Halaman

Minggu, 30 Oktober 2011

Kasih Seorang Sahabat


Bacaan: Yohanes 15:9-17

Dahulu kala ada sebuah desa di mana hanya diisi oleh orang-orang yang pendek dan gemuk atau yang jangkung dan kurus. Tidak ada jenis orang lain selain itu. Si ”Pendek” dan ”Jangkung”, begitu mereka disebut tidak saling menyukai. Orang-orang Pendek selalu mengejek orang-orang Jangkung dengan sebutan ”tiang bendera” bila mereka sedang membicarakan kesombongan orang-orang Jangkung. Sementara orang-orang Jangkung akan mengejek orang-orang Pendek dengan sebutan ”udang” karena ukuran tubuh yang pendek itu. ”Tiang bendera” dan ”udang” selalu bertengkar dan berkelahi, tidak pernah ada kedamaian di desa tersebut.
Si Pendek dan Si Jangkung tidak pernah saling mengenal dengan baik. Mereka tidak pernah mencoba menjalin persahabatan. Bahkan, mereka menolak bekerja sama. Si Pendek tidak ingin tinggal di rumah yang bersebelahan dengan Si Jangkung, demikian pula sebaliknya. Mereka tidak ingin berbelanja di toko yang sama, selalu memilih toko yang didatangi oleh sesama Pendek atau Jangkung. Anak-anak mereka pun bersekolah di dua sekolah yang berbeda pula. Gereja-gereja dan tempat-tempat ibadah selalu dibangun khusus untuk Si Pendek dan Si Jangkung. Semakin banyak orang yang meminta agar desa dibelah saja menjadi dua bagian, dan mulai terdengar desas-desus akan adanya perang antara ”tiang bendera” dengan ”udang.” Kedua belah pihak mulai membeli senjata. Pemimpin desa tidak pernah membantu menyelesaikan masalah. Bahkan, ia pun kadang menyalahkan Si Jangkung atas semua masalah yang terjadi di desa. Semakin menipisnya toleransi di desa ini, sampai anak-anak kecil pun selalu diberitahukan oleh orangtua mereka bahwa pihak yang satu lagi bukanlah orang yang baik. Anak-anak Si Pendek tidak boleh bersahabat dengan anak-anak Si Jangkung, dan begitu pula sebaliknya.
Kemudian suatu hari, terjadi sesuatu yang aneh. Semua orang di desa itu mendadak menjadi buta. Tidak ada satu orang pun yang bisa melihat. Kehidupan semua orang menjadi jungkir balik. Orang-orang terpeleset dan terjatuh, mencoba berjalan dari satu tempat ke tempat yang lain. Mereka saling bertabrakan dan terpelanting. Semua anak-anak kecil, para remaja, dan orang-orang dewasa membutuhkan bantuan, dan mereka pun akhirnya saling membantu. Orang-orang dewasa meminta tolong pada semua orang yang kebetulan bertabrakan dengan mereka, agar diberitahukan jalan yang benar.  Anak-anak kecil dibantu oleh anak-anak yang lebih dewasa, dan ibu-ibu kaum Pendek maupun Si Jangkung saling membantu menemukan anak-anak mereka.
Awalnya, Si Pendek tidak sadar bahwa mereka kadang dibantu oleh ”tiang bendera,” dan Si Jangkung kadang tidak sadar bahwa mereka dibantu oleh ”udang”. Mereka sangat menghargai semua orang yang membantu mereka dalam kebutaan mereka. Tetapi ketika mereka saling membantu dengan menggunakan tangan mereka, mereka mulai menyadari bahwa beberapa dari tangan-tangan tersebut ada yang panjang dan kurus, dan ada tangan-tangan yang pendek dan gemuk.
”Hmmph,” kata Miriam, salah seorang Pendek pada dirinya sendiri, ”aku berani bertaruh pasti Si Jangkung, yang tadi membantuku adalah satu-satunya ”tiang bendera” yang baik hati.” Tetapi Miriam sangat terkejut ketika ia menyadari bahwa ia baru saja dibantu oleh orang Jangkung yang lain ketika ia mencoba berbelanja di toko.
Ali, salah seorang Jangkung, juga terkejut. ”Udang-udang itu ternyata tidak begitu jahat,” pikirnya suatu hari ketika salah seorang Pendek membantunya menemukan adik kecilnya.
Satu, dua minggu sudah berlalu, dan semua orang mulai menyadari bahwa bentuk dan ukuran orang-orang yang ada di sekitar mereka sama sekali bukan masalah. Mereka mulai membangun pendapat tentang semua orang yang mereka temui berdasarkan perilaku dan bukan penampilan – yaitu apakah orang-orang tersebut baik hati atau pendengki. Mereka mulai menghargai teman-teman baru mereka dan memahami bahwa karakter seseorang ternyata jauh lebih penting daripada ukuran tubuh – dan bahwa sifat-sifat baik bisa ditemui dalam diri semua orang.
Dengan kesadaran ini, hati semua orang Pendek dan gemuk maupun Jangkung dan kurus mulai luluh. Mereka pun menjadi semakin baik hati terhadap semua orang yang mereka temui. Ketika mereka mulai bisa saling bersahabat, penglihatan mereka pun mulai kembali! Mereka tertawa senang ketika sudah bisa kembali melihat, dan mereka berjanji tidak akan lagi membiarkan mata mereka membohongi mata mereka.
Dari kisah si Pendek dan si Jangkung tadi, kita menangkap makna : Persahabatan kerapkali tidak terjalin secara otomatis, tapi membutuhkan proses yang panjang seperti besi menajamkan besi. Persahabatan sering menyuguhkan beberapa cobaan, tetapi persahabatan yang sejati bisa mengatasi semua cobaan itu, bahkan bertumbuh bersama karenanya. Kunci dari semuanya itu adalah Kasih. Kasih mampu meredam perbedaan, dan membangun kebersamaan. Kasih mempertautkan, dan bukan memisahkan, sehingga semua orang, baik yang pendek dan gemuk, mau pun yang jangkung dan kurus dapat hidup dalam relasi yang sangat akrab, dekat dan terbuka. Kasih seperti itulah sebenarnya yang kita perlukan untuk membangun dunia yang lebih indah dan nyaman ...
Menurut kesaksian Alkitab, manusia diciptakan Allah dalam relasi yang sangat akrab, dekat dan terbuka dengan Allah dan sesamanya. Namun oleh karena dosa, relasi itu menjadi rusak, karena manusia hanya memikirkan dirinya sendiri. Persahabatan tidak lagi mendapat ruang dan tempat, karena persahabatan hanya berada di kulit luar, tidak sampai ke dalam hati, kepada pengenalan antar pribadi yang mendalam dan penuh kasih. Bagi Tuhan Yesus, persahabatan itu nilainya sangat mahal, luhur dan mulia. Sebab itu Dia rela mati bagi kita sahabat-sahabat-Nya. Standard kasih seperti kasih Tuhan Yesus dimulai dengan hati. Hati yang mau mengasihi dengan segenap hati. Hati yang mau mengasihi Allah, yang diwujudkan dengan kasih kepada sesama. Siapakah sesama itu? Dia adalah orang-orang yang kita jadikan sebagai sahabat kita, dan bukan hamba. Bagi seorang sahabat, ada keterbukaan, kejujuran, ketulusan, dan kepedulian. Ada kedekatan yang tak ternilai selain dengan diri dan hidupnya. Sahabat berbeda dengan seorang hamba, yang memiliki status yang lebih rendah dengan tuannya. Tuhan Yesus mengajak kita untuk melihat sesama bukan dengan kaca-mata “tuan dan hamba”, tetapi dengan kacamata “sahabat” (Yohanes 15;15-17). Dengan kacamata “sahabat” kita diajak untuk melihat dan menempatkan orang-orang yang ada di sekitar kita dan menjadi sahabat di tengah-tengah segala kesulitan dan pergumulan hidup mereka. Dalam surat 1 Yohanes 3:18 Firman Tuhan berkata, “Anak-anakku, marilah kita mengasihi bukan dengan perkataan atau dengan lidah, tetapi dengan perbuatan dan dalam kebenaran.”
The greatest healing therapy
Is friendship and love
(Hubert H. Humphrey)





Tidak ada komentar:

Posting Komentar