Halaman

Selasa, 22 Juli 2014

TEOLOGI FEMINIS (1)








 Oleh: Pdt. Maryam Kurniawati D.Min

Entah mengapa, banyak di antara kita yang masih merasa enggan, dan bahkan merasa tidak nyaman, ketika menggunakan istilah ”feminisme atau feminis” dalam kehidupan sehari-hari. Beberapa atribut yang dikenakan kepada feminisme, misalnya, ”datang dari Barat,” ”tidak membumi di Indonesia,” ”terlalu radikal,” ”aliran kiri,” akan membatasi ruang gerak kita untuk berdiri, melompat, berlari, dan menari dalam keseharian kita dalam proses mendefinisikan ulang istilah ”feminisme,” berangkat dari realitas hidup kita sebagai kaum perempuan dan kaum laki-laki.
Constance Singam, seorang feminis dari Singapura, mengungkapkan betapa istilah tersebut masih menjadi momok yang menakutkan, bahkan oleh kaum perempuan sendiri, yang tidak ingin dicap feminis. Berangkat dari ketakutan dan kecurigaan yang seperti itulah, Constance kemudian menantang pembaca artikelnya, dan termasuk kita supaya :
"... before you turn away from feminist, think for a moment what they are trying to accomplish and the work that still needs to be done. You can’t sit back and hope things will change. You only have to look at history to conclude that reform is not handed to you on a plate and equality is something that must be fought for again and again and is retained only by watchfulness."

Pernyataan Constance memperlihatkan antara lain, dua unsur yang menjadi perjuangan kaum feminis, yaitu “transformasi” dan “kesetaraan laki-laki dan perempuan” yang beraras dalam setiap segi kehidupan. Stigma sosial yang dikenakan kepada kaum perempuan sebagai kaum yang dikesampingkan dan dipinggirkan, kerapkali diabaikan dan tidak tersentuh, apalagi teratasi dengan membaca Alkitab hanya dari perspektif kaum laki-laki. Hal ini disebabkan karena sikap dominasi laki-laki, yang mendominasi dan meminggirkan kaum perempuan itu sudah sangat berakar dalam kehidupan masyarakat. Selanjutnya, yang lebih ironis lagi, Alkitab sendiri mengandung banyak teks yang secara sepintas atau pun langsung meminggirkan, dan bahkan menindas kaum perempuan (1 Kor. 14:34 dan sebagainya). Teks-teks semacam itu sudah sangat sering digunakan untuk memperkokohsubordinasi kaum perempuan dalam masyarakat maupun gereja. Menurut Marie C. Barth, “Di satu segi Alkitab melukai kita sebagai perempuan dan mengaburkan kasih Allah, di segi lain ia justru menolong kita memahami kemerdekaan yang kita cari.”

Sehubungan dengan hal tersebut di atas,  S. Fiorenza menciptakan sebuah metode yang dinamai “a hermeneutic of suspicion,”tafsiran yang meragukan atau mempertanyakan naskah untuk memahami di mana dan apa sebabnya pengalaman perempuan hilang dan sejauh mana masih terdapat sisa yang dapat digali dan diangkat untuk memperoleh suatu gambaran yang lebih utuh. Menurut S. Fiorenza, “menganalisis secara kritis naskah Alkitab yang androsentris berguna secara positif untuk merekonstruksi kembali (membangun) dari permulaan umat Kristen untuk mengembangkan suatu kesadaran alkitabiah yang feminis.”[8] Perempuan mengalami solidaritas dan persatuan sebagai golongan sosial bukan berdasarkan perbedaan biologis dibandingkan dengan laki-laki, tetapi berdasarkanpengalaman sejarah sebagai golongan yang tertindas dan yang berjuang untuk menentukan sejarah (menjadi full historical subjects).

Teologi Feminis bagi kebanyakan orang Timur diasosiasikan dengan pemikiran Barat yang memperjuangkan hak-hak dan kebebasan perempuan dalam berbagai bidang, dan karena itu banyak yang ”bias” terhadap istilah ini, mencapnya sebagai produk masyarakat Barat. Terlepas dari benar atau tidak sinyalemen ini, banyak kalangan yang mengkuatirkan bahwa teologi ini cenderung dikotomi dan konfrontatif dalam pendekatan, berbau individualistik serta condong menjadi eksklusif perempuan. Bagi masyarakat Timur yang lebih menekankan dimensi kehidupan komunitas tampaknya pendekatan gender dianggap lebih cocok. Namun banyak teolog feminis yang menganggap bahwa pendekatan ini terlalu lunak untuk dapat membongkar sistem patriarkhal yang telah mendarah daging, karena itu mereka lebih condong menggunakan istilah teologi feminis, sekalipun tidak semuanya seragam dalam pendekatan maupun fokus utamanya. Pluralitas teologi feminis maupun pendekatan tersebut dapat saling memperkaya dan saling mengoreksi. 

Teologi Feminis membuat refleksi kritis atas budaya patriakhi dan membangun kesadaran baru dan penuh (=konsientisasi) dengan tujuan membebaskan kaum perempuan dari belenggu budaya yang menindasnya dan mengembangkan suatu hubungan baru di antara mitra yang sederajat sebagai sesama makhluk Allah dan saudara Yesus. Meskipun terdapat sejumlah teori sesuai dengan situasinya yang berlainan, mereka “semua setuju, yakni mencari dan membela martabat manusia serta kesetaraan semua perempuan dan laki-laki.”  Karena itu teologi feminis tertuju pada “suatu visi masa depan yang di dalamnya maksud Allah bagi ciptaan-Nya yang diperbarui akan tampak. Tatanan patriarchal Kitab Suci, tradisi gerejawi dan teologi sedemikian kebal, sehingga, untuk memberikan kepada perempuan tempat yang layak di dunia laki-laki, dibutuhkan iman yang utopis, yaitu iman yang menemui Allah dalam keakanan, suatu dorongan yang mengubah apa yang kini ada.”

Teolog feminis di Asia dan Afrika menghadapi tugas yang lebih sulit lagi. Sebab selain usaha menyingkirkan sikap patriarkhal dan androsentris, mereka juga harus mengatasitradisi Barat yang berpikir secara eksklusif (yaitu yang tidak benar harus dinyatakan salah) dan individualis untuk menemukan kembali paham inklusif menuju persekutuan yang pluralis (hidup dalam kepelbagaian). Mereka mengalami sendiri suatu tradisi yang pernah memperalat Alkitab – dalam pemahaman Barat – sebagai tolok ukur atas budaya dan agama di Asia, Afrika dan Amerika Latin.
Kwok Pui-Lan, seorang teolog perempuan dari Hongkong, mengingatkan kita, bahwa Alkitab dibawa oleh kaum kolonial. Sama seperti kaum Barat yang memerintah menurut polanya sendiri, demikian juga para penginjil memakai Alkitab untuk membenarkan diri danmenguasai orang Kristen baru menurut pola mereka. Agama, kitab suci atau tradisi lisan, warisan hikmat leluhur, kedudukan tinggi perempuan dalam kebudayaan tertentu, semuanya diremehkan atas nama suatu ”etnosentrisme” yang berinti pada tradisi umat Kristen Barat sebagai umat pilihan Allah.

Kaum feminis meninggalkan warisan pemikiran eksklusif yang menentukan kebudayaan Barat yang dominan itu dan mencari pemikiran inklusif, yang menerima kepelbagaian sebagai kekayaan dan dorongan untuk mencari kebenaran yang lebih dalam dan utuh. Menurut Kwok Pui-Lan, ”Alkitab itu terlalu penting untuk ditaklukkan pada satu pola tafsir yang tunggal saja.” Metode ilmiah (historis-kritis) hanya dapat dilihat sebagai salah satu cara, ”hasilnya harus diuji oleh umat beragama di setiap tempat, oleh mereka yang membaca ulang Alkitab setiap hari serta berusaha menyalin sejarah dan perjuangannya sendiri dengan cerita Alkitab.”

Sehubungan dengan hal tersebut, Elisabeth Schussler Fiorenza terus menerus memberikan tantangan kepada kita “… to challenge white Eropean and American feminist movements and articulations to abandon their cultural imperialism, white supremacy, and exclusivist definition of feminism in terms of middle-class white women’s experiences.” Hal ini mau menegaskan, bahwa kita tidak dapat menguniversalisasikan pengalaman perempuan, atau mencoba menggolongkan realitas perempuan ke dalam satu kata “tertindas,” atau “korban” atau “menderita,” karena dengan melakukan kedua hal tersebut di atas, itu berarti kita mengabaikan bahwa setiap teori tentang apa pun terbatas secara kultural dan historis, termasuk tentang perempuan. Schussler Fiorenza membedakan tiga aliran tafsiran yang berbeda : 1) aliran doktriner yang menempatkan nas dalam kerangka ajaran gereja, 2) aliran histories yang menempatkan nas dalam lingkungan sejarah zamannya, dan 3) aliran pastoral teologi yang bertanya apa yang hendak dikatakan Allah kini pada gereja atau orang Kristen dalam situasinya.

Kecenderungan yang sama menentukan sebagian besar tafsiran Alkitab, nas tertentu dipakai untuk membatasi kebebasan dan hak perempuan : a) Meskipun dominasi laki-laki atas perempuan dilihat sebagai akibat dosa dalam Kej. 3:16, ia sering dipandang sebagai ”hukum Allah.” b) Yesus memanggil dua belas orang laki-laki untuk tinggal bersama Dia dan untuk diutus memberitakan Kerajaan Allah (Mrk. 6:7). Berdasarkan fakta itu hanya mereka sajalah yang dianggap sebagai rasul (ditambah Paulus sebagai pengganti Yudas). Pada saat Yesus mengumpulkan para murid-Nya untuk Perjamuan Kudus (Mrk. 14:22-25) atau menghembuskan Roh dan memberikan kepada mereka hak untuk mengampuni dosa (Yoh. 20:19-23), maka tradisi memberi tempat hanya bagi kedua belas rasul tanpa memperhatikan bahwa perempuan-perempuan pun termasuk murid-murid Yesus, dan mereka hadir pada Perjamuan Kudus pertama. c) Ketika Paulus meminta agar perempuan berdiam diri dalam pertemuan jemaat (1 Kor. 14:34), kita lupa bahwa nasihat itu ditujukan pada istri yang dapat ”menanyakan suaminya di rumah” (ay. 35) dan tidak boleh membantah pandangan suami di depan umum. Terlebih-lebih diabaikan bahwa Paulus mengenal perempuan yang berdoa dan bernubuat di depan jemaat (11:5). Nasihat Paulus dipakai sebagai larangan, yakni perempuan tidak boleh memegang jabatan di gereja (kecuali dalam pelayanan diakonia-sosial dan dalam pembinaan anak-anak serta perempuan). Nas yang sama dipakai untuk menolak hak suara para perempuan dan menghindarkan mereka untuk memilih dan dipilih dalam masyarakat umum (sampai pertengahan abad ke-20 di Barat).
Perlu kita pahami bahwa Alkitab dibentuk oleh kaum laki-laki dalam budaya patriarkhal, sehingga banyak pengalaman dan pernyataan ditafsirkan oleh kaum laki-laki dari sudut pandang patriarkhal. Usaha penafsiran dari abad ke abad dan penentuan kitab-kitab mana yang diterima oleh umat (dalam ”kanon”) menunjang pemahaman patriarkhal dan meniadakan apa yang masih tersirat tentang pengalaman perempuan atau, saat ia masih terpelihara, ia ditafsirkan secara androsentris. Akibatnya Alkitab menjadi sumber yang membenarkan konsep patriarkhat dalam masyarakat Yahudi dan Kristen. Apakah pentingnya Alkitab itu bagi kita? Ia menentukan iman dan jati diri Kristen dan ”Kitab yang merupakan dasar keterikatan kita (pada tradisi-tradisi patriarkhal) serentak merupakan sumber pembebasan kita, yaitu sumber utama kritik feminis terhadap penindasan patriarkhal.

 Inti berita Alkitab dan iman Kristen membebaskan, menyembuhkan dan membangun manusia yang utuh menurut pola kasih dan keadilan Allah. Karena itu bagi kaum feminis, Alkitab adalah ”buku yang berbahaya karena sering digunakan untuk menasihati kaum bawahan dan kaum perempuan agar mereka tunduk pada tuan-tuannya serta mengagumkan peperangan serta memberkatinya.” (Letty M. Russel). Dengan kata lain ”di satu pihak Alkitab ditulis dalam bahasa androsentris, berasal dari budaya patriarkhal zaman dulu dan digunakan sepanjang sejarah untuk meremehkan kaum perempuan dan membenarkan penindasan terhadap mereka. Namun di pihak lain, kaum perempuan, laki-laki dan kaum yang terpinggirkan lainnya, mengalami Alkitab sebagai sumber inspirasi yang mendukung perjuangannya melawan penindasan. Jati dirim Kristen yang berakar dalam Alkitab sebagai pola dasar yang menentukannya itu harus senantiasa dibongkar dan dibangun kembali dalam rangka praktik global untuk membebaskan tidak hanya kaum perempuan tetapi juga semua orang yang kemanusiaannya diancam oleh masyarakat dan agama yang patriarkhal.”  (Schussler Fiorenza).

Oleh karena itu kita perlu melihat adanya realitas yang multi wajah (perspektif feminis yang beragam) ketika kita berbicara tentang budaya patriarkhi sebagai sistem yang membelenggu terciptanya realitas kesetaraan dalam relasi laki-laki dan perempuan, karena keberagaman setiap kelompok masyarakat dan budaya, karena tidak ada pengalaman perempuan yang tunggal atau berwajah sama.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar