Halaman

Minggu, 30 Oktober 2011

Hidup Lajang dan Menjadi Berkat Dalam Kerajaan Sorga


Bacaan: Matius 19:1-12

Seorang pria mendatangi seorang Guru. Katanya, “Guru, saya sudah bosan hidup. Saya benar-benar merasa jenuh. Rumah tangga saya berantakan. Usaha saya kacau. Apa pun yang saya lakukan selalu gagal. Saya ingin mati saja !”  Sang Guru tersenyum, “Oh, kamu sakit.”  “Tidak Guru, saya tidak sakit. Saya sehat. Hanya jenuh dengan kehidupan. Itu sebabnya saya ingin mati saja !”  Sang Guru tidak mendengarkan pembelaannya. Lalu ia berkata, “Kamu sakit, dan penyakitmu itu bernama “Alergi Hidup.” Ya kamu alergi terhadap kehidupan. Banyak sekali di antara kita yang alergi terhadap kehidupan. Sungai kehidupan ini mengalir terus, tetapi kita menginginkan keadaan status-quo. Kita berhenti di tempat, dan kita tidak ikut mengalir. Itu sebabnya kita jatuh sakit. Penolakan kita untuk ikut mengalir bersama kehidupan membuat kita sakit. Usaha pasti ada pasang surutnya. Dalam berumah tangga, pertengkaran kecil itu memang wajar. Persahabatan pun tidak selalu langgeng. Apa sih yang abadi dalam hidup ini ? Kita tidak menyadari sifat kehidupan. Kita ingin mempertahankan suatu keadaan. Kemudian kita gagal, kecewa dan menderita.”
Karena itu, penyakitmu itu bisa disembuhkan, asal kamu benar-benar bertekad ingin sembuh dan bersedia mengikuti petunjukku,” kata Sang Guru. Tetapi pria itu menolak tawaran Sang Guru. Dia tidak ingin sembuh dan betul2 ingin mati.
“Baiklah. Kalau begitu besok sore kamu akan mati. Ambillah botol obat ini. Malam nanti, minumlah separuh isi botol ini. Sedangkan separuh sisanya kauminum besok sore jam enam. Maka besok jam delapan malam kau akan mati dengan tenang,” kata  Sang Guru. Kini, giliran pria itu menjadi bingung. Sebelumnya, semua Guru yang ia datangi selalu berupaya untuk memberikan semangat hidup. Namun, Guru yang satu ini aneh. Diharapkan memberi semangat hidup, malah menawarkan racun. Tetapi, karena ia memang sudah betul2 jenuh, ia menerimanya dengan senang hati. Setibanya di rumah, ia langsung menghabiskan setengah botol racun yang disebut “obat” oleh Sang Guru tadi. Lalu, ia merasakan ketenangan yang tidak pernah ia rasakan sebelumnya. Begitu rileks, begitu santai! Tinggal satu malam dan satu hari lagi ia akan mati. Ia akan terbebaskan dari segala macam masalah.
Malam itu, ia memutuskan untuk makan malam bersama keluarga di restoran Jepang. Sesuatu yang tidak pernah ia lakukan selama beberapa tahun terakhir. Ia ingin meninggalkan kenangan manis. Sambil makan, ia bersenda gurau. Suasananya amat harmonis. Sebelum tidur, ia mencium istrinya dan berbisik, “Sayang, aku mencintaimu.”
Esoknya, sehabis bangun tidur, ia membuka jendela kamar dan melihat keluar. Tiupan angin pagi menyegarkan tubuhnya, dan ia tergoda untuk melakukan jalan pagi.  Setengah jam kemudian, ia menemukan istrinya masih tertidur. Tanpa membangunkannya, ia masuk dapur dan membuat dua cangkir kopi. Satu untuk dirinya, satu lagi untuk istrinya. Karena pagi itu adalah pagi terakhir, Ia ingin meninggalkan kenangan manis.
Di kantor, ia menyapa setiap orang, bersalaman dengan setiap orang. Stafnya pun bingung. “Hari ini, Bos kita kok aneh ya ?” Dan sikap mereka pun langsung berubah. Mereka pun menjadi lembut. Karena siang itu adalah siang terakhir, ia ingin meninggalkan kenangan manis ! Tiba2 ia menjadi ramah dan lebih toleran, bahkan menghargai pendapat2 yang berbeda. Tiba2 hidup menjadi indah. Ia mulai menikmatinya. Pulang ke rumah, ia menemukan istri dan anak2 tercinta menungguinya di beranda depan. Mereka berkata, “Ayah, maafkan kami semua. Selama ini kami selalu merepotkan Ayah, sehingga Ayah selalu tertekan karena tingkah polah kami.” Tiba2, sungai kehidupannya mengalir kembali. Tiba2, hidup menjadi sangat indah. Ia mengurungkan niatnya untuk bunuh diri. Tetapi bagaimana dengan setengah botol yang sudah ia minum sore sebelumnya ?
Ia mendatangi Sang Guru lagi. Melihat wajah pria itu, rupanya Sang Guru langsung mengetahui apa yang telah terjadi dan berkata, “Buang saja botol itu. Isinya air biasa. Engkau sudah sembuh. Bila kau hidup dalam kekinian, bila kau hidup dengan kesadaran bahwa maut dapat menjemputmu kapan saja, maka kau akan menikmati setiap detik kehidupan. Hancurkan egomu, keangkuhanmu, kesombonganmu. Jadilah lembut, selembut air, dan mengalirlah bersama sungai kehidupan. Kau tidak akan bosan dan jenuh. Kau akan merasa hidup. Itulah rahasia kehidupan. Itulah kunci kebahagiaan.”
Pria itu mengucapkan terima kasih dan menyalami Sang Guru, lalu pulang ke rumah untuk mengulangi pengalaman malam sebelumnya. Akhirnya ia percaya, hidup masih mengalir terus. Ia tidak pernah lupa menghayati hidup dalam kekinian. Itulah sebabnya ia selalu bahagia, selalu tenang, dan selalu hidup !
Kita sering mengambil sikap seperti si pria tadi. Ingin selalu mempertahankan status-quo, atau keadaan kita, dan menjadi alergi terhadap kehidupan. Kita lupa, bahwa sungai kehidupan ini mengalir terus. Tidak mungkin kita dapat menolaknya dan berhenti di tempat. Kalau pun dapat, kita akan tertekan, dan sakit. Karena itu satu-satunya pilihan, adalah Mengalirlah Seperti Air. Bila batu2 kehidupan ini menghalang-halangi kita, sebagaimana air, kita harus tetap mencari celah, atau membuat lobang-lobang kecil, bila perlu, agar terus mengalir. Jadi, bila kehidupan ini tidak berjalan seperti yang kita harapkan (entah itu usaha, pekerjaan atau rumah tangga kita), itu memang wajar. Apa sih yang abadi dalam hidup ini ?
Menikmati setiap detik kehidupan, dan menghancurkan ego, keangkuhan dan kesombongan kita, menjadi pilihan yang terbaik, bila kita ingin memahami rahasia kehidupan ini dan menjadi bahagia. Itulah pesan moral yang mau disampaikan kepada kita, melalui cerita tadi. Bagi kita, hidup dalam kekinian, menjadi tenang dan bahagia, semua berpulang dan bergantung pada diri kita. Bagaimana kita mampu menghayati arti dan makna hidup ini, serta menjalaninya dengan sebaik2nya. Karena itu hidup lajang atau pun menikah, dapat membuat kita bahagia dan tenang. Tetapi dapat pula sebaliknya, membuat kita tertekan, jenuh dan bosan. Yang penting adalah bagaimana kita (entah lajang atau pun menikah) dapat menjadi berkat bagi sesama dan merasakan kebahagiaan di dalam Tuhan !
Kadang-kadang kita berpikir terlalu sederhana. Kita anggap setiap orang harus menikah, bila ingin hidup bahagia. Karena itu, bila dalam usia tertentu, orang belum juga menikah, akan merasa gelisah, cemas dan takut, karena takut dianggap aneh, kuper dst. Pada satu pihak, pandangan itu dapat dipahami. Sebab secara teologis, dikatakan Tuhan lah yang menciptakan laki2 dan perempuan. Tuhan jugalah yang membentuk lembaga pernikahan. Maka pasangan yang menikah diharapkan menjadi penolong yang sepadan dan juga ditugasi untuk memenuhi bumi dengan beranak cucu.
Namun pada pihak lain, kita sadari pula, bahwa pernikahan adalah suatu ikatan yang kompleks, yang melibatkan banyak faktor. Pernikahan tidak melulu berdasarkan ketertarikan fisik, kecocokan pikiran dan perasaan. Di dalamnya terdapat unsur2 yang lain yang harus dipertimbangkan, seperti faktor budaya, agama, latar belakang pendidikan dan keluarga dst. Karena itu, jangan karena mengejar target, dalam batas usia tertentu orang harus menikah, lalu semua faktor tsb kita abaikan. Pernikahan dan kehidupan rumah tangga juga tidak selamanya berjalan dengan mulus. Contohnya adalah si pria dalam cerita tadi.
Dalam Firman Tuhan yang kita baca tadi, Tuhan Yesus menunjukkan betapa sulitnya membangun kehidupan rumah tangga yang ideal. Pernikahan sebagai gerbang kehidupan berumah tangga merupakan sebuah tindakan yang luhur. Tetapi semua itu harus diperjuangkan dengan sungguh2. Namun kedua belas murid Tuhan Yesus selalu melihat, bahwa orang-orang Israel mempraktekkan perceraian kalau ada banyak ketegangan dalam kehidupan berkeluarga. Karena itu mereka mengatakan, bahwa lebih baik bila orang tidak perlu menikah. Dalam ayat 11 Tuhan Yesus menjelaskan, bahwa pernyataan para murid itu memang memiliki kebenaran, tetapi orang yang menerima karunia dari Tuhan dapat mengerti siapakah sebenarnya yang benar2 tidak dapat menikah. Tuhan Yesus menyebutkan adanya tiga golongan orang yang tidak menikah. Golongan pertama yang tidak menikah adalah mereka yang dilahirkan untuk tidak menikah, atau yang terkebiri sejak lahir. Golongan kedua yang tidak menikah, ialah mereka yang dibuat orang lain tidak menikah, misalnya pelayan-pelayan di istana raja yang dikebiri. Golongan ketiga, adalah mereka yang atas kemauannya sendiri tidak menikah, supaya bebas dari segala gangguan dalam bekerja di ladang Tuhan.
Dalam situasi tertentu, seseorang yang terpanggil demi Kerajaan Allah, akan memilih untuk tidak menikah. Karena itu keputusan untuk rela melajang demi Kerajaan Allah tidaklah gampang untuk dipahami oleh semua orang. Pernyataan Tuhan Yesus mau menunjukkan bahwa kaum lajang atau tidak menikah justru dapat menjadi berkat karena sebagian besar waktu, tenaga dan pikiran tidak hanya dicurahkan hanya bagi sedikit orang yang menjadi anggota keluarganya. Mereka dapat diberdayakan untuk kepentingan yang lebih luas. Karena itu jangan kita memandang sebelah mata terhadap orang yang tidak menikah. Bagi mereka yang tidak menikah, juga tidak perlu merasa minder alias tidak percaya diri. Karena baik menikah atau pun lajang sama-sama punya potensi untuk mengalami kehidupan yang berbahagia. Yang penting ialah mengandalkan Tuhan dan memiliki semangat untuk melewati berbagai tantangan hidup. Bahwa baik waktu, tenaga, pikiran mau pun harta benda yang dimiliki dapat dipakai untuk menjadi berkat bagi sesama dan bagi kemuliaan nama Tuhan.
Dalam 1 Korintus 7:20, 32a, 34a, Rasul Paulus berkata, “Baiklah tiap-tiap orang tinggal dalam keadaan, seperti waktu ia dipanggil Allah. Orang yang tidak beristeri dan perempuan yang tidak bersuami memusatkan perhatiannya pada perkara Tuhan, bagaimana Tuhan berkenan kepadanya, supaya tubuh dan jiwa mereka kudus.”




Tidak ada komentar:

Posting Komentar