Halaman

Minggu, 30 Oktober 2011

Aku Telah Melihat Tuhan




Bacaan: Yohanes 20:1-2, 11-18

Pada tanggal 14 November 1970, sebuah kecelakaan pesawat terbang telah merenggut nyawa sebagian besar anggota Tim sepakbola Marshall University. Tujuh puluh lima orang tewas, yakni staff, pelatih dan sejumlah pemimpin masyarakat di Huntington, Virginia Barat, sehingga Universitas dan masyarakat sangat terguncang. Dua dari orang-orang yang kehilangan sanak keluarga dan orang-orang yang mereka kasihi, adalah Paul Griffen dan Annie Cantrell. Kisah mereka berpautan, karena putra Griffen, Chris adalah tunangan Annie. Ketika Chris tewas, mereka tenggelam dalam tahun-tahun yang penuh kesedihan, derita dan dukacita yang tak tertanggungkan. Kata Griffen kepada Annie, “Kesedihan itu memporak-porandakan!”  Ia benar, kesedihan – apa pun bentuknya – memang sering memporak porandakan. Kita semua, pada waktu tertentu merasakan bagaimana kesedihan itu memporak-porandakan hidup kita, karena kita terluka dan kehilangan pengharapan. Dengan kesal dan marah, kita akan berkata, “Sudahlah tidak usah bicara tentang Tuhan. Buat apa saya ke Gereja? Buat apa saya berdoa? Nyatanya, hidup saya seperti ini!”

Dorothee Soelle, seorang teolog Protestan dalam bukunya Suffering pernah berkata, ”Pertanyaan terpenting yang dapat kita ajukan tentang penderitaan adalah untuk siapa penderitaan itu terjadi? Apakah penderitaan kita untuk Tuhan atau Iblis?” Dengan pertanyaan itu, Soelle mau berkata, yang terpenting sebenarnya bukan dari mana tragedi atau kesedihan itu datang, tetapi ke arah manakah penderitaan itu tertuju? Apakah derita itu kita persembahkan kepada Tuhan atau Iblis? Jika kematian atau penderitaan, atau orang yang kita kasihi membuat kita mengalami kepedihan hati, dendam, sakit hati dan membenci kehidupan ini, itu berarti kita sudah membuat diri kita menjadi seorang hamba atau pelayan Iblis. Tapi jika penderitaan dan keterhilangan itu membuat kita menemukan Sumber Penghiburan yang tidak pernah kita mengerti sebelumnya, maka kita telah membuat diri kita menjadi hamba atau pelayan Allah. Kebenaran yang harus kita petik dalam situasi ini adalah : Tuhan tidak mengasihi kita dengan cara yang sama seperti kita mengasihi Dia! Boleh jadi kita pikir, Tuhan sudah meninggalkan dan membiarkan kita. Namun marilah kita melihat apa yang dikerjakan Tuhan dalam perspektif yang lebih luas, karena iman kita mengatakan, bahwa segala sesuatu yang dilakukan Tuhan itu selalu tepat dan benar, sekalipun kita tidak dapat memahaminya. Saudara2, beriman kepada Allah memungkinkan kita hidup dengan pengaharapan yang aktif, bukan dengan sikap sinis. Dalam Yeremia 29:11 Firman Tuhan berkata, “Sebab Aku ini mengetahui rancangan-rancangan apa yang ada pada-Ku mengenai kamu, demikianlah firman Tuhan, yaitu rancangan damai sejahtera dan bukan rancangan kecelakaan, untuk memberikan kepadamu hari depan yang penuh harapan.”
Ketika kesukaran datang seperti gunung penghalang, dan kesedihan menutup pandangan kita seperti kabut, kita memang menghadapi saat-saat yang sulit. Tetapi, kalau Tuhan Yang Mahakuasa dan Mahabaik itu mengijinkan kita mengalami kesedihan dan kesusahan itu, apakah Ia berharap iman kita hancur lebur di tengah goncangan itu?! Tentu saja tidak! Mungkin Tuhan sedang mengajarkan sesuatu tentang diri-Nya, yang selama ini mungkin belum kita sadari dan pahami. Seperti kata orang, ”no pain, no gain,” tidak ada rasa sakit, tidak ada hasil, dan melalui kesedihan dan kesusahan itulah iman kita diharapkan-Nya bertumbuh dan berbuah. Sebab Tuhan sudah, sedang dan tengah membentuk ulang hidup kita dan memurnikan kita seturut dengan kehendak-Nya.

Maria Magdalena adalah orang pertama yang berjumpa dengan Tuhan yang bangkit. Pengalamannya melihat Tuhan yang bangkit adalah pengalaman yang istimewa baginya. Beberapa hari sebelumnya, kesedihan dan dukacita telah memporak-porandakan hidup Maria, Petrus, Yohanes dan juga para murid lainnya karena mereka telah menyaksikan dengan mata kepala sendiri, bagaimana Yesus telah diperlakukan secara kejam baik oleh imam-imam kepala, ahli-ahli Taurat maupun para serdadu Romawi, dan Yesus telah mati di atas kayu salib. Oleh karena itu betapa hancur hati Maria, ketika melihat kubur iitu kosong dan mayat Yesus tidak lagi ada di sana. Kesedihan dan dukacita yang mendalam, membuat Maria tidak lagi mampu mengenali suara Yesus. Namun akhirnya, muncul kesadaran dan lahir sebuah pernyataan ”Aku telah melihat Tuhan!” (Yoh. 20:18b). Kalimat itu tidak hanya menjadi sebuah pernyataan yang demonstratif, tapi juga merupakan sebuah penegasan dan pengakuan yang sangat dalam, yang mau mengatakan bagaimana Tuhan telah mengubah hidupnya, sejak pertama kali ia berjumpa dengan-Nya ketika tujuh setan diusir daripadanya. 
Sejak pertama kali berjumpa dengan Yesus, hidup Maria mulai berubah dan pilihan hidup Maria untuk mengikuti Yesus diteguhkan dengan pengalaman melihat Yesus, Tuhan yang bangkit. Mencintai sebagaimana Yesus telah mencintai dia, inilah pengharapan baru yang ditemukan Maria. Pernyataan ”aku telah melihat Tuhan” akhirnya bukan hanya melihat sosok Yesus yang bangkit, tapi memahami dan menemukan kebenaran bahwa mencintai seperti Yesus tidak akan pernah sia-sia. Oleh karena itu pesan yang menantang kita dari Paskah pertama ini, adalah bagaimana kita dapat mewartakan Kristus yang bangkit, dan menunjukkan kepada orang bagaimana iman kepada Yesus telah mengubah hidup kita. Dari orang-orang yang berhawa nafsu picik dan egois, menjadi orang-orang yang hidup dalam cinta dan berdayacipta dalam mengatasi kepekatan hidup. Perjumpaan kita dengan Kristus yang bangkit seharusnya mengubah hidup kita, dari orang-orang yang hanya memusatkan kepentingan diri sendiri, menjadi orang-orang yang murah hati dan peduli. Perjumpaan kita dengan Kristus yang bangkit seharusnya membangun dan menata ulang hidup kita, untuk mencintai sebagaimana telah Yesus mencintai kita. Kita dapat melihat Tuhan dalam diri setiap orang (baik naradidik, rekan kerja ataupun teman sepelayanan), kepada siapa kita mencintai sebagaimana Yesus telah mencintai kita. Menurut Erich Fromm, ”Salah satu esensi utama dari cinta adalah adanya kreativitas dalam diri seseorang terutama dalam aspek memberi, bukan hanya menerima.” Oleh karena itu, kreativitas kita akan ditentukan sampai seberapa jauh kita memberi, berbagi dan peduli sebagaimana Kristus telah mencintai kita. Selamat berjuang untuk memenangkan cinta kasih dalam hidup kita. Amin.






Tidak ada komentar:

Posting Komentar