Halaman

Selasa, 22 Juli 2014

"HOMO HOMINI LUPUS"



Menurut Thomas Hobbes, "Homo Homini Lupus," manusia adalah serigala bagi sesamanya. Hobbes melihat sisi gelap kehidupan manusia. Ada kecenderungan dalam diri manusia untuk berkuasa secara mutlak atas sesamanya. Hukum yang berlaku adalah siapa yang kuat, dialah yang menang. Tidak ada "murah hati," No mercy!  Mereka akan mengerahkan segala cara dan daya, bahkan menghalalkan segala cara guna memperoleh apa yang diinginkannya. Orang lain bagi mereka adalah "alat" atau "sarana" untuk mencapai tujuan atau target yang hendak dicapai. Sebab itu tidak ada belas kasih dan kemurahan hati.

Di dalam Alkitab kata "murah hati" dalam PL dipakai sebanyak 236 kali untuk menunjuk kepada Allah, dan 60 kali untuk menunjuk kepada manusia. Dalam PB digunakan 20 kali untuk Allah, dan hanya 7 kali untuk manusia. Salah satu kisah yang sangat populer untuk menggambarkan prinsip murah hati ini adalah Kisah orang Samaria yang murah hati [Lukas 10 : 25 – 37]. Kenyataan ini mau menunjukkan kepada kita bahwa murah hati itu adalah salah satu ciri kasih, dan salah satu sifat Tuhan. Hendaklah kamu murah hati, sama seperti Bapamu adalah murah hati (Lukas 6:36). Di dalam "murah hati" kepentingan sesama ditempatkan pada posisi pertama dan utama. Semua yang diberikan selalu yang terbaik, karena dilakukan sama seperti untuk diri sendiri. Apa yang menjadi kebutuhan sesama itulah yang diberikan. Sikap ini yang disebut sebagai prinsip altruistik. Sebab itu murah hati tidak identik dengan kedermawanan atau sikap dermawan. Kedermawanan cenderung menempatkan si penerima sebagai objek, dan tindakan dan sikap yang muncul adalah filantropik. Dalam Matius 5:7, Yesus mengatakan, "Berbahagialah orang yang murah hatinya, karena mereka akan beroleh kemurahan." Wujud yang paling utama dari sikap murah hati adalah memberi diri, seperti yang dilakukan oleh orang Samaria yang murah hati dalam Lukas 10:25-37.

Dalam perumpamaan tersebut, Yesus memperlihatkan bahwa bukan hanya benda atau uang yang orang Samaria itu berikan, tetapi juga diri dan hidup mereka. Sikap ini yang kemudian disebut sebagai pengurbanan, sacrifice, sacro factum atau perbuatan yang mulia. Dalam tindakan itu, mereka bersedia untuk mengambil risiko yang paling besar, memberikan nyawanya demi orang lain, bahkan musuh sekali pun! Inilah yang dimaksud dengan "murah hati." Dalam kehidupan keluarga, dengan murah hati  orangtua dapat lebih memahami apa yang menjadi pergumulan anak-anak mereka.  Tidak mudah menyalahkan, dan tidak asal menuntut. Orangtua juga dapat memberikan perhatian yang baik dan benar pada anak-anak mereka. Bukan sekadar karena sudah memberikan uang untuk makan dan sekolah, lalu semua beres. Seringkali anak-anak juga membutuhkan waktu untuk ada bersama dengan orangtua mereka. 

Memperlakukan setiap orang sesuai dengan harkat dan martabat mereka, siapa pun mereka, apa pun  latar belakang suku, ras, agama, golongan dan budaya mereka menjadi salah satu perwujudan dari kaidah kencana, "apa yang kamu kehendaki orang lain lakukan padamu, lakukanlah itu pada orang lain." Dengan murah hati, gereja akan menjadi berkat bagi banyak orang karena pelayanan kasih yang tepat guna dan memberdayakan. Tidak terjebak dalam bentuk pelayanan karitatif, tetapi pelayanan yang bersifat transformatif. Dengan murah hati, segala bentuk krisis akan teratasi, karena semua pihak menempatkan belas kasih dan kemurahan hati sebagai dasar pertimbangan dan pijakan dalam segala sesuatu. Bahkan dengan murah hati, gereja dapat menjamu dan merangkul orang-orang yang oleh karena satu dan lain hal "tersisihkan dan terbuang" dari sesamanya. Ah, kalau saja!

Tidak ada komentar:

Posting Komentar