Halaman

Kamis, 30 April 2015

PEREMPUAN DAN KEMISKINAN


By: Maryam Kurniawati 




Fakta Mary Jane
            Pada tanggal 28 April 2015, eksekusi Mary Jane Veloso, terpidana mati asal Filipina, tertunda karena ada permintaan dari Filipina terkait proses hukum yang sedang berjalan di negara tersebut. Permintaan tersebut diajukan Benigno Aquino, Presiden Filipina, setelah tersangka perekrut Mary Jane, Maria Kristina Sergio, menyerahkan diri kepada kepolisian Filipina. Mary Jane diperlukan untuk memberikan kesaksian dalam pemeriksaan terhadap Sergio. Menurut sebuah lembaga advokasi buruh migran di Filipina, polisi Filipina  sebelumnya sudah menuntut Sergio dan dua orang lainnya atas penipuan, perekrutan tenaga kerja ilegal, dan perdagangan manusia.

            Alasan lain penundaan eksekusi Mary Jane, menurut Menteri Sekretaris Negara (Mensesneg) Pratikno, karena Presiden Jokowi mendengar suara dari berbagai kalangan aktivis (termasuk PGI) yang terus menyuarakan penundaan eksekusi mati terhadap Mary Jane. Warga asal Filipina itu dianggap bukan aktor yang terlibat langsung dalam kasus yang dihadapinya. Penundaan eksekusi Mary Jane mendapatkan apresiasi dari banyak kalangan. Namun, keputusan Indonesia untuk tetap mengeksekusi delapan napi lainnya  mendapat kecaman dari para pemimpin dunia dan aktivis internasional.

            Menteri Luar Negeri Selandia Baru, Murray McCully, menyatakan kekecewaannya atas eksekusi mati tersebut. Dilma Rousseff, Presiden Brasil mengatakan, eksekusi warga Brasil kedua di Indonesia tahun ini menandai persoalan serius dalam hubungan antara kedua negara. Sementara itu, Tony Abbott, Perdana Menteri Australia menggambarkan, eksekusi adalah hal yang "kejam dan tidak perlu." Abbott bahkan bertindak lebih jauh dengan menarik pulang Duta Besar Australia dari Jakarta. Direktur Eksekutif Drug Policy Alliance yang berbasis di New York, Ethan Nadelmann mengungkapkan, eksekusi terhadap delapan narapidana tidak akan menghasilkan apa-apa untuk mengurangi konsumsi narkoba di Indonesia atau negara lain, dan juga tidak melindungi orang dari penyalahgunaan narkoba.

      Sedangkan Sekretaris Jenderal Dewan Gereja Dunia DGD (World Council of Churches/WCC) Pendeta Dr Olav Fykse Tveit mengirimkan surat guna mengajukan grasi untuk 10 orang terpidana mati yang dijadwalkan untuk dieksekusi dalam waktu dekat, dan mendesak Presiden Joko Widodo segera menyatakan moratorium eksekusi hukuman mati sebagai langkah untuk penghapusan hukuman tersebut dan bergabung dengan kesepakatan global yang yang berusaha menghapus sanksi pidana paling ekstrim ini. “Keputusan negara Anda untuk melanjutkan eksekusi terpidana mati menempatkan Indonesia berlawanan arus global yang berusaha menghapus hukuman mati,” kata Tveit dalam suratnya.

            Dewasa ini ada 140 negara yang telah menghapuskan hukuman mati sepenuhnya dalam praksis hukum mereka. Hukuman mati pernah dihapuskan di Indonesia pada tahun 2008 namun kembali diberlakukan pada tahun 2013. Pada bulan Januari 2015, lima warga negara asing dan Indonesia dieksekusi mati karena terlibat dalam perdagangan narkoba. Dalam kasus hukuman mati, sebenarnya Indonesia telah meratifikasi Kovenan Sipil Politik dan konvensi menentang penyiksaan dan perlakuan serta penghukuman yang kejam, tidak manusiawi, dan merendahkan martabat kemanusiaan. Oleh karena itu PGI dan juga Komnas Perempuan melakukan advokasi dan merekomendasikan pengampunan bagi Mary Jane Veloso, seorang buruh migran asal Filipina, yang diduga keras menjadi korban human trafficking di negaranya.

           Komnas Perempuan mengungkap fakta Mary Jane Veloso setelah Maria Kristina Sergio, perempuan yang menjadi majikan dan merekrut Mary Jane Veloso untuk bekerja di Malaysia, telah menyerahkan diri kepada kepolisian Cabantuan, Filipina (28/4). Mary Jane adalah satu korban pemiskinan. Perempuan Filipina ini hanya menyenyam pendidikan hingga kelas 1 Sekolah Menengah Pertama (SMP). Mata pencahariannya adalah pengumpul dan penjual barang bekas. Menikah pada usia 16 tahun dan merupakan perempuan korban kekerasan dalam rumah tangga (KDRT). Kemiskinan dan KDRT memaksa Mary Jane untuk bekerja dan mencari nafkah di luar Filipina. Di Dubai, Mary Jane diduga mengalami trauma akibat pelecehan dan tindak kekerasan seksual yang dilakukan oleh majikannya, sehingga ia harus dirawat di rumah sakit selama satu bulan. Setiap melihat laki-laki berwajah India, trauma muncul. Karena itu, ia memilih berangkat ke Indonesia daripada menunggu calon majikan (di Malaysia) yang konon masih berada di luar negeri.

           Kemudian Mary Jane direkrut oleh Maria Kristina P. Sergio, tetangga suaminya, untuk bekerja di Malaysia sebagai pekerja rumah tangga (PRT) dengan visa turis namun tanpa dokumen kerja yang resmi. Mary Jane membayar biaya keberangkatan dengan menyerahkan sepeda motor dan telepon genggam senilai 700 Peso atau sekitar 205 ribu Rupiah pada Kristina. Ia dijanjikan akan dipekerjakan sebagai PRT di Malaysia dan kekurangan biaya akan dibayar dengan pemotongan 3 bulan gaji saat bekerja. Mary Jane direkrut bekerja di Malaysia, kemudian ia diminta oleh perekrutnya untuk ke Indonesia dengan janji akan segera dipekerjakan setelah kembali sepulang dari Indonesia. Namun ternyata, ia malah dijadikan kurir narkoba. Sebab itu Mary Jane merupakan korban perdagangan manusia untuk tujuan perdagangan narkotika internasional, dan bukan gembong narkotika.
            Selama proses peradilan, ibu tunggal dari dua anak ini tidak didampingi ahli bahasa atau penerjemah sehingga tidak memahami Berita Acara Pemeriksaan dan proses persidangan atas kasusnya sendiri. Hal ini memperlihatkan bahwa peradilan di Indonesia dalam proses penyidikan, penangan, penuntutan, dan penghukuman belum menggunakan kerangka Konvensi Penghapusan segala Bentuk Diskriminasi terhadap Perempuan yang telah diratifikasi dalam Undang-Undang nomor 7 tahun 1984.[7] Menurut Komnas Perempuan, pengampunan Mary Jane dapat memberikan legitimasi moral bagi pemerintah Indonesia untuk melakukan pembebasan bagi buruh migran yang terancam hukuman mati, termasuk korban trafficking yang terjebak dalam sindikat narkoba yang merendahkan martabat kemanusiaan.




Tidak ada komentar:

Posting Komentar