Halaman

Kamis, 30 April 2015

REVITALISASI DAN REKONSEPTUALISASI PERAN SUAMI

REVITALISASI DAN REKONSEPTUALISASI PERAN SUAMI :
MEREKONSTRUKSI BUDAYA PATRIARHI
Pdt. Maryam Kurniawati Tjandra Kusuma





Pendahuluan
Di dalam kehidupan sehari-hari, peran dan fungsi perempuan kerapkali "terpinggirkan" oleh budaya dan tradisi. Dalam kepemimpinan sebuah organisasi misalnya, biasanya laki-laki lebih dominan, serta mengambil peran untuk mengambil keputusan dan menentukan kebijakan. Sedangkan perempuan, ditempatkan pada posisi yang kurang strategis, seperti misalnya di bagian administrasi atau keuangan (sebagai Bendahara, atau Pembukuan) serta pengadaan konsumsi. Tidak heran bila sering terjadi tindak kekerasan terhadap perempuan, baik secara fisik, psikis, mental mau pun spiritual baik secara perseorangan mau pun dalam komunitas perempuan.

Dalam budaya patriarkhi (pola atau tatanan masyarakat yang ditentukan oleh laki-laki," sikap dominan suami terhadap istri pada umumnya dibenarkan oleh paham kodrat, sebab kodrat suami (sebagai laki-laki) diyakini kuat, pemberani, rasional, produktif dan konseptual. Sedangkan kodrat istri, sebagai perempuan adalah lemah lembut, penakut, tidak mandiri, dan reproduktif. Sebab itu biasanya perempuan lebih suka melayani dan dipimpin. Peran dan fungsi serta tempat suami (dan atau laki-laki) adalah di area publik (seperti bekerja, mencari nafkah), sementara istri di ruang domestik (di rumah dan sekitarnya).

Tidak hanya itu saja. Pengambilan keputusan dalam masalah-masalah besar seperti membeli rumah, pengelolaan saham atau keuangan keluarga, ada di dalam otoritas suami karena ia adalah sumber nafkah dan kepala keluarga sehingga seorang suami memiliki kekuasaan penuh atas istri dan anak-anaknya. Hal-hal yang berkaitan pendidikan anak dan urusan rumah tangga lainnya, dianggap tugas dan tanggung jawab istri karena kehidupan seorang istri atau perempuan adalah berada dalam kekuasaan ayahnya (ketika ia belum menikah), dalam kekuasaan suami (ketika ia menikah), dan dalam kekuasaan anak laki-laki (ketika ia lanjut usia).

Tissa Balasuriya dalam bukunya Teologi Ziarah (2004) mengatakan, sikap diskriminasi terhadap istri dan atau perempuan terdapat dalam banyak masyarakat Asia (termasuk di Indonesia). Dalam kenyataannya, para suami sering berlaku kasar dan tidak adil terhadap istri mereka, sekalipun mereka menaruh sikap hormat terhadap perempuan dan ibunya sendiri. Hal ini disebabkan karena sejak lahir, anak perempuan diperlakukan secara berbeda, tidak diinginkan dan kurang diasuh, sedangkan anak laki-laki selalu diperlakukan secara istimewa, disambut dengan gembira dan selalu diutamakan oleh keluarganya.

Sepanjang hidupnya kaum perempuan diatur sedemikian rupa agar cocok dengan peran rumah tangga yang disediakan bagi mereka. Mereka tidak diizinkan untuk mengatur langkahnya sendiri dan mengambil keputusan. Perasaan takut senantiasa ditanamkan. Sebab itu secara piskologis dan fisik, mereka menjadi sangat bergantung pada kaum laki-laki. Menjelang akil-balik, para gadis didesak agar segara menikah dan ”berumah-tangga" agar para orangtua terbebas dari tanggung jawab untuk mengasuh anak  gadisnya. Setelah berumah-tangga, maka tempat perempuan adalah di dalam rumah, menjadi alat prokreasi untuk melahirkan anak, serta memelihara suami dan keluarganya. Mereka diharuskan untuk memilih peran "bergantung sepenuhnya” kepada suaminya,  serta menjalankan peran dan fungsi sebagai ibu dan pengasuh, yang harus memperlihatkan perasaan keibuannya, sabar, lemah-lembut dan hangat kepada suami dan anak-anaknya.

Pergulatan Perempuan : Mencari Identitas Di Tengah Budaya
Erni adalah seorang notaris PPAT lulusan sebuah universitas negeri ternama di Depok. Ia berusia 59 tahun. Erni dilahirkan sebagai seorang Tionghoa peranakan generasi keempat. Ayahnya adalah seorang kepala sekolah di sebuah sekolah negeri di Sukabumi. Ibunya adalah seorang guru di sekolah yang sama. Sebagai seorang anak dengan latar keluarga pendidik, Erni tidak ingin mengecewakan orangtuanya dalam menempuh pendidikan. Ia berusaha keras untuk menjadi siswa yang terbaik di setiap jenjang pendidikan yang ia tempuh. Ia harus selalu membuktikan bahwa ia adalah seorang anak kepala sekolah yang berprestasi.
Sejak di SMU, ia aktif dalam bermacam organisasi sekolah. Ia mengikuti ekstra kulikuler Pandu yang membawanya pada persahabatan dengan semua orang tanpa memandang ras dan agama yang berbeda. Ketika ia menjadi seorang notaris, ia menjadi anggota aktif dalam ikatan profesinya.
Tiga puluh tahun yang lalu, ia menikah dengan seorang laki-laki yang juga lulus perguruan tinggi ternama di Jakarta. Mereka dikaruniai dua orang anak; seorang anak laki-laki dan seorang anak perempuan. Anak perempuan yang dilahirkannya adalah seorang anak yang tidak diinginkan kehadirannya oleh suaminya. Bagi suaminya, mempunyai anak perempuan sama dengan membesarkan manusia secara percuma, yang kelak akan diambil oleh laki-laki lain.
Sebagai seorang istri, Erni harus patuh dan tunduk terhadap kehendak suami. Padahal, sebagai seorang notaries, keluwesan dan fleksibilitas dalam pergaulan dibutuhkannya untuk membangun jaringan yang kuat dengan kliennya. Namun, keluwesan pergaulan yang dimiliki Erni dipandang suaminya sebagai ancaman yang perlu distimulir oleh tindak kekerasan. Bersama dengan kedua anaknya, Erni telah hidup dalam lingkungan keluarga di mana suaminya tak hentinya melakukan Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT) terhadap dirinya.
Pengalaman KDRT telah mentransformasikan Erni untuk menjadi seorang konselor informal. Selama menjalankan profesinya sebagai notaris, ia membuka pintu bagi klien, teman dan koleganya untuk curhat. Ia menyadari bahwa KDRT bukan persoalan pribadi. Cukup banyak perempuan dengan status social menengah dan tinggi mengalami berbagai bentuk KDRT. Berpangkal dari pengalaman pribadi, ia telah banyak menguatkan temannya untuk menjadi survivor KDRT. Berjejaring dengan Women Crisis Centre (WCC) merupakan salah satu strategi yang dibangunnya, agar ia dapat memberikan solusi informal bagi perempuan korban KDRT.
Dari kisah pergulatan Erni, kita dapat menarik kesimpulan : 1) Terlahir sebagai seorang perempuan, sebagai orang Tionghoa, bukan pedagang dan beragama minoritas, adalah suatu perjuangan tersendiri dalam upaya merekonstruksi identitas. Persoalan gender, seksualitas, budaya, ras, etnisitas, dan agama merupakan persoalan keseharian yang harus dihadapi dan disiasati oleh seorang perempuan Tionghoa. Sejak ia dilahirkan dalam keluarga Tionghoa, kehadirannya tidak disambut dengan gembira karena dipandang tidak cukup berharga dibandingkan dengan anak laki-laki. Dalam tradisi keluarga Tionghoa, perempuan kerapkali ditempatkan sebagai “liyan” (the other).

Diskriminasi terhadap perempuan terdapat di dalam masyarakat Tionghoa. Hal ini pertama-tama terjadi karena budaya Konfusius menuntut perempuan untuk mentaati dan melanggengkan nilai dan norma yang telah ditentukan dan diberlakukan bagi mereka dalam keluarga dan dalam masyarakat. Mengambil contoh yang paling sederhana, budaya yang kurang menghargai kehadiran  perempuan dalam keluarga Tionghoa dapat ditemukan melalui penyebutan antar saudara sekandung.  Kakak perempuan biasanya disebut “cici” dan kakak laki-laki “koko.” Namun adik laki-laki bisa memanggil kakak perempuannya, dengan nama. Cara memanggil saudara sekandung atau semarga dapat menggambarkan bagaimana pentingnya kedudukan seorang anak dalam sebuah keluarga Tionghoa.

Anak laki-laki bagi keluarga tradisional Tionghoa merupakan penerus keturunan. Merekalah yang akan mewarisi dan mempertahankan nama marga. Oleh sebab itu, orang Tionghoa meyakini bahwa bayi laki-laki yang diberi nama tertentu, setelah dewasa akan mempunyai karakter sesuai dengan arti namanya. Sebab itu pemberian nama terhadap mereka harus dipilih dengan hati-hati, karena nama menunjukkan harapan orangtua untuk masa depan keturunannya. Tetapi tidaklah demikian bagi anak perempuan. Anak perempuan biasanya diberikan nama apa adanya. Apalagi ketika seorang anak perempuan tidak diharapkan kehadirannya di dalam keluarga tersebut, pemberian nama baru diberikan setelah anak lahir.
Seperti keluarga tradisional Tionghoa pada umumnya, maka lahirnya seorang perempuan dan tidak adanya laki-laki dalam sebuah keluarga, dapat melegitimasi seorang laki-laki untuk melakukan poligami. Hal ini dilakukan untuk memperoleh keturunan laki-laki. Dengan demikian tradisi dan budaya telah memberikan hak istimewa kepada laki-laki sebagai pembawa nama dan kehormatan keluarga. Namun di lain pihak, perempuanlah yang sebenarnya meneruskan dan yang mempertahankan tradisi keluarga. Melalui perempuan, tradisi keluarga dipertahankan, dan nilai-nilai dalam tradisi keluarga itu diinternalisasikan terutama pada anak perempuan.

Beberapa tradisi keluarga yang masih dipertahankan adalah sin ciah dn sembayang leluhur setiap ce it cap goh. Selain itu perayaan cengbeng, pecun peringatan hari kelahiran dan kematian dari anggota keluarga juga dirayakan. Melalui berbagai kegiatan dalam mempersiapkan upacara berbagai peringatan dan sembahyang leluhur tersebut, de facto, perempuan adalah pemegang dan pewaris tradisi keluarga, walau de jure, anak laki-laki wajib yang berhak mewarisi harta pusaka serta mengurus budaya leluhurnya.

Selanjutnya, nilai-nilai patriarkhi dalam keluarga Tionghoa dilanggengkan dengan berbagai cara. Salah satunya adalah dengan menggunakan kekerasan dalam mendidik anak perempuan. Bila anak laki-laki diperkenankan untuk bermain sekehendak hatinya, maka seorang anak perempuan sedapat mungkin tidak diizinkan bermain keluar rumah. Pada usia tertentu, anak perempuan dikondisikan untuk meneruskan peradaban manusia, yaitu menikah dan menjalankan fungsi reproduksi untuk melahirkan anak. Dalam keluarga tradisional Tionghoa, peran orangtua cukup dominan, sebab itu anak perempuan dijodohkan dengan seorang laki-laki, yang mungkin baru pertama kali dilihatnya ketika upacara perkawinan dilakukan.

Dampaknya, poligami di kalangan Tionghoa menjadi hal yang biasa terjadi di kalangan Peranakan Tionghoa kaya. Bila istri adalah pilihan orangtua, istri muda adalah pilihan suami itu sendiri. Ketika seorang istri tidak dapat melahirkan anak-anak atau tidak dapat melahirkan anak laki-laki, maka mengambil istri kedua, merupakan hal yang biasa di kalangan mereka. Adakah perempuan Tionghoa yang bersedia suaminya melakukan poligami? Tentu ada, barangkali banyak juga. Tetapi tidak otomatis perempuan Tionghoa suka menjalan kehidupan yang demikian. Mereka lebih banyak memandam luka batin karena tidak mampu berbicara. Dalam mengusung supremasi laki-laki, tentu masuk akal pula bila perempuan mengizinkan suami menikah lagi, atau beradaptasi dan hidup rukun dengan istri-istri yang lain bila ia sendiri dimadu.

Demikianlah identitas perempuan Tionghoa telah direkonstruksi oleh budaya, sehingga mereka mengalami subordinasi dan marginalisasi. Hal ini membuka ruang terjadinya kekerasan psikologis, psikis, mental dan spiritual terhadap seorang perempuan Tionghoa. Perubahan demi perubahan telah terjadi, namun nilai budaya dalam keluarga dan masyarakat Tionghoa, sehingga sebagai perempuan dan sebagai orang Tionghoa, mereka mengalami berbagai tindak kekerasan budaya. Namun hal ini tidak membuat mereka berdiam diri sebagai korban yang pasif. Berbekalkan pendidikan yang memadai, mereka dapat menyusun dan mengaplikasikan berbagai strategi untuk mengatasi kekerasan budaya dengan cara yang tidak frontal. Keperempuantionghoaan terlihat melalui cara mereka membentuk identitas baru yang terus menjadi. Sebab itu kemampuan perempuan Tionghoa untuk memakna-ulang budaya patriarkhi menjadi modal utama untuk menuju ranah publik.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar