Halaman

Kamis, 30 April 2015

"NO CHILD LEFT BEHIND"

No Child Left Behind
By: Maryam Kurniawati D.Min



Pendidikan adalah salah satu aspek yang sangat penting bagi kehidupan manusia, karena pendidikan merupakan sebuah alat transformasi yang memupuk daya analisis dan refleksi atas interaksi yang terjadi di tengah-tengah komunitas manusia. Pendidikan menjadi sangat penting bagi setiap orang karena pendidikan dapat menjelaskan nilai-nilai dan kemampuan yang dibutuhkan dalam menghadapi situasi dunia yang senantiasa mengalami perubahan. Berbagai situasi yang ada di sekeliling manusia, baik itu kepelbagaian budaya, pemikiran, pendidikan, agama, suku, perubahan sosial, tuntutan yang terus meningkat terhadap kehidupan masyarakat yang multikultural dan multietnik.

Pendidikan bukan sekadar persoalan pengembangan kecerdasan otak, melainkan proses memanusiakan manusia (humanis). Pendidikan dalam segala bentuknya dan pendekatannya, harus menjadikan manusia berkualitas dengan berbekal kesadaran untuk terus menerus mengembangkan potensi dirinya. Dengan demikian, pendidikan harus meletakkan nilai dasar yang akan membentuk kepribadian, karakter maupun kemampuan berpikir seseorang, sehingga mereka dapat menemukan apa yang menjadi potensi dirinya. Bila potensi itu sudah ditemukan, perlu diolah dan dikembangkan secara optimal, agar sungguh-sungguh dapat memberikan manfaat bagi kedirian dan kehidupan bersama orang lain. Gereja (termasuk individu yang ada di dalamnya) seringkali menganggap pendidikan hanya sebagai pelayanan pelengkap di antara sekian banyak pelayanan gerejawi lainnya. Pendidikan seolah-olah hanya berkaitan dengan bagaimana isi Alkitab diajarkan atau diberitakan melalui kotbah, katekisasi, sekolah minggu, pelajaran agama, pemahaman Alkitab, yang semuanya lebih bersifat memperkenalkan pokok-pokok ajaran Alkitab, dogma gereja, tokoh-tokoh Alkitab dan tokoh-tokoh gereja. Padahal makna dan tujuan pendidikan lebih dalam dari sekadar “transfer of knowledge.” Aklibatnya pesertadidik, tidak memiliki kemampuan untuk menganalisa serta mengambil keputusan yang paling penting bagi dirinya, gereja dan komunitas yang lebih luas serta mengembangkan potensinya.

Ivan Ilich, dalam bukunya Deschooling Society, 1971 melontarkan koreksinya terhadap peran sekolah atau pendidikan formal yang dinilainya lebih banyak membuat masyarakat hanya mengagumi sertificat ketimbang kemampuan nyata seseorang dalam berkarya sehingga meningkatkan kualitas kehidupan.[1] Ia mengkritik pandangan yang beranggapan, semakin banyak mata pelajaran yang diajarkan di sekolah, semakin pintar pesertadidik dan pendidikan formal yang hanya menekankan pengetahuan dan ketrampilan tanpa memperhatikan aspek kejiwaan dan spiritualitas. Dalam Buku “Bebas dari Sekolah” tsb ia memaparkan berbagai kesalahan yang membuat pendidikan formal semakin jauh dari tujuan. Ia menghimbau masyarakat untuk melakukan "revolusi budaya" untuk mengkaji kembali mitos pendidikan formal. Seakan-akan tanpa sekolah orang tidak akan berhasil dalam hidup dan meraih prestasi tinggi di bidangnya. Kajian itu perlu dilakukan karena sekolah telah menciptakan komersialisasi pendidikan dan alienasi bagi kaum yang tidak mampu. Di mata rohaniwan itu, sekolah bukan hanya gagal menjadi wahana pembebasan, melainkan juga menjadi proses dehumanisasi.

Mencermati fenomena seperti itu, sudah selayaknya bila pendidikan dikembalikan pada nilai-nilai kemanusiaan (humanis); pendidikan kembali menatap manusia sungguh-sungguh sebagai manusia dengan segala potensinya. Sejak lahir, manusia telah diciptakan sebagai  homo educandum yang harus dididik serta dikembangkan segala potensi yang dimilikinya. Manusia tidak bisa berkembang secara alamiah sebagaimana makhluk lainnya. Karena itu, dibutuhkan peran orang lain untuk mengembangkan potensinya itu. Manusia sebagai homo educandum haruslah menjadi pusat dari pendidikan. Itu berarti, peserta atau pesertadidik adalah obyek sekaligus subyek pendidikan. Konsekuensinya, orangtua dan para pendidik berfungsi “hanya” sebagai fasilitator, dan bukannya pemegang mutlak kendali proses pendidikan. Tugas orangtua, fungsionaris gereja dan pendidik lainnya selain memberikan berbagai macam pengetahuan, adalah memberikan dorongan (support), menggali bakat pesertadidik, membimbing dan mengarahkannya. Sehubungan dengan hal tersebut, John Dewey menuliskan, ”Education is a constant reorganizing or reconstructing of experience. It has all the time an immediate, and so far as activity is educative, it reaches that end – the direct transformation of the quality of experience …”


Untuk merekonstruksi pengalaman dalam proses pembelajaran, sistem pendidikan di keluarga, gereja dan sekolah harus memusatkan perhatiannya kepada pesertadidik, dan pesertadidik dituntut untuk lebih aktif dalam mengolah/merefleksikan pengalamannya. Sedangkan para pendidik atau fungsionaris gereja “hanyalah” membimbing serta mengarahkan ke mana pesertadidik harus mengembangkan diri. Jadi pengetahuan dan pemahaman benar-benar diperoleh sendiri oleh pesertadidik. Adapun para pendidik dan fungsionaris gereja ”hanya” memberikan bahan belajar untuk memperkuat pengetahuan dan pemahaman pesertadidik (Bandingkan dengan pendekatan Berbagi Praksis Kristen, yang diperkenalkan oleh Thomas Groome).
           
Dengan sistem belajar seperti ini, kesadaran pesertadidik untuk belajar dapat terus bertumbuh. Belajar tidak lagi sebagai kebutuhan yang bersifat mendesak, namun belajar menjadi kebutuhan pokok yang selalu dipenuhi setiap hari. Itulah hakikat pendidikan yang memanusiakan manusia (humanis). Disamping itu, pendidikan juga membawa setiap pesertadidik untuk menciptakan relasi yang harmonis dengan Allah dan sesama. Letty M. Russell mengatakan, ”Christian education has always been a concern of the church, for it is the way by which men and women are nurtured in the Christian life.” Dengan demikian pendidikan merupakan wujud partisipasi kita pada “undangan Allah,” undangan kebebasan untuk ikut serta dalam karya kasih Allah yang penuh dengan kedamaian, keadilan, dan kebebasan bagi seluruh ciptaan dan komunitas yang ada di dalamnya. 



Tidak ada komentar:

Posting Komentar