Halaman

Senin, 25 Januari 2016




"DOA BAPA KAMI" (2)

Doa Bapa Kami atau yang dikenal dengan sebutan “The Pater Imon”, “Paster Noster” atau “Our Father” (English), atau "“Oratio Dominica” (Latin) yang berasal dari Kitab Suci Vulgata, karya Santo Hironimus (347-420 M), berbunyi:
Pater noster, qui es in caelis, 
sanctificetur nomen tuum. 
Adoeniai regnum tuum. 
Fiat oolunias tua, 
sicut in caelo et in terra. 
Panem nostrum quotidianum da nobis h6die. 
Et dimitte nobis debita nostra, 
sicut et nos dimittimus debit6ribus nostris. 
Et ne nos inducas in tentati6nem: 
sed li bera nos a malo. 
Amen.
 

Menurut versi  King James Version terjemahan dalam Matius 6:9-13
Our Father which art in heaven,
Hallowed be thy name. Thy kingdom come.
Thy will be done in earth, as it is in heaven.
Give us this day our daily bread. And forgive us our debts, as we forgive our debtors.
And lead us not into temptation, but deliver us from evil:
For thine is the kingdom, and the power, and the glory, for ever. Amen.

Terjemahan dalam Bahasa Indonesia,
Bapa kami yang di sorga,
Dikuduskanlah nama-Mu, datanglah Kerajaan-Mu,
jadilah kehendak-Mu di bumi seperti di sorga.
Berikanlah kami pada hari ini makanan kami yang secukupnya,
dan ampunilah kami akan kesalahan kami, seperti kami juga mengampuni orang yang bersalah kepada kami;
dan janganlah membawa kami ke dalam pencobaan,
tetapi lepaskanlah kami dari pada yang jahat.
(Karena Engkaulah yang empunya Kerajaan dan kuasa dan kemuliaan sampai selama-lamanya. Amin.)

Mungkin karena terlalu sering didoakan "luar kepala," keagungan dan keindahan "Doa Bapa Kami" sudah terabaikan oleh sebagian besar warga gereja sekarang ini. "Doa Bapa Kami" memang masih diucapkan dengan bibir, namun tidak lagi dihayati di dalam hati ((bnd. Yes 29:13; Mat 15:8; Mrk 7:6). Menurut informasi dari Didakhe (Ajaran Kedua Belas Rasul versi Gereja Roma Katolik), sejak abad pertama, Doa Bapa Kami sudah dianggap sebagai doa khusus bagi orang yang sudah dibaptis atau mengaku percaya (atau menjadi anggota gereja penuh). Konon, orang yang belum dibaptiskan tidak diijinkan untuk mengucapkan "Doa Bapa Kami." Mereka baru diperbolehkan, pertama kali untuk mendoakan doa tersebut sesudah mereka menerima Sakramen Baptisan Kudus, yakni pada saat mereka hendak menerima pelayanan meja  Perjamuan Kudus.  Sebab itu di kelas Katekisasi dan persiapan Baptisan Kudus/Sidi, para calon diwajibkan untuk menghafal Doa Bapa Kami, agar pada waktu dibaptiskan/mengaku percaya mereka sudah dapat mengucapkan doa tersebut dengan baik. Dengan menerima Sakramen Baptisan Kudus dan Mengaku Percaya/Sidi mereka sudah menjadi anggota gereja penuh, dan boleh mendoakan "Doa Bapa Kami" setiap hari.

Ada beberapa penjelasan tentang enam bagian paralel yang terdapat dalam "Doa Bapa Kami." Untuk dapat menghayati arti dan makna Doa Bapa Kami, penjelasan di bawah ini mungkin dapat menolong kita.

1.   "Bapa Kami yang ada di surga"
Sapaan "Bapa kami yang ada di surga" merupakan terjemahan Indonesia dari sapaan Latin "Pater noster qui es in caelis". Dalam bahasa Yunani, sapaan tersebut berbunyi " Pater hemon ho (ei) en tois ouranois ," yang berarti "Bapa kami yang (ada) di Surga",  tanpa kata "ei" atau "ada". Jika sapaan Indonesia memakai kata "ada" (mengikuti sapaan Latin yang memakai kata "es"), sapaan Yunani tidak memakai kata "ei." 

Dalam pengajaran-Nya kepada para murid, Yesus sering kali menyebut Allah sebagai "Bapamu yang di surga" (bdk Mat 5:16.45.48; 6:14.26.32; 7:11; 18:14) atau "Bapa-Ku yang di surga" (bdk Mat 7:21; 10:32.33; 12:50; 18:10.19.35) , sebab "Bapa" para murid dan "Bapa" Yesus adalah sama (bnd. Yoh 20:17), karena mereka hanya mempunyai satu "Bapa", yaitu "Dia yang di surga" (bnd. Mat 23:9). Dengan menyebut Allah sebagai "Bapa", relasi manusia dengan Allah telah ditingkatkan dari relasi antara "ciptaan" dan "Pencipia" menjadi relasi antara "Anak" dan "Bapa" (bdk Mrk 14:36; Rom 8:15; Gal 4:6). Para murid dapat mengenal "Bapa" dengan baik, karena Yesus telah memperkenalkan-Nya kepada mereka (bdk Yoh 1:18; 14:6-11).  Jadi dengan berseru: "Bapa kami yang di surga" (bdk Mat 6:9), para murid membangun relasi yang akrab dengan Allah, sehingga mereka dapat berdoa, tanpa takut untuk menyampaikan permohonan mereka kepada Allah. Untuk menumbuhkan semangat kebersamaan di antara para murid, dipakai kata "kami", bukan kata "aku," sebab Allah memang bukan Bapa untuk satu orang atau sekelompok orang saja, melainkan Bapa bagi semua orang (bnd. Mat 5:45).

2.   "Dikuduskanlah nama-Mu"
Dalam bahasa Latin permohonan tersebut berbunyi "Adveniat regnum tuum,"   atau  dalam bahasa Yunani,  "Hagiastheto to onoma sou, " yang berarti "Dikuduskanlan nama-Mu." Bagi bangsa Israel, nama bukan hanya sekedarsebutan, panggilan atau tanda pengenal; tetapi menyatakan sifat, karakter atau kepribadian yang memilikinya (bnd. 1 Sam 25:25). Jadi "menguduskan nama Allah" berarti memuliakan, membesarkan atau meninggikan Allah yang memerintah dengan keadilan, kebenaran dan kesetiaan-Nya. Para nabi sering mengungkapkan keinginan Allah untuk "menguduskan nama-Nya"    di tengah bangsa-bangsa (bnd. Yeh 36:23), khususnya di kalangan bangsa Israel (bnd. Yes 29:23). Sehubungan dengan hal tersebut, bangsa Israel harus berusaha untuk memelihara "kekudusan nama Allah" (bnd.   Im 18:21; 19:12; 21:6), dengan hidup  kudus sesuai dengan perintah Allah (bnd. Im 18:1-5;19:1-2; 20:7.26). Dalam konteks itulah, Yesus mengajak para murid-Nya untuk  "menguduskan nama Allah," dengan melakukan perbuatan-  perbuatan      baik di tengah-tengah orang banyak, supaya dengan melihat perbuatan- perbuatan baik tersebut, mereka pun akhirnya "memuliakan Bapa yang di surga" (bnd.  Mat 5:16). Jadi nama Allah dikuduskan pertama-tama dengan "perbuatan baik", bukan dengan "ucapan bibir" (bnd. Yes 29:13; Mat 15:8;   Mrk 7:6). Tidak cukup dengan berseru: "Kudus, kudus, kuduslah Tuhan!"  (bnd. Yes 6:3; Why 4:8), melainkan dengan berbuat baik dalam hidup sehari-hari (bnd.   Mat 7:21; 2 Tes 3:13; Yak 2:14).

3.   "Datanglah Kerajaan-Mu"
Dalam bahasa Yunani,  permohonan tersebut berbunyi " Eliheio he       basileiasou,"   yang berarti "Datanglah kerajaan-Mu." Menurut keyakinan bangsa Israel, "Tuhan adalah Raja untuk seterusnya dan selama-lamanyaa" (bnd. Mzm 10:16; 29:10; 146:10). Bukan hanya Raja atas bangsa Israel , melainkan Raja atas seluruh bumi (bnd. Mzm 47:3.8; Za 14:9. Jadi memohon agar "Kerajaan Allah datang"  berarti memohon supaya Allah segera menjadi Raja atas seluruh bumi, sehingga semua orang sujud menyembah Dia sebagai Raja semesta alam dengan berhiaskan kekudusan hidup (bnd. 1 Taw 16:29-31; Mzm 96:8-10). Jika Allah sudah meraja di atas bumi, permusuhan dan peperangan tidak akan ada lagi (Yes 9:4; 11:6-8). Seluruh bumi akan dipenuhi dengan damai sejahtera yang abadi dan tidak berkesudahan, (Yes 9:6a). Sebagai "Raja Damai" (bnd. Yes 9:5), Allah akan memerintah dengan keadilan, kebenaran, kejujuran dan kesetiaan (bdk Yes 9:6b; 11:4-5); sehingga tidak ada yang akan berbuat jahat atau yang berlaku busuk" sebab "seluruh bumi penuh dengan pengenalan akan Tuhan" (bnd. Yes 11:9). Dengan kedatangan Yesus untuk menyatakan   Allah di bumi ini ( Yoh 1:18), sesungguhnya "Kerajaan Surga (Allah) sudah dekat" (Mat 4:17; Mrk 1:15). Nubuat Nabi Yesaya tentang tahun rahmat Tuhan (Yes 61:1-2) telah mulai terpenuhi (bdk Luk 4:17-21), sebab di dalam Yesus, mulai terbit kebenaran, damai sejahtera dan sukacita oleh Roh kudus (bnd. Rom 14:17).

4.  "Jadilah kehendak-Mu" - di atas bumi  seperti di dalam surga" merupakan terjemahan Indonesia dari bahasa Latin "Fiat voluntas tua, sicut in caelo et in terra," yang secara harafiah berarti "Jadilah kehendak-Mu, seperti di dalam surga juga di atas bumi." Dalam bahasa Yunani , permohonan tersebut berbunyi " Genetheio to thelema sou, hos en ourano kai epi ges", yang secara harafiah berarti "Jadilah kehendakMu, seperti di dalam surga juga di atas bumi."  Perubahan urutan dalam terjemahan Indonesia yang menyebutkan bumi lebih dulu, baru kemudian surga, tidak mengubah arti dan maknanya tetap sama.

5.   "Berilah kami rezeki pada hari ini"
Dalam bahasa Yunani permohonan tersebut berbunyi "Ton arton hemon ton epiousion dos hemin semeron," dan dalam bahasa Latin "Panemnostrum quotidianum da nobis hodie," yang secara harafiah kedua-duanya berarti "Roti kami sehari-hari berilah kami hari ini." Terjemahan Indonesia mengganti kata "roti sehari-hari" dengan kata Arab "rezeki," yang berarti "makanan sehari-hari." Dengan pergantian kata ini, isi permohonan menjadi lebih terbuka. Makanan tidak hanya terbatas pada roti saja, tetapi juga makanan lainnya, sesuai dengan adat istiadat dan kebiasaan masing-masing orang.

6.   "Ampuni kesalahan kami" - seperti kami pun mengampuni yang bersalah kepada kami." Permohonan ini merupakan terjemahan Indonesia dari permohonan Latin "Dimiiie nobis debita nostra, sicut et nos dimittimus debitoribus nostris," yang secara harafiah berarti "Hapuskanlali bagi kami utang kami, seperti juga kami menghapuskan bagi mereka yang berhutang kepada kami." Dalam bahasa Yunani , permohonan tersebut berbunyi " Aphes hemin ta opheilemata hemon, hos kai heme is aphekamen to is opheiletais hemon, " yang secara harafiah berarti "Hapuskanlali bagi kami utang kami, seperti juga kami telah menghapuskan bagi pengutang-pengutang kami." Jadi terjemahan Indonesia "Ampunilah kesalahan kami, seperti kami pun mengampuni yang bersalah kepada kami" sudah merupakan suatu terjemahan bebas, berdasarkan pengertian bahasa Aram, yang menyamakan "utang' dengan "dosa" atau "kesalahan."  Menurut kepercayaan Israel, Tuhan adalah Allah yang Maha Pengasih dan Maha Penyayang, sehingga suka mengampuni kesalahan, pelanggaran dan dosa manusia (Kel 34:6-7; Bil 14:18; Neh 9:17; Mzm 78:38; 86:5; 103:3; Mikha 7:18). Sebagai anak-anak Allah, para murid dituntut untuk menjadi sempurna sama seperti Allah ("Karena itu haruslah kamu sempurna, sama seperti Bapamu yang di surga adalah sempurna," Mat 5:48). Mereka juga harus murah hati sarna seperti Allah ("Hendaklah kamu murah hati, sama seperti Bapamu adalah murah hati!," Luk 6:36). Tidak hanya terhadap teman, melainkan juga terhadap musuh (Mat 5:44; Luk 6:27-28.35). Dalam hal pengampunan, mereka harus bersikap seperti Allah yang sudi dan murah hati mengampuni dosa, tanpa memakai perhitungan (Mat 18:21-22; Luk 17:3-4). Apabila Allah rela mengampuni dosa mereka, maka seharusnya mereka juga rela mengampuni dosa orang lain (bnd. Mat 18:23-35). Kerelaan untuk mengampuni dosa sesama akan membuat Allah juga rela mengampuni dosa mereka ("Karena jikalau kamu mengampuni kesalahan orang, Bapamu yang di surga akan mengampuni kamu juga. Tetapi jikalau kamu tidak mengampuni orang, Bapamu juga tidak akan mengampuni kesalahanmu!," Mat 6:14-15; Mrk 11:25-26; Luk 6:37-38)

7.   "Jangan membawa kami ke dalam pencobaan"
Permohonan terakhir ini merupakan terjemahan Indonesia dari "Ne nos inducas in tentationem, sed libera nos a malo"  (Latin), yang secara harafiah berarti "Janganlah kami Kaubawa ke dalam pencobaan, tetapi bebaskanlah kami dari kejahatan." Dalam bahasa Yunani, permohonan tersebut berbunyi "Me eisenegkes hemas eis peirasmon, alla rusai hemas apo tou ponerou ," yang secara harafiah berarti "Janganlah Kaubawa kami ke dalam pencobaan, tetapi selamatkanlah kami dari kejahatan."  Permohonan agar tidak dibawa ke dalam     pencobaan ini sangat senada dengan doa malam orang Yahudi, yakni: "janganlah mengantar kakiku ke dalam kekuasaan dosa, dan janganlah   membawa saya ke dalam kekuasaan ketidakadilan, ke dalam kekuasaan pencobaan, dan ke dalam kekuasaan apa saja yang memalukan" Dengan doa malam ini, orang Yahudi memohon pedindungan dari segala jenis kejahatan, agar mereka tidak dikuasai oleh kejahatan tersebut. jadi permohonan "janganlah membawa kami ke dalam pencobaan" tidak meminta supaya dihindarkan dari pencobaan, tetapi supaya dilindungi dalam pencobaan , (bdk Mat 26:41; Mrk 14:38; Luk 22:40.46).

Pencobaan adalah ujian terhadap iman seseorang (bnd. Yak 1:2-3.12). Pelaku pencobaan bisa Allah sendiri (Kej 22:1-19), tetapi bisa juga Iblis dengan seizin Allah (bnd. Ayb 1:1-2:13). Meskipun demikian, sesungguhnya pencobaan tidak datang dari Allah atau Iblis, melainkan dari keinginan manusia sendiri (bnd. Yak 1:13-14). Dalam sejarah keimanan manusia, tidak banyak orang yang lulus ujian iman, seperti Abraham (Kej 22:1-19), Ayub (Ayb 1:1-2:13), Eleazar (2 Mak 6:18-31) dan Yesus (Mat 4:1-11; Mrk 1:12-;1.3; Luk 4:1-   13). Kebanyakan manusia sama seperti Adam dan Hawa, cenderung tergoda dan jatuh ke dalam dosa (Kej 3:1-7). Apabila berhadapan dengan tipu daya dan kesenangan duniawi, mereka mudah jatuh ke dalam pencobaan (bnd. Mat 13:22; Mrk 4:19; Luk 8:14; 1Tim 6:9-10). Demikian pula, jika mengalarni penindasan dan penganiayaan karena iman, mereka dengan gampang murtad. (bnd. Mat 13:21; Mrk 4:17; Luk 8:13). Sadar akan kelemahan manusiawi tersebut, Yesus menasihati para murid-Nya untuk berjaga-jaga dan berdoa, supaya mereka jangan jatuh ke dalam pencobaan, "Berjaga-jagalah dan berdoalah, supaya kamu jangan jatuh ke dalam pencobaan: roh memang penurut, tetapi daging lemah!" (bdk Mat 6:41; Mrk 14:38; Luk 22:40,46) Untuk mencegah kejatuhan tersebut. mereka perlu memohon kepada Allah: agar dikuatkan dalam  pencobaan dan dilepaskan dari kejahatan (bnd. Mat 6:13; Luk,11:4) .

8. "Karena Engkaulah yang empunya Kerajaan dan Kuasa dan Kemuliaan sampai selama-lamanya. Amin."
Doksologi (seruan pujian) kepada Allah ini tidak terdapat dalarn manuskrip (naskah) tertua Injil Matius, dan sama sekali tidak terdapat dalam semua manuskrip Injil Lukas. Doksologi ini pertama kali terdapat dalam Didakhe atau Ajaran Keduabelas Rasul, yang juga berasal dari abad pertama Masehi, yakni sekitar tahun 50-70 Masehi. Dalam 'doksologi' versi Didakhe, tidak disebutkan "kerajaan", hanya "kuasa" dan "kemulia-an" (bdk Did 8:2). Kata "kerajaan" baru ditambahkan kemudian oleh Konstitusi Apostolik (bdk KA 7,24,1). 
Menurut kebiasaan orang Yahudi, doa harus ditutup dengan suatu doksologi. Jadi dapat dipahami, jika doa "Bapa Kami" juga ditutup dengan suatu doksologi. Dalam Kitab Suci Perjanjian Lama, Allah memang sering dipuji sebagai yang empunya kerajaan (bdk. 1Taw 29:11; Mzm 22:29; Ob 21), kuasa (bdk Mzm     62:12; 68:35; Ayb 25:2) dan kemuliaan (bdkl Taw 29:12; Mzm 29:1; 96:7) untuk selama-lamanya. Jadi dengan mengucapkan doksologi tersebut, para murid menegaskan kembali harapannya agar kedaulatan Allah segera dipulihkan (Why 11:6; ,4:11; 5f~13). Doksologi sesudah doa "Bapa 'Kami" ini senada dengan doksologi yang diucapkan Daud, "Terpujilah Engkau, ya Tuhan, Allahnya bapa  kami Israel, dari selama-Iamanya sampai selama-lamanya. Ya Tuhan, punyamulah kebesaran dan kejayaan, kehormatan, kemasyhuran dan keagungan, ya, segala-galanya yang ada di langit dan di bumi! Ya Tuhan, punyamulah kerajaan dan Engkau yang tertinggi itu melebihi segala-galanya sebagai kepala. Sebab kekayaan dan kemuliaan berasal dari pada-Mu dan Engkaulah yang berkuasa atas segala-galanya; dalam tangan-Mulah kekuatan dan kejayaan; dalam tangan-Mulah kuasa membesarkan dan mengokohkan segala-galanya" (1 Taw 29:10-12).

Dengan penjelasan tersebut, diharapkan kita dapat menyelami setiap permohonan dalam Doa Bapa Kami, sehingga dapat mengucapkan/mendaraskannya dengan penuh penghayatan iman. Sebab doa yang baik adalah doa yang diucapkan dan dihayati dengan iman, bukan hanya "dengan bahasa roh," tetapi juga dengan "akal budi" (1 Kor. 14:15). Bukankah doa yang lahir dari iman, bila dengan yakin didoakan sangat besar kuasanya? (bnd. Yak. 5:15-16). Adakah doa yang lebih agung dan indah daripada doa "Bapa Kami"?!







"DOA BAPA KAMI" (1)

Doa "Bapa Kami" versi Injil Matius terdapat dalam Mat 6:5-15, di mana Yesus mengajarkan kepada murid-Nya, bagaimana seharusnya para murid berdoa. Yesus memberi nasehat kepada murid-Nya, dua hal penting sehubungan dengan doa.

Pertama, Ia menasehati para murid-Nya agar mereka "jangan berdoa seperti orang munafik," yang suka memamerkan doanya di hadapan orang banyak (bandingkan ayat 5). Untuk mencegah kemunafikan, para murid dianjurkan untuk berdoa do tempat yang tersmbunyi, yang jauh dari keramaian (bandungkan ayat 6).

Kedua, Yesus menasehati para murid-Nya agar di dalam berdoa, mereka "jangan bertele-tele seperti kebiasaan orang yang tidak mengenal Allah" (bandingkan ayat 7). Daripada bertele-tele, mereka lebih baik menyampaikan secara langsung apa yang mereka perlukan, sebab sebelum mereka meminta, sesungguhnya Allah telah mengetahuinya (bandingkan ayat 8). Sesudah menasehatkan dua hal tersebut, Yesus kemudian mengajarkan Doa Bapa Kami berikut ini:

"Bapa kami yang ada di surga: 
Dikuduskanlah namaMu, 
datanglah kerajaanMu, 
jadilah kehendakMu di bumi seperti di surga. 
Berikanlah kami pada hari ini makanan kami yang secukupnya 
dan ampunilah kami akan kesalahan kami, 
seperti kami juga mengampuni orang yang bersalah kepada kami; 
dan janganlah membawa kami ke dalam percobaan, 
tetapi lepaskanlah kami dari pada yang jahat." 
(Karena Engkaulah yang empunya kerajaan dan kuasa dan kemuliaan sampai selama-lamanva. Amin.)

Doa singkat ini dibuka dengan menyapa Allah sebagai "Bapa." Selanjutnya disampaikan enam permohonan yang tersusun secara paralel. Tiga permohonan dimaksudkan bagi "kepentingan Allah" dan tiga permohonan dimaksudkan bagi "keperluan manusia." Bagi kepentingan Allah, dimohonkan agar nama-Nya dikuduskan, kerajaan-Nya datang, dan kehendak-Nya terjadi (bandingkan ayat 9-10). Sedangkan bagi keperluan manusia, dimohonkan agar diberi makanan secukupnya, diampuni kesalahannya, dan dilepaskan dari yang jahat (bandingkan 11-13) .

Penjelasan lebih lanjut dari Doa Bapa Kami dapat kita temukan di dalam acara Pemahaman Alkitab, atau Kelas Katekisasi di gereja. 
Penggabungan Doa Bapa Kami dengan Doa Syafaat mungkin mengikuti contoh Ibadah pada Abad Pertengahan, dan baik Calvin mau pun Luther menempatkan doa ini sesudah kotbah. Sebab demikianlah kebiasaan gereja kuno.

Betapa pun indahnya Doa Bapa Kami ini, yang terpenting adalah bagaimana kita dapat menghayati setiap bagian yang diucapkan, bukan hanya sekadar menghafal tetapi sungguh-sungguh keluar dari dalam hati dan sungguh tergantung kepada-Nya.

 Disarikan dari berbagai sumber oleh Maryam Kurniawati D.Min.
Tangerang, 26 Januari 2016





Sabtu, 27 Juni 2015

KETIDAKPEDULIAN, TUMPULNYA HATI NURANI




Kepedulian VS Ketidakpedulian. Tumpulnya Hati Nurani
Oleh: Maryam Kurniawati D.Min


            Yue-Yue (seorang bocah perempuan berusia dua tahun) lepas dari pengawasan orang tuanya, menyeberang jalan di depan toko milik orang tuanya. Tiba-tiba sebuah mobil menabraknya. Ban depan melindas tubuhnya. Mobil itu berhenti sejenak, tetapi bukannya turun, si sopir malah terus menancap gas, dan tubuh Yue-yue yang nyangkut di ban belakang  terlindas untuk kedua kalinya di bagian perut. Yue-yue tergolek sekarat di pinggir jalan, dan tidak ada seorang pun yang memperdulikan keadaannya. Sampai seorang pemulung berhenti untuk menolong Yue-yue. Tubuh Yue-yue masih bergerak-gerak saat pemulung itu menyentuhnya. Ia menariknya ke pinggir jalan dan memanggil-manggil orang-orang. Akhirnya orang tua Yue-yue datang; menggendongnya untuk mencari pertolongan.  Pada saat itu terlihat ada kurang lebih 7 orang lalu-lalang tanpa rasa iba. Sungguh mengerikan! Bocah perempuan yang terlindas itu akhirnya meninggal dunia (21/10/2011), dan peristiwa tragis tabrak lari Yue-yue ini terekam oleh CCTV dan ditayangkan di situs Youtube.   


            Kasus tabrak lari Yue-yue adalah sebuah tragedi kemanusiaan, karena tumpulnya hati nurani manusia. Mengapa orang vang lewat atau yang ada di sekitar itu (bystanders) tidak mau menolong dan cenderung tidak peduli? Apa sebenarnya yang terjadi pada orang-orang ini? Di mana kah hati nurani mereka? Dalam Psikologi sosial gejala ini dinamakan Bystander Effect, atau dinamakan juga Genovese Syndrome.
Suatu malam, Kitty Genovese seorang karyawati di New York berteriak-teriak minta tolong karena dua kali ditusuk orang dengan pisau tetapi tidak seorang pun tetangga yang datang menolongnya. Penjahat itu lari tetapi beberapa menit kemudian kembali lagi, memperkosa dan menusuknya berkali-kali sampai mati. Kasus yang menimpa Kitty Genovese itu tidak hanya mendapat publikasi yang luas tapi kemudian menjadi bahan penelitian para psikolog yang kemudian menyebut fenomena sosial seperti itu sebagai The Genovese Syndrome atau Bystander Effect. Efek penonton atau Sindrom Genovese adalah kejadian dimana banyak orang tidak melakukan apa-apa sementara mereka menyaksikan kejahatan itu berlangsung di depan mata mereka.



            Dua psikolog Amerika John Darley dan Bibb Latane (1968) mengemukakan bahwa makin banyak kehadiran orang lain, seseorang menjadi merasa lebih kecil keinginannya untuk membantu seseorang, jika ia bukan satu-satunya orang yang melihat orang yang membutuhkan pertolongan tersebut. Boleh jadi mereka merasa dirinya tidak mampu untuk menolong dan bukan ahlinya. Bukankah masih banyak orang lain yang bisa menolong dia? Mengapa harus saya? Bukankah orang lain lebih mampu menolong daripada saya? Tampaknya kita semua tidak terbebas dari "Genovese Syndrome" atau "Bystander Effect" (Diffusion of Responsibility).  Ambil saja contohnya ketika kita melihat sebuah peristiwa yang membutuhkan pertolongan kita, tetapi kita mengabaikannya karena tahu masih banyak orang lain yang bisa menolong dia. Sebagian dari kita berpikir, jangan-jangan malah timbul masalah dengan pihak hukum atau polisi bila kita menolongnya. Sebab itu kita lebih senang mengambil sikap "cuci tangan, lepas tangan dan angkat tangan" bilamana terjadi sesuatu di sekitar kita. Dalam perspektif iman Kristiani, gejala "Genovese Syndrome" atau Bystander Effect (kecenderungan untuk tidak menolong) tidak dapat dibenarkan. Berapa banyak tragedi kemanusiaan (ketidakadilan, penindasan, KDRT, kekejaman dan kejahatan) yang terjadi di depan mata kita, dan kita memilih sikap, berdiam diri dan tidak peduli karena kita pikir, masih ada orang lain yang dapat membantunya???


            Mengambil sikap tidak peduli, tidak mau menolong dan berdiam diri, berarti kita membenarkan dan menyetujui kekejaman dan kejahatan yang terjadi, dan membiarkannya bertumbuh kembang dalam kehidupan kita. Mudah-mudahan Syndrome ini tidak menjangkiti komunitas gereja, keluarga dan masyarakat kita. Tanpa kita sadari, gaya hidup modern membuat kita lebih peduli kepada diri sendiri daripada peduli kepada orang lain. Kita lebih senang banyak berpikir dan berbicara mengenai diri kita sendiri dan apa yang menjadi tujuan serta kepentingan pribadi kita. Dalam Injil Markus 8:1-10 kita membaca kisah tentang Yesus memberi makan empat ribu orang. Kisah ini memang tidak seterkenal cerita Yesus memberi makan lima ribu orang (Matius 14:13-21).


            Ceritanya hampir mirip tetapi tentu agak berbeda meski lokasi kejadian sama-sama di seputar danau Galilea. Ketika Yesus hendak memberi makan empat ribu orang (yang dihitung hanya laki-laki dan belum termasuk perempuan dan anak-anak).
Disebutkan dalam Injil Markus 8:2 TuhanYesus berkata, “Hati-Ku tergerak oleh belas kasihan  kepada orang banyak ini." Karena itu Ia meminta murid-murid-Nya untuk mengumpulkan roti dan ikan yang ada pada mereka. Kemudian dengan  ucapan syukur Yesus membagi-bagikan roti dan ikan kepada murid-murid-Nya dan dilanjutkan kepada orang banyak. Mereka semua makan sampai kenyang bahkan tersisa tujuh bakul penuh. Mukjizat memberi makan empat ribu orang lebih berasal dari sedikit roti (tujuh ketul) dan beberapa ekor ikan kecil. Di sini mukjizat terjadi pada saat hati mereka tergerak oleh belas kasih, disertai dengan ucapan syukur yang tulus dan tangan yang terulur untuk memberi.

            KIta semua tahu bahwa mukjizat terjadi selalu atas prakarsa ilahi. Kita tidak akan pernah bisa menentukan terjadinya mukjizat. Hanya Tuhan lah yang menentukan. Namun ada alasan mengapa Tuhan mau melakukan mukjizat, yakni karena hati-Nya tergerak oleh belas kasihan. Mukjizat adalah sebuah anugerah, karena Tuhan sangat peduli kepada kita, dan mukjizat itu terjadi atas kesediaan manusia untuk turut serta dan terlibat di dalamnya. Para murid dan beberapa orang tergerak untuk menolong orang banyak yang kelaparan. Apa yang ada pada mereka diserahkan kepada Yesus. Tujuh ketul roti diberikan kepada Yesus. Rasanya mustahil memberi makan 4000 orang hanya dengan 7 ketul roti. Namun mereka melakukan bagian yang dapat mereka kerjakan dan sisanya, Yesus yang menyelesaikan bagian-Nya. Mukjizat terjadi, bukan ketika 4000 orang itu kenyang, tetapi lebih dari itu. Masih ada sisa yang tadinya tidak cukup. Dengan 7 ketul roti dan beberapa ekor ikan, lebih dari 4000 orang dikenyangkan dan masih banyak lebihnya.

            Hal ini mengingatkan kepada kita, bahwa mukjizat Tuhan terjadi ketika hati kita digerakkan oleh belas kasih, dan Yesus mau mengajar kita untuk menunjukkan belas kasih dan kepedulian kita terhadap semua orang, siapa pun mereka, dan apa pun status, jenis kelamin, suku, ras, agama dan budaya mereka. Dalam Injil Lukas 6:36 Yesus berkata, "Hendaklah kamu murah hati, sama seperti Bapamu adalah murah hati." Murah hati di sini secara harafiah boleh kita artikan sebagai hati yang dijual murah alias senantiasa memberi perhatian kepada siapapun tanpa pandang bulu. Dengan belas kasih dan kemurahan hati kita, mukjizat Tuhan akan terjadi dan banyak orang memperoleh berkatnya.


- Primum quaerite regnum Dei, et omnia adicientur vobis, dicit Dominus - Carilah dahulu Kerajaan Allah dan kebenaran-Nya, maka semuanya itu akan ditambahkan kepadamu (Matius 6:13)


Jumat, 12 Juni 2015

MENCEGAH TERJADINYA KDRT






MENCEGAH TERJADINYA KDRT
Oleh Maryam Kurniawati D.Min

Pengantar

Dulu kekerasan dalam Rumah Tangga (KDRT) dianggap mitos dan persoalan pribadi (private), kini menjadi fakta dan relita dalam kehidupan rumah tangga. Apakah itu KDRT? KDRT adalah tindak kekerasan yang dilakukan dalam rumah tangga, yang berakibat timbulnya kesengsaraan atau penderitaan secara fisik, seksual, dan psikologis. Contohnya, suami mengancam, memaksa dan menyerang istri; Orangtua memukuli anak; Siswa membully temannya di sekolah (verbal-non verbal). Kasus KDRT terjadi, karena penyelesaian masalah dilakukan dengan menyerang, memaksa, mengancam atau melakukan kekerasan fisik (Bnd. Pasal 1 UUD No. 23 Tahun 2004). Sebagian besar korban KDRT adalah kaum perempuan dan pelakunya adalah suami. Pelaku atau korban KDRT adalah orang yang mempunyai hubungan darah, perkawinan, pengasuhan, perwalian dengan suami, dan anak bahkan satpam, dan pembantu rumah tangga.



Empat Bentuk KDRT
Kekerasan Ekonomi merupakan upaya sengaja, yang menjadikan korban bergantung atau tidak berdaya secara ekonomi atau tidak terpenuhi kebutuhan dasarnya. Contohnya, Suami tidak memberi nafkah kepada istri, atau orangtua menghukum anak dengan tidak memberi uang saku/uang bulanan

Kekerasan Seksual. Melakukan kontak fisik, seperti meraba, menyentuh organ seksual, mencium secara paksa, merangkul serta perbuatan lainnya. Pemaksaan hubungan seksual, tanpa persetujuan atau pada saat korban tidak menghendaki.

Pelecehan Seksual Secara Verbal mewujud dalam bentuk komentar atau gurauan porno, siulan, ejekan dan julukan dengan ekspresi wajah, gerakan tubuh  atau pun perbuatan lainnya yang bersifat menghina atau melecehkan korban.

Kekerasan Psikis merupakan Tindakan manipulasi/eksploitasi (ancaman, penghinaan, isolasi, pelecehan) yang mengakibatkan penderitaan psikis berat seperti gangguan tidur, makan, ketergantungan obat, depresi, stress yang berkepanjangan, gangguan jiwa dan bunuh diri.

Kekerasan Fisik mewujud dalam  bentuk Menampar, menjambak, mendorong, dan perbuatan lainnya yang mengakibatkan cidera berat/ringan (cacat, lumpuh dsb), trauma (histeria, gangguan jiwa), gugurnya kandungan, dan kematian korban.




Kasus Valerie VS Tony
Pada malam pertunangan kami, Troy menampar saya dengan sangat keras sampai saya memar selama seminggu. Dia memohon-mohon maaf dan berjanji tidak akan mengulanginya lagi. Saya dihantui rasa takut. Kadang saya harus kabur dari rumah sampai Troy tenang. Meski pukulannya menyakitkan, saya merasa caci makinya lebih sulit ditanggung daripada kekerasan fisik (Valerie)

Apa pun bisa bikin saya marah - makanan yang belum siap, misalnya. Pernah, saya menghantam Valerie dengan pistol. Suatu kali, saya memukuli dia habis-habisan sampai saya kira dia sudah mati. Lalu, saya coba menakut-nakuti dia dengan mengancam akan membunuh putra kami sambil menaruh pisau di leher putra kami (Tony)

Penyebab KDRT 
1. Masalah ekonomi rumah tangga, kemiskinan
2. Budaya yang menempatkan posisi laki-laki sebagai tuan atau majikan, dan perempuan sebagai hamba atau pelayan
3.  Pola asuh dan didikan keluarga yang menghalalkan kekerasan dalam segala bentuknya. Seorang anak yang dididik dan dibesarkan dengan kekerasan, biasanya akan bertumbuh menjadi orang dewasa, yang menghalalkan kekerasan sebagai jalan keluar dari setiap permasalahan yang dihadapinya. Di sini kita melihat "korban" berubah "menjadi pelaku"
4. Ajaran agama yang dipahami secara keliru (Misalnya: Hai istri, tunduklah kepada suamimu, seperti kepada Tuhan)

Tony
Sejak kecil saya tumbuh di lingkungan yang penuh kekerasan. Ayah sering memukuli Ibu di depan saya dan saudara-saudara saya. Setelah ia meninggalkan kami, Ibu tinggal dengan pria lain, dan pria itu juga memukuli dia. Pria itu juga memerkosa kakak perempuan saya—dan saya. Akibatnya, ia dijebloskan ke penjara… 



Bagaimana mencegah KDRT?
Pasal 1 UU Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga (UU PKDRT), memberi perlindungan, rasa aman dan bantuan hukum terhadap korban serta menindak pelakunya.

Apa pun alasannya, Kekerasan bukanlah gaya hidup dan cara menyelesaikan masalah dalam Keluarga. Setiap bentuk dan tindak kekerasan yang dilakukan, sekalipun bertujuan baik adalah melawan kehendak Tuhan. “Tuhan menguji orang benar dan orang fasik, dan ia membenci orang yang mencintai kekerasan” (Mzm. 11:5)

Dalam perspektif saya, rumah tangga ataupun keluarga adalah suatu kehidupan yang dibentuk dan diprakarsai oleh Allah. Kita yakin Allah yang mempersatukan manusia didalam kehidupan rumah tangga, dan  tidak ada satu pun aspek pandangan dalam Alkitab, bahkan dalam pandangan Paulus yang menyetujui tentang tindak kekerasan dalam rumah tangga.
Bagaimana pun juga Tuhan adalah kepala dari rumah tangga itu sebab itu juga apapun yang terjadi didalam rumah tangga itu harus seturut dan sesuai dengan kehendak Tuhan.
Abigail adalah perempuan bijaksana yang menikah dengan Nabal, seorang suami yang memiliki karakter bebal. Nabal digambarkan sebagai laki-laki yang kaya raya, namun kasar dan jahat serta tidak menghargai isterinya. Abigail yang bijaksana menunjukkan komitmen dan kesetiaannya terhadap rumah tangganya (1 Samuel 25).

Hidup sebagai manusia baru dan anak-anak terang seharusnya tidak menjadikan kekerasan dalam segala bentuknya sebagai jalan keluar dari setiap permasalahan yang dihadapi,apalagi membenarkannya! Keluarga, dan rumah tangga merupakan tempat pembelajaran dalam membangun relasi hubungan interpersonal, dan kasih adalah cara yang paling ampuh dalam menyelesaikan setiap permasalahan, termasuk juga didalamnya masalah rumah tangga. Sebab itu  kekerasan bukanlah jalan menyelesaikan permasalahan tetapi hal itu akan menambah masalah. Keluarga/rumah tangga seharusnya menjadi tempat yang dapat memberikan rasa aman dan perlindungan, sehingga setiap anggota keluarga merasa sungguh-sungguh dikasihi dan dicintai.

Bagaimana sikap kita terhadap KDRT dalam segala bentuknya? Pertama, kita harus menyatakan secara tegas, bahwa KDRT dalam segala bentuknya adalah dosa atau berlawanan dengan kehendak Allah. Kedua, kita dapat membentuk Tim Advokasi guna menangani masalah KDRT. Ketiga, membentuk komunitas anti kekerasan yang memulihkan dan menyembuhkan di lingkungan gereja dan masyarakat. Keempat, melakukan sosialisasi  keadilan  gender  melalui  pelatihan,  studi/penelaahan, Alkitab,  penerbitan  modul  dan  audio-visual, serta  mimbar  gereja. Lima,  membentuk jejaring pendamping  perempuan,  perkumpulan perempuan,  dan  organisasi  massa  perempuan (=women fellowship) sebagai  strategi penghapusan kekerasan yang holistik. 


"Whatever you are, be a good one" (Abraham Lincoln)

Selasa, 02 Juni 2015

QUO VADIS SISTEM PENDIDIKAN DI INDONESIA


QUO VADIS SISTEM PENDIDIKAN DI INDONESIA
Oleh: Maryam Kurniawati D.Min

Sistem pendidikan di Finlandia merupakan salah satu sistem pendidikan yang terbaik di dunia.[1] Hal ini terbukti dengan nilai yang baik yang selalu dicetak peserta didik Finlandia dalam Program Penilaian Peserta didik International untuk mata pelajaran membaca, matematika dan ilmu pengetahuan alam. Jutaan orang tua di seluruh dunia mencoba untuk mencari tahu sistem pendidikan yang lebih baik untuk anak-anak mereka. Menurut Pasi Schelberg, akademisi Finlandia dan dosen tamu di Universitas Harvard, ada tiga hal yang membedakan sistem pendidikan di Finlandia dengan Amerika Serikat mau pun negara lain (termasuk Indonesia).[2]

Pertama, Finlandia telah membangun sistem sekolah yang mendukung pemerataan pendidikan bagi semua anak. "Pendidikan anak usia dini bagi semua anak, difokuskan agar sesuai dengan anak-anak berkebutuhan khusus, serta kurikulum mereka lebih mengutamakan kemampuan seluruh anak dibandingkan hanya menitikberatkan prestasi," kata Schelberg.

Kedua, penguatan kerja sama antar guru. "Rata-rata beban mengajar guru SMP di Finlandia setengah kali lebih sedikit dibandingkan beban mengajar guru di Amerika Serikat, sehingga guru-guru punya waktu untuk berdiskusi dan berbagi ide untuk meningkatkan kualitas mengajar," ujar Schelberg. Tidak heran bila sistem pendidikan di Finlandia adalah sistem pendidikan yang diimpikan banyak guru. Di Finlandia, profesi sebagai guru adalah profesi yang paling bergengsi serta dipercaya oleh pihak berwenang.

Ketiga, sistem belajar sambil bermain yang tepat guna terbukti ampuh untuk meningkatkan kemampuan para peserta didik di Finlandia. Ambil saja contohnya, semua sekolah di Finlandia menerapkan waktu istirahat selama 15 menit setiap kali mata pelajaran berganti. Waktu belajar di sekolah Finlandia juga lebih pendek dibandingkan dengan waktu sekolah di Amerika Serikat. Selain itu, semua sekolah dasar di negara itu memberikan beban pekerjaan rumah seminim mungkin agar peserta didik memiliki waktu untuk mengembangkan hobi dan bermain dengan teman-teman mereka ketika jam sekolah usai. Berbeda halnya dengan sekolah dasar di Amerika Serikat (dan juga Indonesia), yang memberikan banyak pekerjaan rumah agar peserta didik belajar di rumah. "Edukasi di negara lain hanya mementingkan ujian dan nilai. Sekolah swasta juga dianggap lebih baik dari pada sekolah negeri. Ini tidak terjadi di Finlandia," kata Schelberg. Hasil Program Penilaian Peserta didik International tahun 2012 menunjukkan Finlandia menduduki peringkat ketiga setelah Korea dan Jepang untuk mata pelajaran membaca, matematika dan sains.[3]

Bagaimana dengan sistem pendidikan di Indonesia? Indonesia adalah sebuah negara kepulauan terbesar di dunia, yang terbentang dari Sabang hingga Merauke, dengan jumlah penduduk terbesar keempat di dunia. Di Indonesia, Sumber daya Manusia (SDM) merupakan salah satu faktor kunci dalam pembangunan negara dan bangsa. Harus diakui sistem pendidikan Indonesia selama ini belum didukung oleh SDM yang berkualitas. Rendahnya kualitas SDM Indonesia terkait dengan faktor pendidikan yang belum sepenuhnya mendukung pembentukan kepribadian peserta didik sebagaimana tujuan Pendidikan Nasional "membentuk manusia yang beriman daan berwatak mulia kepada Tuhan Yang Maha Esa" (UU No. 20 Tahun 2003 tentang Sisdiknas, pasal 4 ayat 1).

Ketidakmampuan sistem pendidikan di Indonesia untuk menciptakan SDM yang berkualitas disebabkan karena sistem pendidikan kita yang masih berorientasi pada pengetahuan (aspek kognitif), bukan berdasarkan aspek afektif dan motoris (penghayatan dan pengalaman) nilai-nilai yang luhur dan mulia. Oleh karena itu menurut saya, untuk mengingkatkan kualitas SDM, langkah pertama yang harus dilakukan, adalah mengubah sistem sistem pendidikan di Indonesia dari "model menabung" (banking concept of education) menjadi "model hadap masalah" (problem posing method).[4]

Dalam "model menabung," proses belajar di dalam kelas berlangsung satu arah, yaitu mengajar dan menasehati. Guru diyakini memiliki banyak sekali pengetahuan, yang kemudian dibagikan kepada peserta didik. Metode manabung ini membuat peserta didik bersikap pasif, dan tidak mampu berefleksi kritis terhadap dunia yang tidak adil dan berusaha mengubahnya. Sedangkan dengan "model hadap masalah," peserta didik menjadi peserta aktif dan kritis terhadap realitas kehidupan yang mereka hadapi. Guru menjadi "rekan," "mitra yang sejajar"  yang menyampaikan materi kepada peserta didik untuk dipertimbangkan, sehingga peserta didik dan guru saling belajar satu sama lain melalui dialog dan diskusi, sehingga "pengetahuan" tidak menjadi monopoli guru. Melalui "model hadap masalah," peserta didik belajar untuk bertanya secara kritis tentang kenyataan hidup yang mereka hadapi dan mencari cara alternatif untuk mengubahnya.[5]

Hingga saat ini, Kurikulum di Indonesia telah mengalami pergantian beberapa kali hingga pada saat ini kurikulum yang bertahan adalah Kurkulum Tingkat Satuan Pendidikan. Kurikulum ini disinyalir sebagai kurikulum yang paling baku diterapkan di Indonesia. Ketika Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) digulirkan, banyak pihak yang merasa senang bahwa sekolah mendapatkan kesempatan untuk menentukan sendiri arah atau model pendidikan disekolahnya. Namun, kemudian harapan itu sirna kembali ketika ternyata masih ada ujian nasional atau UAN yang membuat model pendidikan yang diberikan sekolah harus kembali lagi seragam. Tak terbayangkan memang ketika KTSP ini harus dilakukan disekolah-sekolah swasta dan sekolah-sekolah negeri yang satu kelas muridnya bisa sampai 40-50 orang, sementara gurunya hanya satu orang. Sungguh bagai punguk merindukan bulan!

Selain di Finlandia, Indonesia juga bisa belajar dari negara-negara lain yang memiliki sistem pendidikan yang sangat bagus. Menurut saya, kita harus bertindak dari sekarang, kita bisa belajar dari sistem yang diterapkan di Finlandia. Selain itu, dalam hal proses pembelajaran peserta didik tidak boleh dipaksa untuk mempelajari pelajaran yang tidak mereka sukai, setiap peserta didik memiliki kelebihan tersendiri di bidang tertentu. Kita tidak bisa memaksakan semua peserta didik harus suka belajar matematika, karena ada peserta didik yang tidak memiliki keahlian sama sekali di bidang matematika, akan tetapi orang tersebut memiliki keahlian di bidang seni misalnya. Oleh karena itu, sistem pendidikan yang selama ini hanya melakukan pembagian jurusan ketika SMA, mungkin mulai sekarang, sistem pembagian jurusan itu sudah dilakukan di bangku SMP (Sekolah Menengah Pertama). Di sini, peserta didik bebas menentukan kelas jurusan apa yang ingin mereka masuki sesuai dengan minat dan bakatnya. Dengan begitu, saya sangat yakin bahwa peserta didik akan belajar dengan santai serta peserta didik tidak akan mengalami yang namanya stres Karena bidang yang mereka pilih adalah bidang yang mereka memang sukai, mereka pilih tanpa ada paksaan dari siapapun.


Pendidikan di Indonesia seharusnya memang seperti itu, kita mengarahkan setiap peserta didik untuk focus ke bidangnya masing-masing, sehingga dengan begitu, nantinya kita akan lahirkan para pelajar yang ahli di bidangnya masing-masing. Untuk apa kita memaksa seseorang untuk belajar sesuatu yang tidak dia inginkan, hal tersebut sama saja kita membunuh kreativitas peserta didik tersebut, serta secara perlahan kita akan membuatnya menjadi gila. Selain itu, untuk apa kita mempelajari banyak hal kalau ternyata ilmu yang kita dapatkan mengenai pelajaran tersebut hanya kulitnya saja, tanpa kita mempelajari secara mendalam ilmu yang kita pilih. Akan tetapi, ketika kita sudah bagi dari awal, maka kita akan focus ke bidang kita masing-masing untuk bukan hanya sekedar mempelajari kulitnya, akan tetapi kita akan bisa memahami sampai isi terdalamnya. Sistem seperti inilah yang banyak diterapkan di negara-negara maju seperti Amerika dan China. Mereka memang mempersiapkan masyarakatnya untuk dididik di satu bidang, yang nantinya diharapkan orang tersebut akan menjadi orang yang ahli di bidangnya yang dapat memberikan kontribusi untuk bangsa dan negaranya. Tidak ada kemustahilan di dunia ini, dalam hal ini, saya secara pribadi sangat mengharapkan Indonesia dapat belajar dari pengalaman Finlandia tersebut serta negara-negara maju lainnya khususnya dalam bidang pendidikan.




                [1] Armanda Puspita Sari, "Mengapa Sekolah Finlandia Terbaik di Dunia?" (http://www.cnnindonesia.com/internasional/20141120051207-134-12638/mengapa-sekolah-finlandia-terbaik-di-dunia/ diunduh pada tanggal 28 Mei 2015)
                [2] Ibid.
[3] Ibid
[4] Paulo Freire, Pedagogy of the Oppressed  (New York: A Continum Book The Seabury Press, 1970),   57-58.
[5] Ada 3 tahapan kesadaran sosial manusia, yaitu magis, naïf dan kritis. Pada tahap kesadaran magis, seseorang tidak mampu menemukan kaitan antara ketidakadilan sosial, penindasan dan kemiskinan dengan struktur sosial, ekonomi dan budaya yang mengkondisikannya. Kemiskinan diterima sebagai kodrat yang tidak bisa diubah. Kesadaran naïf menyalahkan manusia sebagai sumber kemiskinan, keterbelakangan, dan ketidakberdayaan. Tahap kesadaran kritis melihat struktur politik, sosial, ekonomi dan budaya sebagai akar penindasan, kemiskinan dan keterbelakangan. Pendidikan untuk Pembebasan memfasilitasi pesertadidik untuk bergerak dari tahap kesadaran magis dan naïf menuju kesadaran kritis agar bisa “membaca,” memahami dan memetakan situasi struktur sosial, politik, ekonomi dan budaya yang manipulatif dan menawarkan candu. Ibid, 128-129.