping itu kita mengetahui bahwa tradisi Kristiani selalu kaya akan tanda dan simbol: Saya berpikir, misalnya, salib, ikon, Patung Perawan Maria, kandang natal, jendela kaca berwarna-warni dan lukisan-lukisan di dalam gereja kita. Suatu bagian bernilai dari khazanah artistik umat manusia telah diciptakan oleh para seniman  dan musisi yang berupaya untuk mengungkapkan kebenaran iman.



Dalam jejaring sosial,  orang beriman menunjukkan kesejatiannya dengan berbagi sumber terdalam dari harapan dan kegembiraan mereka: iman kepada Allah pengasih dan penyayang yang terungkap dalam Kristus Yesus.  Wujud berbagi ini tidak hanya terdiri dari ungkapan iman yang eksplisit, tetapi juga dalam kesaksian mereka, dalam cara  mereka mengkomnikasikan "pilihan, preferensi, penilaian yang sungguh sesuai dengan Injil, bahkan bila tidak disampaikan secara ekspisit" (Pesan untuk Hari Komunikasi Sedunia 2011). Suatu cara yang secara khusus bermakna dengan memberikan kesaksian  serupa terjadi melalui kerelaan untuk mengorbankan diri kepada orang lain seraya menanggapi pertanyaan dan keraguan  mereka dengan sabar dan penuh hormat tatkala mereka mencari  kebenaran dan makna eksistensi manusia. Dialog yang berkembang dalam jejaring sosial tentang iman dan kepercayaan menegaskan penting dan relevannya agama di dalam debat publik dan dalam kehidupan masyarakat. Bagi mereka yang telah menerima  karunia iman dengan hati yang terbuka, jawaban yang paling radikal akan pertanyaan manusia tentang kasih, kebenaran dan makna hidup- pertanyaan - pertanyan serupa yang tentu tidak absen dari jejaring sosial - ditemukan dalam pribadi Yesus Kristus. Wajar  bahwa mereka yang memiliki iman  ingin berbagi dengan orang yang mereka jumpai dalam forum digital dengan rasa hormat dan bijaksana. Namun pada akhirnya, jika upaya kita untuk berbagi Injil menghasilkan buah yang baik,  hal itu selalu dikarenakan oleh kekuatan sabda Allah itu sendiri yang menyentuh hati banyak orang mendahului segala usaha dari pihak kita. Percaya pada kekuatan karya Allah harus selalu lebih besar daripada kerpecayaan apa saja yang kita letakan pada  sarana-sarana manusia.  Dalam ruang lingkup digital, juga, dimana suara yang tajam dan memecahbelah dibesar-besarkan  dan  dimana sensasionalisme menang,  kita diundang untuk berlaku arif, penuh kehati-hatian. Dalam hal ini hendaklah kita ingat bahwa Eliyah mengenal suara Allah tidak dalam angin yang besar dan kuat, tidak melalui gempa bumi dan api tetapi dalam hembusan angin  sepoi-sepoi" (1 Raj 19:11-12). Kita perlu percaya bahwa  kerinduan mendasar manusia untuk mengasihi dan dikasihi  dan untuk menemukan makna dan kebenaran -sebuah kerinduan yang Allah sendiri tanamkan dalam hati setiap laki-laki dan perempuan-  menetap di zaman kita ini,   selalu dan setidak-tidaknya terbuka kepada apa yang Beato Kardinal Newmann sebut ‘ cahaya ramah' dari iman.



Jejaring sosial, dengan menjadi sarana  Evangelisasi dapat juga menjadi faktor dalam pembangunan manusia. Sebagai contoh, dalam konteks geografis dan budaya dimana orang Kristiani merasa terisolasi,  jejaring sosial dapat memperkuat  rasa kesatuan nyata dengan komunitas kaum beriman di seluruh dunia. Jejaring sosial mempermudah orang berbagi sumber-sumber rohani dan liturgi, menolong orang untuk berdoa dengan perasaan kedekatan  bersama mereka yang mengaku iman yang sama. Suatu keterlibatan yang sejati dan interaktif dengan pertanyaan dan keraguan dari mereka yang berada  jauh dari iman seharusnya membuat kita merasa perlu untuk memelihara iman kita  melalui doa dan permenungan, iman akan Allah serta amal kasih kita: " Walaupun saya berbicara dengan bahasa manusia dan bahasa malaikat, tetapi apabila aku tidak mempunyai kasih, aku adalah gong yang berkumandang dan canang yang gemerincing". (1 Kor 13:1)



Di dalam dunia digital terdapat jejaring-jejaring sosial yang memberikan peluang-peluang sezaman untuk berdoa, meditasi, dan berbagi firman Allah. Akan tetapi jejaring sosial itu dapat juga membuka pintu terhadap dimensi lain dari iman. Banyak orang benar-benar menemukan, tepatnya berkat kontak awalnya di internet, pentingnya pertemuan langsung, pengalaman komunitas-komunitas dan  bahkan peziarahan, unsur-unsur yang  senantiasa penting dalam perjalanan iman. Dalam upaya untuk membuat Injil hadir dalam dunia digital, kita dapat mengundang orang untuk datang bersama-sama untuk berdoa dan perayaan liturgi di tempat-tempat tertentu seperti gereja dan kapel. Seharusnya tidak  kekurang kobersamaan atau kesatuan dalam pengungkapan iman kita dan dalam memberikan kesaksian tentang Injil di dalam realitas apa saja dimana kita hidup entah itu fisik atau digital. Kita  kita berada bersama orang lain, selalu dan dengan cara apapun, kita dipanggil untuk memperkenalkan kasih Allah hingga ujung  bumi.

Saya berdoa agar Roh Allah mendampingi dan senantiasa menerangi kamu, dan dengan segenap hati saya memberkati kamu sekalian, agar kamu benar-benar mampu menjadi bentara-bentara  dan saksi-saksi Injil." Pergilah ke seluruh dunia, beritakan Injil kepada segala mahkluk" (Mrk 16:15)



Vatikan, 24 Januari 2013


KOMPETISI: BERSAING SECARA SEHAT

Kompetisi atau persaingan merupakan kenyataan hidup yang tak dapat kita hindari. Definisi "persaingan" menurut KBBI adalah upaya yang dilakukan untuk memperlihatkan keunggulan masing-masing pihak di dalam pekerjaan, posisi, jabatan, pelayanan, pemilikan uang, harta  dan kekayaan. Persaingan terjadi di seluruh bidang dan area kehidupan, baik di dalam keluarga, rumah tangga, pekerjaan, dunia usaha, dunia politik bahkan di dalam gereja Tuhan.

Sebagai sebuah upaya untuk memotivasi seseorang untuk meningkatkan kompetensi dan kinerja yang dibuat di dalam pekerjaan, pelayanan terhadap publik dan masyarakat, persaingan adalah sebuah kenyataan yang positif. Sayangnya, untuk menunjukkan keunggulannya, orang kerapkali tergoda untuk menghalalkan semua cara asal tujuan tercapai. Mereka tidak segan-segan untuk melakukan cara-cara yang licik, manipulatif dan culas. Mereka melihat orang lain, bukan lagi sebagai kawan melainkan lawan.

Untuk bersaing secara sehat, orang perlu memiliki konsep atau gambar diri yang positif karena setiap orang banyak kelebihannya, tetapi tidak sedikit kekurangan dan kelemahannya. Menjadikan lawan sebagai kawan, serta tetap fokus pada tujuan merupakan sikap yang positif, yang dapat mencegah seseorang untuk melakukan cara-cara yang licik, manipulatif dan culas. Langkah berikutnya adalah terbuka pada auto-kritik untuk memperbaiki serta meningkatkan kompetensi dan kinerja yang telah dilakukan.

Saya jadi teringat sikap mental kepiting. Talangka  adalah sejenis kepiting sawah yang hidup di Filipina. Orang Filipina kerapkali menggunakan Talangka untuk menggambarkan keadaan sosial-politik di negerinya. Mengapa? Kalau orang mengangkap Talangka, ia tidak perlu repot-repot menjaganya  Ditinggalkan sajadi  dalam ember, pasti tidak ada yang kabur karena Talangka akan berebut naik.  Mereka akan saling sikat, sikut, tendang dan gigit untuk bisa naik ke atas Hasilnya, sampai pagi tidak ada seekor pun Talangka yang berhasil dan lolos. Talangka akan terdiam kelelahan dan siap untuk direbus dan dimasak. Nah bagaimana dengan kita?  Apakah kita memiliki gambar diri yang positif, yang memampukan kita untuk bersaing secara sehat serta menjauhkan diri dari sikap dan mentalitas kepiting Talngka? Semoga.

Dalam Alkitab, persaingan yang tidak sehat terjadi antara Daud dan Saul. Saul tidak ingin Daud menggantikan posisinya sebagai raja Israel. Sebab itu ia berusaha untuk membunuh Daud. Begitu pula dengan Salomo dan Adonai. Salomo membunuh Adonia untuk mempertahankan tahtanya. Sedangkan Yoram, ia membunuh semua saudara-saudaranya agar tidak menjadi ancaman baginya. Yakub mengelabui Esau dan menipu Ishak untuk memperoleh hak kesulungan. Hal yang sama terjadi pada Yusuf. Saudara-saudaranya merasa iri hati dan dengki karena Yakub mengasihi Yusuf lebih dari anak-anak lainnya. Mereka menjual Yusuf sebagai budak, dan membohongi ayah dan ibu mereka. Ketika bayi Yesus lahir di Betlehem, Raja Herodes merasa takut dan terancam. Oleh karena itu ia memerintahkan untuk menghukum mati semua bayi laki-laki yang baru lahir di Betlehem. Persaingan/kompetisi yang tidak sehat selalu menimbulkan kekacauan, kejahatan, kekejaman dan kehancuran dalam segala bentuknya.

Nah bagaimana dengan kita? Persaingan terjadi dalam kehidupan keluarga dan rumah tangga kita (antara orangtua dan anak, suami dan istri, kakak dan adik dsb). Dalam pekerjaan dan bidang usaha, jangan ditanya lagi.  Sikut-menyikut dan saling menjatuhkan, dan semua cara dijadikan halal untuk menncapai tujuan. Dalam pelayanan, persaingan  yang tidak sehat sering terjadi di semua arasy, baik di dalam ke-Panitiaan, ke-Pengurusan, ke-Majelisan bahkan di antara para Pelayan Tuhan). Dalam kehidupan masyarakat, persaingan sangat keras dan menakutkan terjdi dalam Piilpres 2014. Segala upaya dilakukan untuk mengaburkan hasil Pemilu yang obyektif, bahkan mekmbentuk kelompok perlawanan yang permanen untuk mengantisipasi kemenangan lawan.

Ada banyak peristiwa yang terjadi dalam kehidupan dan pelayanan kita, yang memperlihatkan bahwa persaingan yang tidak sehat akan selalu menimbulkan kekacauan baik dalam pekerjaan maupun dalam relasi kita dengan orang-orang di sekitar kita. Kita pun mungkin pernah menghadapi situasi seperti ini… Orang mungkin memfitnah, menjelek-jelekan, bahkan mencari-cari kesalahan dan memperlakukan kita dengan buruk dan tidak manusiawi. Menerima dengan lapang hati dan berupaya untuk mengampuni adalah pilihan yang terbaik, daripada membenamkan diri dan tenggelam dalam kepahitan, dendam dan luka-luka di dalam hati. Ini adalah salah satu bentuk penyangkalan diri, memikul salib dan setia mengikut Kristus. Satu hal yang harus kita yakini, bahwa Tuhan tidak buta dan tuli. Manusia dapat mereka-reka yang buruk, tetapi Tuhan sanggup mengubah semua hal yang buruk itu menjadi berkat yang luar biasa dalam kehidupan kita. Asal kita setia dan memberlakukan Firman-Nya.

Menurut Rasul Paulus, kita harus menanggalkan kemanusiaan (=manusia lama) kita, dan memberi diri untuk dipimpin oleh Roh Kudus agar kita sungguh-sungguh dimampukan untuk melanjutkan tugas panggilan hidup kita. Pilihan selanjutnya, adalah kita belajar dari Yesus. Ia tidak pernah 
berupaya untuk memperlihatkan bahwa Ia lebih unggul (atau tidak mau kalah) dari Yohanes Pembaptis, atau Musa dan Elia lalu menfitnah, menjelek-jelekan, dan mencari-cari kesalahan mereka. Yesus juga tidak pernah mendiskreditkan orang berdasarkan "label" atau "stigma" yang dibuat manusia (seperti pemungut cukai, pelacur, dsb).  Buktinya, Ia menyerahkan diri-Nya untuk difitnah secara keji oleh para pemuka agama Yahudi, dikhianati oleh murid-Nya, serta disiksa dan mati disalibkan di Bukit Golgota. Untuk apa? Untuk memberi pelajaran kepada kita, bahwa segala karunia, berkat dan talenta yang diberikan oleh Tuhan kepada setiap orang tidak pernah ada yang sama. Sebab itu, jangan berkecil hati atau iri hati dan dengki bila ada sebagian orang yang dipercayakan bakat, talenta, dan berkat yang lebih besar dari yang kita miliki. 

Terus memotivasi diri untuk mengembangkan diri dan kreatif, memupuk sikap senasib sepenanggungan, setia kawan dan solider adalah pilihan yang terbaik bagi kita.  Bukankah persaingan yang tidak sehat hanya akan melahirkan kebencian, permusuhan, dan kehancuran dan tidak akan pernah ada pihak yang diuntungkan? Tidak hanya itu saja. Hati, jiwa dan spiritualitas kita akan seperti pohon ara yang dari jauh mungkin tampak hijau tapi tidak berbuah. Yesus mengajar kita untuk mendengar dan memberlakukan Firman-Nya, agar kita semua "menjadi tanah yang subur." Untuk dapat menjadi tanah yang subur kita harus bekerja keras untuk menjaga dan memelihara benih yang sedang bertumbuh. Memberi pupuk dan air dan sinar matahari yang cukup, mengusir  hama dan burung yang mengganggu, sehingga benih itu akan terus tumbuh dan akhirnya berbuah seratus kali lipat, enam puluh kali lipat, tiga puluh kali lipat (Matius 13:23). Oleh karena itu, kita harus mendidik anak-anak kita untuk berjiwa besar, dan bersaing secara sehat. Soal menang dan kalah sebenarnya adalah biasa. Semua pihak, harus tetap mengembangkan diri dan menjadi lebih baik lagi. Dalam Roma 14:19, dikatakan,"Marilah kita mengejar apa yang mendatangkan damai sejahtera dan yang berguna untuk saling membangun." Soli Deo Gloria! 


"HOMO HOMINI LUPUS"



Menurut Thomas Hobbes, "Homo Homini Lupus," manusia adalah serigala bagi sesamanya. Hobbes melihat sisi gelap kehidupan manusia. Ada kecenderungan dalam diri manusia untuk berkuasa secara mutlak atas sesamanya. Hukum yang berlaku adalah siapa yang kuat, dialah yang menang. Tidak ada "murah hati," No mercy!  Mereka akan mengerahkan segala cara dan daya, bahkan menghalalkan segala cara guna memperoleh apa yang diinginkannya. Orang lain bagi mereka adalah "alat" atau "sarana" untuk mencapai tujuan atau target yang hendak dicapai. Sebab itu tidak ada belas kasih dan kemurahan hati.

Di dalam Alkitab kata "murah hati" dalam PL dipakai sebanyak 236 kali untuk menunjuk kepada Allah, dan 60 kali untuk menunjuk kepada manusia. Dalam PB digunakan 20 kali untuk Allah, dan hanya 7 kali untuk manusia. Salah satu kisah yang sangat populer untuk menggambarkan prinsip murah hati ini adalah Kisah orang Samaria yang murah hati [Lukas 10 : 25 – 37]. Kenyataan ini mau menunjukkan kepada kita bahwa murah hati itu adalah salah satu ciri kasih, dan salah satu sifat Tuhan. Hendaklah kamu murah hati, sama seperti Bapamu adalah murah hati (Lukas 6:36). Di dalam "murah hati" kepentingan sesama ditempatkan pada posisi pertama dan utama. Semua yang diberikan selalu yang terbaik, karena dilakukan sama seperti untuk diri sendiri. Apa yang menjadi kebutuhan sesama itulah yang diberikan. Sikap ini yang disebut sebagai prinsip altruistik. Sebab itu murah hati tidak identik dengan kedermawanan atau sikap dermawan. Kedermawanan cenderung menempatkan si penerima sebagai objek, dan tindakan dan sikap yang muncul adalah filantropik. Dalam Matius 5:7, Yesus mengatakan, "Berbahagialah orang yang murah hatinya, karena mereka akan beroleh kemurahan." Wujud yang paling utama dari sikap murah hati adalah memberi diri, seperti yang dilakukan oleh orang Samaria yang murah hati dalam Lukas 10:25-37.

Dalam perumpamaan tersebut, Yesus memperlihatkan bahwa bukan hanya benda atau uang yang orang Samaria itu berikan, tetapi juga diri dan hidup mereka. Sikap ini yang kemudian disebut sebagai pengurbanan, sacrifice, sacro factum atau perbuatan yang mulia. Dalam tindakan itu, mereka bersedia untuk mengambil risiko yang paling besar, memberikan nyawanya demi orang lain, bahkan musuh sekali pun! Inilah yang dimaksud dengan "murah hati." Dalam kehidupan keluarga, dengan murah hati  orangtua dapat lebih memahami apa yang menjadi pergumulan anak-anak mereka.  Tidak mudah menyalahkan, dan tidak asal menuntut. Orangtua juga dapat memberikan perhatian yang baik dan benar pada anak-anak mereka. Bukan sekadar karena sudah memberikan uang untuk makan dan sekolah, lalu semua beres. Seringkali anak-anak juga membutuhkan waktu untuk ada bersama dengan orangtua mereka. 

Memperlakukan setiap orang sesuai dengan harkat dan martabat mereka, siapa pun mereka, apa pun  latar belakang suku, ras, agama, golongan dan budaya mereka menjadi salah satu perwujudan dari kaidah kencana, "apa yang kamu kehendaki orang lain lakukan padamu, lakukanlah itu pada orang lain." Dengan murah hati, gereja akan menjadi berkat bagi banyak orang karena pelayanan kasih yang tepat guna dan memberdayakan. Tidak terjebak dalam bentuk pelayanan karitatif, tetapi pelayanan yang bersifat transformatif. Dengan murah hati, segala bentuk krisis akan teratasi, karena semua pihak menempatkan belas kasih dan kemurahan hati sebagai dasar pertimbangan dan pijakan dalam segala sesuatu. Bahkan dengan murah hati, gereja dapat menjamu dan merangkul orang-orang yang oleh karena satu dan lain hal "tersisihkan dan terbuang" dari sesamanya. Ah, kalau saja!

Selasa, 03 Juni 2014

EVERY MOMENT, INSPIRED LIVING


"Every Moment, Inspired Living", sebuah buku yang mengungkap pengalaman hidup dalam pergumulan dengan realitas sehari-hari dan dekat dengan siapapun yang membacanya. Topik yang diangkat begitu nyata dan cukup bervariasi, dengan diperjelas ilustrasi dan kisah yang relevan dan aktual. Ini adalah bacaan yang menuntun pembacanya memaknai pengalaman hidup dalam terang Firman Tuhan; sehingga menjadi bacaan yang menarik bagi setiap orang yang ingin bertumbuh dalam iman dan kehidupan sosial. (Sabar Subekti, Pemimpin Redaksi www.satuharapan.comBuku ini ada dapat dipesan di bamboobridgepress@gmail.com, atau SMS via +6289628647087. Harga buku Rp. 28.000,- (dua puluh delapan ribu rupiah), dan tebal buku 144 halaman.

Kamis, 22 Mei 2014

MENGAPA TOMAS TIDAK PERCAYA BAHWA YESUS TELAH BANGKIT?


Pembacaan Alkitab: Yohanes 20:19-31

Pertanyaan Pendahuluan

  1.   Apakah yang dimaksud dengan sikap kritis dan penuh rasa ingin tahu?
  2.  Menurut pendapat Anda, sikap kritis dan penuh rasa ingin tahu adalah sikap yang positif ataukah sikap yang negatif. Mengapa?
  3. Apakah Anda mempunyai pengalaman pribadi tentang hal tersebut. Uraikan dengan singkat, padat dan jelas (5 W: What, Who, Where, When, Why)
  4. Pelajaran apakah yang Anda dapatkan dari pengalaman tersebut?

Latar Belakang Alkitab
Nama Tomas berasal dari Bahasa Aram “te’oma,” yang artinya “anak kembar.” Ia lahir di Galilea. Menurut tradisi, Tomas menjadi martir di India dan dimakamkan di Edessa. Berbeda halnya dengan Petrus, Yakobus, Yohanes, dan Yudas Iskariot, peran Tomas kurang menonjol. Ibarat seorang pemain figuran dalam sebuah film, ia bukan pemain utamanya. Namanya hanya muncul dalam Injil Yohanes. Yohanes tiga kali memakai terjemahan Yunaninya yaitu “Didimus” (Didumos, Yohanes 11:16; 20:24; 21:2). Kita tidak tahu siapa kembarannya itu. Tradisi Siria dan Mesir menyebut namanya Yudas.

Meski pun demikian Tomas dikenal sebagai sosok murid yang berani, kritis dan berterus terang. Sikapnya ini tampak pada peristiwa meninggalnya Lazarus. Tomas tidak membiarkan Yesus pergi seorang diri ke Yudea. Dengan berani, ia menawarkan dirinya untuk menemani Yesus pergi bersama-sama ke kota yang berbahaya itu (Yohanes 11:16). Pada Perjamuan Terakhir, Tomas dengan jujur mengakui bahwa ia tidak memahami ke mana Yesus akan pergi, ketika Yesus mempersiapkan murid-murid-Nya perihal kepergian-Nya (Yohanes 14:5). Peristiwa penting yang membuat ia terkenal dengan sebutan “Tomas yang tidak percaya” adalah ketidakpercayaannya bahwa Yesus telah bangkit. Ketika Yesus yang bangkit menampakkan diri-Nya kepada murid-murid (Paskah I), Tomas tidak hadir di situ. Ia hanya mendengar berita dari teman-temannya, “Kami telah melihat Tuhan!” Tomas berkata, “Sebelum aku melihat bekas paku pada tangan-Nya dan sebelum aku mencucukkan jariku ke dalam bekas paku itu dan mencucukkan tanganku ke dalam lambung-Nya, sekali kali aku tidak akan percaya.” Seminggu kemudian (Paskah II) Yesus menampakkan diri-Nya lagi kepada murid-murid, termasuk Tomas dan memberi kesempatan kepada Tomas untuk mencucukkan jarinya ke dalam luka-luka yang ada di tubuh-Nya.

Mengenai sikap Tomas ini, Agustinus Bapa Gereja kita mengatakan, “Dengan pengakuannya dan dengan menjamah luka Yesus, ia sudah mengajarkan kepada kita apa yang harus dan patut kita percayai. Ia melihat sesuatu dan percaya sesuatu yang lain. Matanya memandang kemanusiaan Yesus, namun imannya mengakui ke-Allah-an Yesus, sehingga dengan sikap gembira bercampur penyesalan yang mendalam, ia berseru, “Ya Tuhanku dan Allahku!” Jawaban Yesus kepada Tomas itu tetap berkumandang sampai sekarang ini, “Karena engkau telah melihat, engkau percaya. Berbahagialah mereka yang tidak melihat, namun percaya!” Pernyataan itu memunculkan sebutan “Tomas yang tidak percaya.”

Refleksi

Selama berabad-abad Tomas mendapat sebutan dari para pembaca Injil Yohanes sebagai murid yang buruk karena ia ragu dan tidak percaya. Namun bukankah Tomas sebenarnya hanya meminta “tidak lebih daripada apa yang dilihat oleh murid-murid yang lain?” yaitu “tangan, lambung dan bekas luka Yesus?” Tomas hanya meminta apa yang terluput daripadanya, yaitu kesempatan yang sama seperti murid-murid yang lain untuk berjumpa dengan Kristus yang bangkit. Mungkin kata-katanya lebih keras dari sekadar meminta, tetapi motivasinya tidak lebih dan tidak kurang, yaitu perjumpaan dengan Kristus yang bangkit itu. Yesus memenuhi apa yang diminta oleh Tomas, karena Ia tahu apa yang dibutuhkan oleh Tomas. Tomas adalah seorang murid yang tidak puas hanya dengan mendengar kesaksian dari teman-temannya. Motivasi Tomas bukanlah sebuah kesalahan atau pun kekeliruan, karena sebagai murid Yesus, ia pasti mempunyai kerinduan untuk berjumpa secara langsung dengan Yesus yang telah bangkit. Perjumpaan dengan Yesus yang bangkit akan mengubah kekecewaan dan kesedihan yang menghantui dirinya karena Yesus mati di atas kayu salib.

Kita memang tidak melihat Yesus dalam darah dan daging, tetapi perjumpaan dengan Yesus yang bangkit adalah sebuah peluang bagi kita untuk memiliki spiritualitas yang otentik, karena perjumpaan kita secara pribadi dengan Kristus yang bangkit. Selama ini mungkin kita hanya membaca dan mendengar kisah-Nya dalam Alkitab, atau mungkin hanya mendengar pemberitaan tentang Kristus yang bangkit melalui mimbar gereja. Namun kita belum berjumpa secara pribadi dengan-Nya, serta mengalami kasih dan kebaikan-Nya yang mengubah kehidupan kita ke arah yang lebih baik. Oleh karena itu, jadikanlah perjumpaan kita secara pribadi dengan Kristus yang bangkit sebagai sebuah momentum untuk memupuk kembangkan spiritualitas dan penghayatan hidup iman percaya kita, agar olehnya kita diberi kemampuan untuk melakukan pekerjaan-pekerjaan yang baik, seperti yang diperbuat Allah dalam Yesus Kristus bagi kita.


Pertanyaan untuk didiskusikan:

  1. Rene Decartes mengatakan “de ombibus dubitandum,” artinya segala sesuatu harus diragukan atau pun dipertanyakan.” Menurut Anda, apakah  perkataan Rene Decartes tsb bersinggungan atau berkaitan dengan topic yang kita bahas hari ini?
  2. Bila terkait, jelaskan keterkaitan/keterhubungaannya dengan singkat, padat dan jelas.
  3. Bagaimana Anda dapat mengatasi segala bentuk keraguan, kecemasan dan ketakutan yang kerapkali menghantui keseharian hidup Anda?
  4. Pengajaran apa yang hendak Anda bagikan kepada orang lain, yang berkaitan dengan topic bahasan Tomas dan perjumpaan dengan Kristus yang bangkit dalam realitas kehidupan sehari-hari.


Indonesian Home Fellowship St. Andrew Presbyterian Church
Kuala Lumpur, 23 Mei 2014. 
Oleh: Pdt. Maryam Kurniawati Sutanto D.Min


Minggu, 27 April 2014

PEREMPUAN DAN LAKI-LAKI MENGGUNAKAN BAHASA YANG BERBEDA




Dari hasil penelitian yang dilakukan oleh banyak peneliti sosiolinguistik di bidang gender dan kebahasaan, pada kenyataannya perempuan dan laki-laki menggunakan bahasa yang berbeda. Bukan hanya pada pemakaian atau pemilihan kata (leksikal) dan kalimat (gramatikal), melainkan juga pada cara penyampaiannya (pragmatis). Bahasa yang digunakan oleh laki-laki menunjukkan dominasi laki-laki, sedangkan bahasa yang digunakan oleh perempuan merefleksikan subordinasi (ketidakberdayaan) mereka. Hal ini mencerminkan realitas kehidupan sosial mereka.

Perempuan biasanya lebih peka pada apa yang diucapkannya, dan cenderung memperhatikan fungsi afektif dalam berinteraksi. Mereka lebih peka terhadap perasaan yang mungkin ditimbulkan dari bahasa yang dipakai. Sedangkan laki-laki, biasanya cenderung lebih memperhatikan informasi (yang ada hubungannya dengan kemandirian dan status) yang disampaikan dibanding fungsi afektif dari interaksi itu sendiri. Mereka lebih sering menginterupsi dan mendominasi pembicaraan, terutama dalam situasi di mana kekuasaan dan status perlu ditonjolkan seperti ketikaberargumentasi atau berdebat dalam pertemuan atau rapat-rapat.

Contoh bahasa yang digunakan oleh laki-laki adalah, "Pemahaman Anda sempit dan berat sebelah. Pola pembinaan yang dilakukan oleh gereja hanya mengutamakan "transfer of knowledge," Penghayatan iman harus diwujudkan baik secara vertical maupun horizontal. Dari situ kita baru dapat mengerti Injil itu kabar baik." Contoh bahasa yang dipergunakan oleh perempuan, "Gereja dapat mengambil peran untuk membangun kehidupan masyarakat dengan memberikan ketrampilan untuk menjahit, membuat kue dsb," Segala bentuk perbedaan harus dihargai sebagai anugerah Tuhan."

Membicarakan bahasa laki-laki dan bahasa perempuan tidak bisa lepas dari konteks sosial dan budaya mereka, karena perbedaan yang ada ternyata banyak disebabkan oleh kondisi sosial masyarakatnya. Latar belakang sosial dan budaya serta situasi dan kondisi memegang peranan penting dalam melihat masalah ini. Oleh karena itu, perlu pendekatan yang bersifat holistik. Studi gender dan bahasa menekankan bahwa cara perempuan dan laki-laki memang memiliki cara berkomunikasi yang berbeda. Oleh sebab itu, masing-masing dari kita perlu saling memahami dan bertoleransi dengan perbedaan yang ada (Deborah Tannen, You just don't understand, 1990).

Selanjutnya, untuk memahami jenis atau bentuk bahasa, konteks sosial dan budaya dibutuhkan komitmen yang jelas untuk terus mendengarkan (daripada berbicara). Mengembangkan apa yang disebut Raymond Facelina sebagai listening heart,”sehingga kita dapat melepaskan katagori-katagori yang kita buat, dengan mendengarkan, memahami dan merefleksikannya dengan tepat. Salah satu bentuk pendekatan yang unik dalam aktivitas berkomunikasi yang menuntun kita memberi dari hati, mengaitkannya dengan diri sendiri dan seorang dengan yang lain dalam cara-cara yang menumbuhkembangkan sifat belarasa/belas kasih (nonviolent and compassionate compassion), sebagaimana yang diidentifikasikan oleh Marshall B. Rosenberg dalam bukunya Nonviolent Communication A Language of Compassion (2001).

NVC (nonviolent atau compassionate communication) adalah salah satu bentuk komunikasi yang akan menuntun kita untuk  merumuskan ulang bagaimana kita mengungkapkan diri dan mendengarkan orang lain. Di sini, kata-kata kita jadi respons sadar berdasarkan suatu kesadaran atas apa yang kita serap, rasa, dan inginkan. NVC membantu kita mengungkapkan diri secara jujur, jelas, serta memperhatikan pesan mitra wicara dengan penuh respek dan empati. Hal Ini merupakan sumbangan penting bagi upaya perdamaian di dunia.  NVC akan membantu kita untuk pantang“mengkritik” agar tidak mengadili/menghakimi orang lain secara negatif maupun positif. Jujur kata, selama ini kita menggunakan pendekatan rasional objektif kritis mengandalkan kritik sebagai sarana pertumbuhan pengetahuan. Sebab itu kita tidak segan-segan mengkritik, bahkan mengecam orang lain secara negatif.

Oleh karena itu NVC menawarkan Model komunikasi khas yang dapat dipakai oleh setiap orang. Menurut Rossenberg, komunikasi yang mengalienasi hidup menjebak kita pada dunia ide tentang apa yang benar dan apa yang salah, suatu dunia penilaian. Itulah dunia yang kaya dengan kata-kata yang mengklasifikasi dan mendikotomi (bahkan menjastifikasi) orang dan tindakan mereka. Saat memakai bahasa ini, kita menilai orang dan perilakunya sambil bersibuk dengan siapa yang baik, jahat, normal, abnormal, bertanggung jawab, tak bertanggung jawab, cerdas, goblok, dan seterusnya. Minat kita jadi terfokus pada ihwal mengklasifikasi, menganalisis, dan menentukan tingkat kesalahan ketimbang pada apa yang kita dan orang lain butuhkan dan tidak kita peroleh. Jadi, jika rekan kerja kita menginginkan lebih banyak afeksi daripada yang bisa saya berikan, ia ”kekurangan dan bergantung”. Namun, jika saya lebih banyak membutuhkan afeksi daripada yang bisa ia berikan, ia ”bersikap jauh dan tak peka”.

Dari keyakinan Rosenberg, analisis atas orang lain seperti itu adalah ungkapan tragis akan nilai dan kebutuhan kita sendiri. Menjadi tragis karena jika kita mengungkapkan nilai dan kebutuhan kita dalam bentuk ini, kita meningkatkan sikap defensif dan resistensi pada mereka di antara orang yang perilakunya justru kita pedulikan. Atau, jika mereka sepakat berperilaku sesuai dengan nilai kita, mereka sangat mungkin berbuat itu karena takut merasa bersalah atau malu. Di sini, penting membedakan evaluasi tentang nilai dengan penilaian moralistis.

Kita semua dapat mengevaluasi nilai-nilai dalam hidup: kita mungkin menghargai kejujuran, kebebasan, dan damai. Evaluasi kita atas nilai-nilai tersebut mencerminkan keyakinan kita tentang bagaimana hidup dapat dilayani dengan cara terbaik. Kita dapat  membuat penilaian moralistis atas orang dan perilaku yang gagal mendukung evaluasi kita akan nilai, misalnya ”tindak kekerasan buruk, orang yang membunuh jahat.” Andai kita terdidik memakai bahasa belarasa, kita pasti akan mengartikulasikan langsung kebutuhan dan nilai kita ketimbang menginsinuasikan keburukan jika kebutuhan itu tak terlayani. Jadi, alih-alih mengatakan ”tindak kekerasan itu buruk”, kita sebaiknya berkata, ”Saya takut menggunakan tindak kekerasan untuk menyelesaikan konflik; saya menghargai penyelesaian konflik dengan cara lain.”