Halaman

Jumat, 24 April 2015

"Kuasa Media" dan Dampaknya pada Kekerasan Terhadap Perempuan



"Kuasa Media" dan Dampaknya pada Kekerasan Terhadap Perempuan
Oleh: Maryam Kurniawati

Kuasa dalam kamus bahasa Indonesia diartikan sebagai “seseorang yang memiliki kemampuan untuk mengatur, mempengaruhi.” Apakah memang demikian kuasa itu? Seorang filsuf terkenal, Michel Foucoult membicarakan soal bahasa dan media. Siapa yang mengira bahwa BAHASA ternyata juga memiliki makna KUASA? Michel Foucault, menjelaskan bagaimana bahasa menjadi alat kuasa karena dilatarbelakangi oleh motif-motif tertentu dan dengan demikian akan menjadi mungkin memproduksi teks-teks tertentu. “Produksi kekuasaan” melalui bahasa banyak dilakukan media melalui nilai-nilai yang disampaikan. Bahasa kuasa tersebut bukan dilakukan oleh seseorang, segelintir orang, melainkan secara tidak sadar terbawa oleh budaya.

Kuasa tersebut dapat kita lihat dalam pengertian tentang media massa. Media massa mengandung pesan-pesan yang telah dibangun, diciptakan dan dikonstruksikan yang kemudian ditujukan untuk pembaca, pendengar, penonton. Kuasa dalam media yang dimaksud Foucoult adalah bukan dalam bentuk “kemampuan atau wewenang”, melainkan strategi. Iklan misalnya, adalah salah satu strategi bagaimana “menyebarkan kuasa (strategi)” tentang sebuah normalisasi tubuh dan peran perempuan untuk kepentingan jualan, bahwa sesuatu yang normal (bukan lagi ideal) pada perempuan adalah bertubuh langsing, berkulit putih, berambut lurus, dan peran yang normal pada perempuan adalah di rumah, karena itu banyak iklan peralatan rumah tangga, bumbu masak, peralatan masak dan mencuci, diperankan oleh perempuan. Hal-hal tersebut dianggap yang normal atau standard. Bila perempuan tidak ditampilkan dalam tubuh dan peran-peran tersebut, maka menjadi dianggap tidak normal. Dalam banyak pemberitaan di surat kabar maupun online misalnya, ketika kasus yang diberitakan menyangkut perempuan (terutama tentang kekerasan seksual), bahasa yang digunakan seringkali mengandung kekerasan. Misalnya kata janda, perawan, bertubuh semok (seksi), berpakaian minim, anak baru gede, dan pelabelan lainnya yang ditambahkan oleh jurnalis dalam menyajikan kasus perkosaan, agar menarik dibaca. Penyajian tersebut tentu saja menambah pedih bagi korban, alih-alih pembaca berempati pada peristiwa tersebut, malah menjadikannya bacaan hiburan. Demikian pula dalam liputan tentang prostitusi di media televisi, atau ketika ada penggebrekan, kamera lebih banyak menyorot pada pekerja seks yang berlarian ketakutan, dan diangkut ramai-ramai oleh petugas dan mereka berusaha menutupi wajahnya karena malu. Mungkin kita tidak pernah menyadari bahwa iklan-iklan, program talkshow, berita, bacaan yang memelihara nilai-nilai stereotipe sesungguhnya menumbuhkan bahkan berdampak kekerasan terhadap terhadap perempuan.

Pada tanggal 4-15 September 1995, sebuah Konferensi tingkat Dunia tentang Perempuan ke IV telah terselenggara di Beijing, China. Konferensi yang bertema: Persamaan, Pembangunan, Perdamaian ini telah menghasilkan sejumlah rekomendasi yang harus dilaksanakan oleh negara-negara anggota PBB (termasuk Indonesia) dalam upaya meningkatkan akses dan kontrol kaum perempuan atas sumber daya ekonomi, politik, sosial dan budaya. Seluruh rekomendasi dan hasil konferensi tertuang dalam Deklarasi Beijing dan Landasan Aksi (Beijing Declaration and Platform for Action). Terdapat beberapa rumusan strategis yang harus dicapai oleh setiap Negara, diantaranya adalah tentang “Perempuan dan Media Massa” yang menekankan: 1) Meningkatkan partisipasi dan akses perempuan untuk mengekspresikan dan mengambil keputusan dalam dan melalui media dan teknologi komunikasi baru; 2) Mempromosikan gambaran perempuan yang seimbang dan tanpa stereotipe dalam media. Persoalannya adalah, apakah kita akan menelan bulat-bulat pesan yang memagari atau mensubordinasikan perempuan yang disampaikan oleh media tersebut? Salah satu cara untuk keluar dari "Kuasa Media" adalah perlu “melek” atau kritis pada teks-teks yang disampaikan karena begitu banyaknya stereotipe, dan mitos yang disebarkan. Mereka boleh menjualnya, tetapi kita berada dalam posisi yang seharusnya tidak dirugikan untuk membayar, membaca atau menontonnya.


(Sumber: Diadaptasi dari Media dan Kuasa. Dampaknya pada Kekerasan terhadap Perempuan, yang dituliskan oleh Mariana Amiruddin)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar