Halaman

Minggu, 30 Oktober 2011

OPTIMIS DAN POSITIF?

Bacaan: Roma 8:26-30

Dalam kehidupan sehari-hari, kita sering diperhadapkan dengan dua karakter yang berbeda dari setiap orang. Pertama, orang-orang yang selalu optimis dan positif dalam menghadapi setiap persoalan yang mereka hadapi. Wajah mereka biasanya selalu riang dan gembira, seolah-olah tidak punya beban. Kalaupun ada masalah, mungkin mereka hanya diam dan cemberut sesaat, tetapi kemudian kembali riang dan gembira. Kedua, orang-orang yang selalu pesimis dan negatif dalam menghadapi setiap persoalan yang mereka hadapi. Wajah mereka biasanya kusut dan tidak ceria, karena segudang persoalan yang mereka hadapi. Kalau ada masalah, mereka pasti akan bersungut-sungut, kesal dan marah. Lha wong tidak ada masalah saja, wajahnya kusut dan cemberut. Terus terang, akan lebih menyenangkan bagi kita untuk berteman dengan orang-orang yang berkarakter optimis dan positif, karena bagi mereka, tidak ada masalah yang tak dapat diatasi. Jadi pola pikirnya problem solving. Masalah boleh dan pasti ada, tapi pasti ada solusinya. Sebaliknya, kalau kita berteman dengan orang-orang yang berkarakter pesimis dan negatif, akan melelahkan kita, karena fokus perhatian mereka selalu tertuju kepada masalah dan masalah. Oleh karena itu, orang-orang yang seperti ini, akan selalu negative thinking, under-estimate – atau mudah menyerah dan putus asa. Oleh karena itu, mereka akan berupaya untuk mencari kambing hitam atau mempersalahkan orang lain untuk semua permasalahan yang mereka hadapi. Nah menurut Saudara2, mana yang lebih banyak : orang-orang yang termasuk dalam kelompok pertama, yang optimis dan positif ataukah orang-orang yang termasuk dalam kelompok kedua, yang pesimis dan negatif? Lalu termasuk di dalam kelompok manakah kita? Pertama, ataukah kedua kah? 
Ada banyak faktor yang membentuk seseorang sehingga ia menjadi pribadi yang berkarakter optimis-positif, maupun yang berkarakter pesimis-negatif. Berawal dan dimulai dari kehidupan keluarga. Orangtua yang berkarakter optimis-positif, pada umumnya, akan mendidik dan membesarkan anak-anak mereka dengan karakter yang sama, yaitu optimis-positif. Pilar selanjutnya, adalah sekolah dan gereja. Lingkar pengaruh dari guru dan teman-teman yang optimis-positif pada umumnya akan melahirkan sikap optimis-positif. Sebaliknya, pengaruh dari guru dan teman-teman yang pesimis-negatif, akan melahirkan sikap pesimis-negatif. Demikian pula di dalam komunitas gereja. Bila kita berada di dalam lingkar pengaruh orang-orang yang berpikir dan bersikap optimis-positif, kita pasti akan menjadi orang-orang yang berkarakter optimis-positif. Begitu pula sebaliknya, bila kita berada di bawah lingkar pengaruh orang2 yang bersikap pesimis-negatif, maka kita pun akan menjadi orang-orang yang berkarakter pesimis-negatif. Oleh karena itu, betapa pentingnya bagi setiap kita untuk memiliki identitas dan integritas yang utuh – agar tidak terbawa arus dan hanyut dalam lingkar pengaruh yang pesimis dan negatif.
            Optimis berasal dari bahasa Latin optimum, artinya paling baik. Optimisme adalah suatu cara pandang yang menempatkan hidup, manusia, peristiwa dan segala sesuatu sebagai ”yang terbaik.”  Karena itu sikap optimis melihat segala peristiwa hidup secara positif . Contohnya : kegagalan dipandang sebagai keberhasilan yang tertunda, kecelakaan sebagai peringatan, dan malapetaka sebagai sumber hikmah. Orang yang bergaya hidup optimis biasanya tampak lebih ceria dan bersemangat, karena mereka melihat masa lalu, masa kini dan masa depan dengan kaca mata positif. Dengan demikian sikap optimis positif, memampukan seseorang melihat,mengambil sikap dan menikmati hidup sebagai sesuatu yang indah. 
Pesimis adalah lawan dari optimis. Dari bahasa Latin pessimum, yang berarti ”paling buruk atau paling jahat.” Orang yang pesimis mempunyai cara pandang yang menempatkan segala sesuatu sebagai yang buruk. Sikap pesimis membuat orang tidak dapat menghargai hidup. Bagi orang optimis, kesulitan adalah tantangan, tapi bagi orang pesimis kesulitan adalah musibah dan bencana, karena mereka tidak memiliki identitas dan jatidiri yang utuh.
Alkitab, memberikan sebuah contoh yang indah melalui kehidupan Daniel (Daniel 6:1-12). Berada di pembuangan, sebagai tawanan tentu bukanlah sebuah pengalaman hidup yang menyenangkan. Seandainya Daniel bisa memilih, tentu saja dia tidak ingin berada di dalam situasi dan kondisi yang terus menerus mengancam hidupnya. Menghadapi segala bentuk konspirasi yang dilakukan oleh para pejabat istana Nebukadnezar, yang terus berupaya untuk mencelakakan dirinya, dan juga teman-temannya (Sadrach, Mesakh dan Abednego), Daniel tetap bersikap optimis dan positif. Berada di dalam gua singa sekalipun, Daniel tidak merasa takut dan putus asa, karena ia yakin, bahwa ia memiliki Allah yang hidup. Bukankah iman adalah dasar dari segala sesuatu yang kita harapkan dan bukti dari segala sesuatu yang tidak kita lihat? (Ibrani 11:1) Hasilnya, Daniel dilepaskan dari gua singa, dan menjadi orang yang lebih berkarakter lagi, karena memiliki iman yang teguh dan tangguh.
Contoh berikutnya, adalah Yusuf. Berada di Mesir, sebagai seorang tawanan dan budak, tentu sebuah pengalaman hidup yang sangat menakutkan. Dari seorang anak yang manja dan rapuh, Yusuf dibentuk oleh Tuhan menjadi seorang yang tangguh, yang mampu bersikap optimis dan positif dalam segala permasalahan yang dihadapi. Mnghadapi kenyataan, bahwa kakak dan saudara-saudaranya, karena iti hati dan dengki, berani dan tega menjual dirinya kepada saudaragar Mesir. Menjadi budak di keluarga Potifar, difitnah memperlakukan istri tuannya dengan tidak senonoh, kemudian masuk ke dalam penjara, adalah kenyataan yang amat sakit menyakitkan di hati. Pertanyaannya, adalah apakah dengan semua pengalaman yang sangat menyakitkan itu, Yusuf kemudian menjadi seorang pemuda yang berkarakter pesimis dan negatif, serta berperilaku sangat buruk? Tidak. Alkitab menyaksikan kepada kita,  bagaimana Yusuf tetap memiliki jatidiri yang utuh dan tangguh, serta berperilaku sangat baik selama berada di penjara. Selanjutnya, Yusuf  diangkat menjadi penguasa di Mesir, dan ia menjadi seorang penguasa yang adil dan bijaksana. Bahkan ketika berjumpa dengan kakak dan saudara-saudaranya, Yusuf tetap bersikap optimis dan positif. Ia tidak melampiaskan kemarahan dan sakit hatinya kepada kakak dan saudara-saudaranya, walaupun kesempatan ada dan posisi atau jabatan dia amat sangat memungkinkan hal itu. Dalam Kejadian 45:4-8, Yusuf berkata kepada kakak dan saudara-saudaranya begini. “Akulah Yusuf, saudaramu, yang kamu jual ke Mesir. Tetapi sekarang, janganlah bersusah hati dan menyesali diri ... karena untuk memelihara kehidupanlah, Allah menyuruh aku mendahului kamu ... Dialah yang menempatkan aku sebagai bapa bagi Firaun dan tuan atas seluruh istananya dan sebagai kuasa atas seluruh tanah Mesir ... untuk memelihara hidupmu, sehingga sebagianbesar dari kamu tertolong.

Masih banyak lagi contoh yang diberikan oleh Alkitab kepada kita, untuk bersikap optimis dan positif serta menjadi pribadi yang utuh dan tangguh. Pertanyaannya sekarang, adalah, sudahkah kita menjadi seorang yang optimis dan positif, serta peribadi yang utuh dan tangguh dalam kehidupan sehari-hari kita? Selama ini mungkin, ada banyak orang yang bersikap negatif, atau malah mungkin bersikap opressor dengan kita. Semua pasti ada alasannya, dan mungkin kita tidak dapat mempersalahkan mereka 100% karena harus kita akui, kita juga punya andil (mungkin 20%, atau 50%) sehingga mereka bersikap seperti itu. Namun belajar dari Daniel dan Yusuf, kita dapat memaknai dan menjadikan semua pengalaman hidup kita dan bahkan semua pengalaman buruk kita, untuk menjadi “kawah candra dimuka” untuk menempa setiap kita untuk menjadi pribadi yang optimis-positif, serta kuat dan tangguh dalam menghadapi setiap permasalahan hidup kita. Dalam Roma 8:28, Rasul Paulus mengajak kita untuk meyakini, bahwa “Allah turut bekerja dalam segala sesuatu untuk mendatangkan kebaikan bagi mereka yangmengasihi Dia, yaitu bagi mereka yang terpanggil sesuai dengan rencana Allah!”  Mengapa demikian? Menurut Paulus, karena dari sejak semula kita telah dipilih dan ditetapkan oleh Allah  untuk menjadi anak-anak-Nya,  dan menjadi serupa dengan Kristus, dalam segala perkara kehidupan kita. Menjadi serupa dengan Kristus, berarti meneladani Kristus : berpikir dan bersikap seperti Kristus, selalu optimis dan positif, serta kuat dan tangguh dalam menghadapi segala tantangan dan hambatan. Dan yang paling penting, adalah tetap setia dan taat kepada Allah.
Oleh karena itu, marilah kita tinggalkan sikap pesimis-negatif kita dan menggantikannya dengan sikap optimis-positif, kuat dan tangguh! Renungan ini saya akan akhiri dengan sebuah kisah : To Small To Give Influence?
Seorang anak kecil merasa bahwa dirinya terlalu kecil untuk memberikan pengaruh bagi dunia. Dia berpikir begitu banyak masalah sosial yang terjadi, tetapi dia tidak bisa apa-apa. Tidak punya uang, tidak punya kenalan, tidak punya pengaruh. Begitulah keluh si anak ini pada kakeknya. Kakeknya yang memahami persoalan cucunya ini mengajaknya keluar rumah. Kebetulan, di luar rumah, biasanya ada banyak nyamuk ketika hari mulai gelap. Dan dengan tangannya, si kakek menangkap seekor nyamuk di tangannya lalu berkata,
"Kamu masih ingat saat ketika kamu tidur dan seekor nyamuk seperti ini membuatmu tidak bisa tertidur?'
"Iya, Kek. Dan mengganggu sekali"
"Betul sekali. Nah, kalau kamu berpikir dirimu terlalu kecil untuk memberikan pengaruh. Pikirkanlah seekor nyamuk ini!"
Insight dari kisah ini!
Jangan mengeluhkan dirimu terlalu kecil untuk memberikan pengaruh. Masalahnya hanya terletak di pikiranmu, mau atau tidak mau. Ingat kembali kisah di atas,
"Jika kamu berpikir terlalu kecil untuk memberikan pengaruhmu, pikirkan bagaimana seekor nyamuk dengan tubuhnya yang begitu kecil bisa memberikan pengaruh, meski menganggu!"
Nah, nyamuk saja bisa, apalagi diri kita.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar