Halaman

Minggu, 30 Oktober 2011

Boleh Kuatir, Tapi Tetap Percaya


Bacaan: Matius 6:24-34
 
Boleh kuatir, tapi tetap percaya. Itulah tema KITA hari ini. Bagaimana pengalaman hidup Saudara dengan “boleh kuatir, tapi tetap percaya” ?! Mengapa hal itu terjadi? Apa penyebabnya? Bagaimana seharusnya?  Apa sebenarnya yang dimaksud dengan kuatir itu? Mengapa orang-orang kerapkali begitu kuatir? Bagaimana seharusnya? Selama ini mungkin kita sering merasa kuatir. Akan tetapi kita sendiri tidak tahu apa penyebabnya, dan bagaimana mengatasinya. Mungkin benar apa yang dikatakan oleh Glenn Turner, bahwa “Kuatir itu seperti kursi goyang, yang memberikan sesuatu untuk Anda lakukan. Namun Anda tidak pernah sampai ke manapun.”  

Ada banyak alasan yang membuat kita kuatir. Mungkin, masa depan atau pasangan hidup. Mungkin pekerjaan atau pelayanan dan lain sebagainya. Ada banyak orang yang mengalami ”gangguan syaraf” (nervous breakdown) karena kuatir. Nah apakah Kekuatiran itu?  Mungkin karena kekuatiran itu begitu akrab dengan kita, maka kita sulit untuk mendefinisikan secara tepat kebiasaan yang menyusahan itu.
Menurut pendapat Dr. Thomas Borkovec, seorang peneliti di Penn State University, “Kekuatiran merupakan serangkaian pikiran dan gambaran-gambaran yang menghasilkan perasaan-perasaan negative. Pikiran-pikiran tersebut tidak dapat dikontrol, dan berkaitan dengan suatu masalah tertentu yang tidak pasti. Biasanya, para penguatir yakin bahwa kemungkinan besar akan terjadi satu hal atau lebih yang bersifat negative.” 
Ada beberapa ciri khas dari kekuatiran itu :
Kekuatiran selalu berhubungan dengan masa yang akan datang. Ketika kita kuatir, maka sebenarnya kita sedang mengantisipasi suatu kejadian yang akan mengancam kita. Beberapa orang mungkin mengatakan bahwa mereka kuatir tentang sesuatu yang telah terjadi di masa lalu. Tetapi sesungguhnya, isi dari kekuatiran itu berhubungan dengan sesuatu yang mungkin akan terjadi di masa depan, sebagai akibat dari kesalahan atau kekeliruan di masa lalu.
2.  Kekuatiran merupakan suatu bentuk perhatian yang berlebihan terhadap diri sendiri. Sebagian orang mungkin mengatakan bahwa kekuatiran mereka berkaitan dengan orang lain, tetapi sebenarnya pikiran-pikiran yang menganggu itu bersifat pribadi dan tidak disampaikan secara terbuka. Merasa sendirian atau kesepian merupakan salah satu gejala khas yang dialami oleh orang-orang yang selalu kuatir.
3.  Kekuatiran membuat orang terus menerus merasa gelisah, menghadapi situasi yang menekan batin, merasa sangat terkejut dan terganggu, dan tidak dapat menyesuaikan diri terhadap situasi yang dihadapi.
4.  Kekuatiran membuat orang terombang-ambing oleh pikiran yang sangat mengerikan, dan mereka tidak mampu menghentikan pikiran-pikiran itu Mereka selalu membayangkan hal yang paling buruk yang akan terjadi di suatu waktu nanti. Mereka takut akan menjadi bahan ejekan, dipermalukan, dihina, dan lain sebagainya.
Kalau ditanya, apakah Kekuatiran itu berguna? Atau apakah semua kekuatiran itu pasti buruk buat kita? Dalam  batas-batas atau tingkat-tingkat tertentu dan tidak terlalu berat, mungkin justru berguna bagi kita dan tidak menganggu kehidupan kita. Sebagai contoh, seseorang yang sedang menghadapi ujian, karena kuatir tidak lulus, maka ia akan mengerjakan ujian itu secara lebih baik. Sebaliknya, bila kekuatiran itu berlebihan atau kronis,  maka seseorang akan berpandangan sempit dan ruwet. Ia hanya memikirkan dirinya dan tidak peduli kepada hal-hal lain yang ada di sekitarnya dan akhirnya mengalami gangguan kejiwaan, karena terus menerus kuatir dalam banyak hal.
Di dalam Yesaya 49:8-16a tadi, mendengar janji keselamatan dan pengharapan dari Tuhan yang ditujukan kepada orang-orang Israel yang berada dalam pembuangan di Babel. Bagi umat Israel, hidup sebagai orang buangan di Babel itu menjadi suatu keadaan yang sangat mengerikan karena mereka telah ditaklukkan oleh bangsa-bangsa lain. Mereka merasa terhina dan dipermalukan. Akan tetapi Tuhan mengingatkan mereka, bahwa selama mereka berada di Babel, Tuhan akan tetap menyertai, menjaga dan memelihara hidup mereka. Pada waktunya nanti Tuhan akan melepaskan umat Israel dan memimpin mereka kembali ke tanah Palestina. Hal ini mengingatkan kita, bahwa sangat mudah bagi kita untuk tenggelam dalam keputus-asaan, sehingga tidak ada keberanian bagi kita untuk bangkit dan berbuat sesuatu. Pikiran kita, perasaan kita – semuanya hanya tertuju pada diri kita, dan tidak lagi percaya dan berserah kepada Tuhan. 
Dalam Matius 6:24-34, Yesus mengingatan kita, bahwa selalu ada alasan untuk kuatir. Kekuatiran yang berlebih-lebihan atas kebutuhan hidup sehari-hari, dan kekuatiran yang berlebih-lebihan atas harta kekayaan atau hal-hal yang bersifat kebendaan, akan melumpuhkan kita karena kita tidak lagi menempatkan Allah sebagai pusat dan sumber kehidupan kita. Sebagai gantinya, hidup yang mempunyai makna dan tujuan dari Allah, merupakan suatu keharusan bagi kita. Oleh karena itu, dalam Matius 6:33-34  Yesus berkata, “Carilah dahulu Kerajaan Allah dan kebenaran-Nya, maka semuanya itu akan ditambahkan kepadamu. Sebab itu janganlah kamu kuatir akan hari esok, karena hari besok mempunyai kesusahannya sendiri. Kesusahan sehari cukuplah untuk sehari.”
Kerajaan Allah adalah situasi, suasana, atau tempat di mana Allah memerintah sebagai Raja. Kerajaan Allah menunjuk pada kekuasaan Allah yang kekal dan menyeluruh atas seluruh ciptaan-Nya. Kesempurnaan Kerajaan Allah akan terjadi, ketika kerinduan hati manusia dan kebutuhan umat manusia yang otentik akan keadilan, kedamaian, kesempurnaan dan keutuhan, kesatuan dan kebahagiaan, kepenuhan dan kelimpahan, kegembiraan dan kemenangan terpenuhi karena Allah adalah Allah yang menyelamatkan. Oleh karena itu mencari Kerajaan Allah dan kebenaran-Nya, itu berarti menjadikan Allah sebagai satu-satunya focus kehidupan kita, umat percaya. Allah menjadi tuan, yang memerintah dan mengendalikan seluruh hidup kita. Mencari Kerajaan Allah tidak berarti tidak bekerja dan tidak memikirkan masa depan. Akan tetapi, seperti burung di udara dan rumput di padang, kita tetap akan sibuk dan bekerja. Namun kita tidak akan menjadikan kebutuhan hidup kita, harta kekayaan dan hal-hal yang bersifat kebendaan, sebagai satu-satunya prioritas dan tujuan hidup kita. 

Mencari Kerajaan Allah akan mengubah pola hidup dan pola pikir kita, sehingga hidup kita tidak lagi tertuju pada “apa yang bisa saya dapatkan” atau “saya dapat apa” atau “saya punya apa” melainkan “apa yang bisa saya berikan” kepada Allah dan sesama. Saudara2, dalam Filipi 4:6 Paulus berkata, “Janganlah hendaknya kamu kuatir tentang apapun juga, tetapi nyatakanlah dalam segala hal keinginanmu kepada Allah dalam doa dan permohonan dengan ucapan syukur. 



Tidak ada komentar:

Posting Komentar