Halaman

Senin, 23 Maret 2015

APA ITU KEBUDAYAAN?

APA ITU KEBUDAYAAN?

Kebudayaan merupakan sebuah system arti dan makna yang tercipta secara historis, yang mewujud dalam pada satu system keyakinan dan praktek, yang mengatur dan menstrukturkan kehidupan individual dan kolektif manusia. Dengan demikian istilah kebudayaan selalu merujuk pada keyakinan-keyakinan dan praktek.
Kebudayaan juga merupakan sebuah cara, baik untuk memahami maupun untuk mengorganisasikan kurang lebih keseluruhan kehidupan manusia. Istilah budaya bisnis,  budaya obat, dan moral, politis, akademis atau seksual mengacu pada lembaga kepercayaan dan praktek yang mengatur bidang kehidupan manusia yang relevan, termasuk cara bagaimana budaya-budaya ini dikonsptualisasikan, dibatasi, distrukturkan, dan diatur.

Istilah kebudayaan “kita” bukan mengacu pada salah satu kebudayaan yang di dalamnya kita dilahirkan, karena kita berpindah atau mengadopsi dan dibesarkan dalam kebudayaan lain, tetapi kebudayaan yang digunakan untuk memahami dan mengorganisasikan kehidupan kolektif dan individual kita. Kebudayaan “kita” adalah kebudayaan yang kita diami, yang telah membentuk kita, dan yang kita manfaatkan untuk mengidentifikasi, dan kita mengakuinya sebagai anggota dari komunitas budaya yang berbagi bersama kepercayaannya dan berpartisipasi dalam prakteknya.



KOMUNITAS BUDAYA
Komunitas budaya merupakan sebuah kumpulan masyarakat yang berbagi pengetahuan, kepercayaan, agama dsbnya, yang bersatu menurut budaya yang sama. Walaupun  budaya lain memberi pengaruh dan memberi banyak kesenangan, namun tidak menjadi bagian dari kebudayaan kolektif mereka.

Dilahirkan dan dibesarkan dalam komunitas budaya berarti dipengaruhi secara mendalam oleh isi kebudayaan dan dasar komunalnya. Manusia dilahirkan dengan kumpulan kapasitas dan tendensi dan ditransformasikan secara perlahan oleh kebudayaan mereka ke dalam pribadi-pribadi rasional dan bermoral, dan kebudayaan membentuk dan menstrukturkan kepribadian mereka. Anggota komunitas budaya belajar untuk melihat dunia dengan cara yang khusus mengindividuasikan dan memberikan arti dan makna tertentu pada aktivitas dan hubungan manusia, dan untuk melangsungkan aktivitas dan hubungan manusia menurut norma-norma tertentu (=memberikan isi atau identitas kepadanya). Sebab itu Identitas dan identifikasi terkait erat dengan kebudayaan. Seseorang teridentifikasi sebagai laki-laki atau perempuan karena memiliki identitas yang sama dengan mereka, dan identifikasi seseorang memberikan sebuah dasar social, kekuatan emosi dan ukuran stabilitas serta obyektivitas pada identitas tersebut.

Meskipun manusia dibentuk oleh kebudayaan mereka, mereka tidak dibentuk atau ditentukan oleh kebudayaan, dalam pengertian tidak mampu memberikan pandangan kritis atau menonjolkan keyakinan dan aktivitas yang mendasar serta menggapai kebudayaan-kebudayaan lain. Determinisme budaya masuk akal hanya jika kita mengasumsikan bahwa kebudayaan merupakan suatu keseluruhan yang melekat dan keutuhan terstruktur yang dengan erat tidak terpengaruh oleh apa pun di luarnya, dan bahwa individu merupakan materi pasif dan liat yang tidak berpikir mandiri. Kebudayaan tidak hidup dengan sendirinya. Kebudayaan  terikat menjadi satu dan dipengaruhi oleh susunan ekonomi dan politik, tingkat perkembangan tehnologi, dsb yang dijalankan oleh masyarakat.



ARTIKULASI KEBUDAYAAN
Kebudayaan diartikulasikan dalam beberapa level. Pada level paling dasar budaya direfleksikan dalam bahasa, termasuk cara-cara sintaksisnya, tata bahasa dan kosa kata dalam membagi dan mendeskripsikan dunia. Kebudayaan juga ditanamkan dalam peribahasa, pepatah, mitos, ritual, symbol, memori kolektif, lelucon, bahasa tubuh, model komunikasi non-linguistik, adat, tradisi, institusi dan cara bertegur sapa. Pada level yang sedikit berbeda, budaya ditanamkan dalam literature seni, music, karya sastra lisan dan tulisan, kehidupan moral, cita-cita, dll. Dalam struktur dan tatanan kehidupan manusia, budaya juga diartikulasikan dalam peraturan-peraturan dan norma-norma yang mengatur hubungan social dan aktivitas dasar seperti bagaimana, di mana, kapan dan dengan siapa orang bergaul dan bercinta, bagaimana orang berkabung ddan melupakan kematian, dan memperlakukan orang tua, anak, istri, tetangga-tetangga dan orang asing.

Setiap kebudayaan berkembang sepanjang waktu, karena itu kebudayaan tetap menjadi keseluruhan yang kompleks dan tidak tersistematisasikan. Setiap budaya berubah secara internal, berbicara dalam sejumlah bahasa, dan rentangan kemungkinan interpretatifnya sering tidak menentukan.

KEBUDAYAAN DAN MASYARAKAT
Kebudayaan dan masyarakat tidak terpisahkan dalam pengertian bahwa tidak ada masyarakat tanpa budaya atau pun budaya yang tidak berhubungan dengan beberapa masyarakat, namun keduanya memiliki focus dan orientasi yang berbeda. Pada umumnya masyarakat mengacu pada kelompok manusia dan struktur hubungan di dalamnya di mana kebudayaan mengacu pada isi dan prinsip-prinsip pengorganisasian dan pengesahan hubungan tersebut.
Masyarakat terutama berhubungan dengan struktur pratek dan dengan mengandalkan keyakinan budayanya, masyarakat juga memiliki system sanksinya sendiri dalam bentuk pengasingan, pencabutan status social dan bermacam-macam kritik yang mereka andalkan untuk menegakkan praktek kebudayaan. Contohnya, praktek monogami, ditanamkan dalam arti dan makna yang ditetapkan oleh kebudayaan kita menyangkut masalah perkawinan dan hubungan jender. Manusia mungkin mengikuti monogamy karena berbagi dan menghormati kepercayaan tersebut, dank arena tidak ingin tampak aneh, mengundang perhatian yang bermusuhan atau menghadap cemooh dari para sahabat dan orang tuanya. Dalam hal perkawinan, orang mengikuti aturan tersebut karena alasan budaya; dalam hal hubungan antar gender orang melepaskan arti budaya, memandangnya sebagai praktek social daripada praktek budaya, dan mengikutinya karena alasan sosial.


KEBUDAYAAN DAN AGAMA
Kebudayaan berkaitan dengan arti dan makna tentang aktivitas dan relasi manusia, dan karena ini menjadi perhatian sentral bagi agama, keduanya cenderung terkait erat. Hampir tidak ada budaya yang dalam penciptaan, penyusunan dan keberlangsungannya, agama belum memainkan peranan penting sehingga kita bisa memiliki beberapa contoh dalam kebudayaan kaum humanis atau sekuler secara keseluruhan. Walau tampaknya memberi sifat seperti halnya kebudayaan, modernitas dalam kenyataannya mewarisi dan dibentuk secara mendalam oleh nilai-nilai, kepercayaan, dan mitos agama Kristen.
Baik peran agama maupun kebudayaan berbeda. Tidak ada kebudayaan yang dapat diperoleh seluruhnya dari agama, betapa pun detailnya, karena agama tidak pernah meliputi semua bidang kehidupan manusia dan mengantisipasi semua situasi. Hampir tidak ada agama mengatakan kepada para pengikutnya tentang bagaimana cara makan, berpakaian, berbicara, duduk, tidur, menggosok gigi, atau  bercinta. Kendati mungkin menetapkan bermacam-macam norma umum seperti menghormati orang tua, agama tidak mengatakan kepada para pemeluknya apakah penghormatan itu meliputi penahanan diri untuk tidak merokok di tengah-tengah kehadiran orang tua atau tetap duduk ketika orang tua sedang berdiri.

Kebudayaan dan agama mempengaruhi satu sama lain pada berbagai level. Agama membentuk system kepercayaan dan praktek pada satu kebudayaan, ketika para individu atau komunitas berpindah pada agama lain, cara berpikir dan hidup mereka mengalami perubahan penting. Pda bagian-bagiannya, kebudayaan mempengaruhi bagaimana agama diinterpretasikan, ritual dilakukan, tempatnya ditetapkan dalam kehidupan masyarakat, dan sebagainya.  Contohnya ; bentuk Kristianitas orang Cina, Mesir, Amerika dan Indonesia. Tidak ada agama dapat bebas dari kebudayaan, dan kehendak mulia tidak bisa memperoleh arti manusia yang sudah tetap tanpa mediasi budaya. Kristus itu ilahi tetapi kristianitas adalah fenomena budaya.

Tidak ada kebudayaan yang dapat secara eksklusif didasarkan pada agama, kebudayaan dapat dibentuk oleh agama dengan derajat dan cara yang berbeda. Beberapa kebudayaan pada dasarnya berasal dari agama dan sangat bergantung pada agama, namun di tempat lain, agama hanya merupakan salah satu sumber pengaruh dan terus menerus ditantang oleh pengaruh sains, moralitas sekuler dan akal budi kritis.

Kita dapat mengabstrasikan dasar budaya sebuah praktek dan mengikutinya untuk alasan social semata. Kita dapat memisahkan basis religious dan mengikuti atau menghormati alasan budaya atau bahkan secara eksklusif alasan social. Contohnya : orang-orang pergi ke gereja karena percaya pada Tuhan sebagai bagian dari komitmen religiusnya, atau karena hal itu bersifat integral denga budaya, dan menjaga kelangsungan komunitas budayanya, atau untuk meningkatkan status sosialnya. Orang merayakan Natal karena makna religious yang dalam, atau karena perayaan Natal merepresentasikan momen budaya penting dalam sejarah seseorang, atau karena perayaan ini merupakan jalan lain untuk mempertegas keanggotaan dalam masyarakat atau bukan untuk menarik perhatian.
Menjadi bagian dari komunitas budaya membuat kita mengikuti variasi dan tidak menjadi homogen secara alamiah. Keanggotaan satu komunitas budaya dengan demikian bervariasi dalam jenis dan tingkat. Individu mengalami konflik budaya ketika mereka menganut atau hidup dengan dua system arti dan makna yang berbeda, entah secara keseluruhan ataupun sebagian.



DINAMIKA KEBUDAYAAN
Tidak ada budaya yang bebas dari persaingan dan perubahan. Konflik kelas,  gender, generasi dan konflik lainnya mewabah dalam semua masyarakat dan berusaha menemukan ekspresi budaya yang sesuai sudut pandang  pengetahuan dan situasi yang baru. Setiap anggota komunitas budaya  tidak dapat menghindari merentangnya batas system praktek dan kepercayaan yang berlaku dan membuka kemungkinan interpretasi baru. Kebudayaan, dengan demikian, bukan merupakan warisan pasif, tapi satu proses aktif dalam menciptakan arti (bukan yang diberikan) tetapi secara konstan diartikan dan disusun ulang (=media kreativitas).

Kebudayaan masyarakat juga berubah sebagai tanggapan terhadap beberapa factor lain, seperti tehnologi, perang, dan bahkan bencana alam, sering dengan suatu cara yang tidak dipahami atau tidak dimengerti oleh masyarakat tersebut.

(Disarikan dari Pareh, Bikhu. Rethinking Multiculturalism, Cultural Diversity and Political Theory. Yogyakarta: Kanisius, 2008)


Tidak ada komentar:

Posting Komentar