Halaman

Jumat, 21 Oktober 2011

Konseling Pastoral Bagi Orang Yang Mengalami Kepahitan atau Luka Batin



 KONSELING PASTORAL BAGI ORANG YANG MENGALAMI
KEPAHITAN ATAU LUKA BATIN

Oleh : Pdt. Maryam K. Sutanto[1]


PENDAHULUAN
Mengalami kepahitan atau luka-luka batin adalah hal yang tidak bisa manusia hindari. Pada masa kecil, barangkali kita pernah diperlakukan secara kejam dan tidak adil, difitnah, tidak dipercaya dan dihargai. Pengalaman tersebut membuat batin kita terluka, karena perlakuan-perlakuan itu mencengkram kita kuat-kuat, dan kita mungkin merasa sangat sulit mengampuni dengan jujur orang yang melukai batin kita. Ambil saja contohnya, luka-luka batin yang dialami oleh Albert akibat perlakuan kasar kakak perempuannya (Lihat Kasus Albert).
Keadaan gelisah, takut, marah dan merasa ditolak bisa jadi merupakan akibat dari pengalaman pahit di masa lampau. Uniknya, luka-luka batin ini justru terjadi di antara orang-orang yang dekat satu sama lain dan bergaul setiap hari, bersumber dari orang-orang yang saling mencintai, dan timbul dari mereka yang saling berbagi dalam hidup bersama. Mungkin karena itu pula, orang seringkali berupaya untuk melawan rasa sakit, menghindari dan mengabaikannya. Namun upaya itu justru akan meningkatkan intensitas dari rasa sakit dan luka batin yang dialami orang itu. Karena itu dibutuhkan pelayanan  pastoral yang mendukung untuk menyembuhkan luka-luka batin yang menggerogoti hati dan jiwa seseorang. Dan di sinilah letak peran dan fungsi dari pelayanan konseling pastoral bagi orang-orang yang mengalami kepahitan atau luka-luka batin.
Maka dalam makalah ini, penulis membatasi ulasannya pada kepahitan dan luka-luka batin yang dialami oleh orang-orang yang dilayani atau konseli dalam kehidupan keluarga, karena begitu luasnya cakupan yang dapat dikemukakan dalam konseling dan pelayanan pastoral bagi orang-orang yang mengalami kepahitan dan luka-luka batin. Dalam pengamatan penulis, pada umumnya kepahitan dan luka-luka batin yang dialami oleh para konseli, berangkat dari kehidupan keluarga dan kehidupan rumah tangga. Efek dari luka-luka batin tersebut biasanya baru disadari setelah mereka berusia remaja dan atau dewasa, yang muncul dalam bentuk penolakan diri yang kuat, ketersinggungan yang berlebihan dan ketidakmatangan emosional dalam menjalin relasi dengan anggota keluarga atau orang lain yang ada di sekitarnya.
 Oleh karena itu, di dalam uraiannya, penulis mengemukakan salah satu contoh kasus di antara sekian banyak kasus yang lainnya, yang tidak mungkin dapat penulis kemukakan di sini. Tentu saja masih banyak contoh atau kasus-kasus lainnya, yang dapat dipelajari dan diolah lebih lanjut oleh para pembaca, yang “berminat untuk mempelajari lebih lanjut” konseling pastoral bagi orang-orang yang mengalami kepahitan dan luka-luka batin. Selanjutnya, dari analisa kasus yang dikemukakan, kita dapat menentukan pendekatan konseling pastoral yang manakah, yang dapat kita kembangkan lebih lanjut di dalam pelayanan kita?  Melalui berbagai pengamatan dan pengalaman di lapangan (dan tentu saja pengalaman penulis dalam menangani pemulihan dan penyembuhan luka-luka batin), maka penulis menawarkan konseling pastoral yang bersifat mendukung bagi orang-orang yang mengalami kepahitan dan luka-luka batin. Melalui konseling pastoral yang bersifat mendukung, maka terbuka peluang bagi konseli untuk dikuatkan dan mendapatkan topangan untuk mengalami pemulihan dan penyembuhan atas luka-luka batin dan kepahitan yang dialaminya.

1. KASUS ALBERT[2]
Pada suatu hari ….
“Bodoh!”
“Manja!”
“Penghambur uang!”
Tangan kiri perempuan itu berkacak pinggang dan telunjuk tangan kanannya hampir menyentuh dahi adik laki-lakinya.
Albert berhenti berkisah untuk meminum kopi hangat yang baru dipesannya.
“Pantas kata-kata seperti itu keluar dari tutur seorang kakak? Kalau ia seorang beragama, Tuhan mana yang mengizinkannya berkata-kata demikian?
Paras Albert memerah mengingat semuanya. Beberapa kalimat tersekat dan keluar dalam isakan. Andrea duduk di hadapannya mendengarkannya.
Kedai kopi seperempat terisi pengunjung petang ini. Seorang laki-laki yang mengambil tempat duduk di sisi mereka berbicara sendiri.
“Aku telah berusaha, tetapi selalu gagal. Hanya luka perih yang keluar sangat saat aku mengingat kakak perempuanku.”
Albert memandang Andrea, memohon sahabatnya memahami posisi sulitnya.
“Satu-satunya jalan barangkali aku putus hubungan dengannya,” seru Albert dengan tangan terkepal seperti sebuah keputusan baru saja diambilnya.
Andrea menggenggam erat tangan sahabatnya.
“Albert, betapa pun ia melukaimu, engkau masih menyebutnya sebagai kakak perempuanmu.”
Albert mengangguk dalam.
“Jangan padamkan nyala cinta di hati yang masih sekerlip untuk kakak perempuanmu.”
Pekerja kedai kopi mendekati pintu masuk dan membalik tanda “Buka” dengan “Tutup.”

2. ANALISA KASUS[3]
            Dalam percakapan Albert dengan Andrea, terungkap sebuah realitas fenomenal yang biasa terjadi dalam kehidupan keluarga. Karena beban hidup yang semakin berat, penghasilan yang tidak lagi mencukupi kebutuhan hidup sehari-hari, dan persaingan hidup yang semakin keras dan tajam, membuat suami dan istri, orangtua dan anak, adik dan kakak menjadi lebih mudah frustrasi dan cepat marah, bahkan bersikap kejam dan kasar satu terhadap yang lainnya, seperti yang dialami oleh Albert. Perlakuan kasar dan kejam yang dilakukan oleh kakak perempuan Albert, mungkin bukan untuk pertama kalinya dan pasti terdapat sejumlah alasan untuk mendukung sikap dan perlakuan mereka. Tidak diketahui pula, sejak kapan Albert mengalami sikap kasar dan perlakuan kejam dari kakak perempuannya. Lalu bagaimanakah dengan sikap anggota keluarga yang lainnya? Kita tidak tahu. Mungkin perlakuan kasar dan kejam yang dilakukan kakak perempuan Albert bukan untuk pertama kalinya, karena luka emosional yang terungkap dalam bentuk ratapan dan tangisan, mengindikasikan sebuah kepahitan dan luka-luka batin yang berkepanjangan.
Di sinilah pentingnya kita memahami bahwa hubungan antar manusia, pada hakekatnya merupakan sebuah hubungan terbuka yang mengandung resiko. Artinya, ketika kita menjalin hubungan dengan orang lain, kita tidak bisa meramalkan apa yang akan terjadi nantinya, akankah kita mendapat kebahagiaan ataukah malah terluka dan menderita? Artinya, ketika kita menjalin hubungan dengan orang lain, kita sebenarnya tidak tahu persis apa yang akan terjadi dalam hubungan yang kita jalin. Bahkan dalam hubungan yang sangat intim seperti hubungan suami dan istri, orangtua dan anak, juga merupakan hubungan terbuka yang mengandung resiko.[4]  Pada saat hubungan tersebut berada dalam kondisi sehat, maka masing-masing pihak akan merasa bebas untuk mengungkapkan siapa diri mereka dan bebas untuk melakukan berbagai tindakan. Namun sebaliknya, ketika timbul konflik, terjadilah akar pahit dan luka-luka batin dalam bentuk kekecewaan, kesedihan, ketakutan, perasaan dikhianati, trauma dan sebagainya. Bisa pula berupa luka fisik, ketika sebuah konflik berubah menjadi konflik terbuka yang konfrontasional. 
 Luka yang terjadi dalam hubungan terbuka antara seseorang dengan orang lain, biasanya akan mendorong orang tersebut untuk menarik diri secara fisik mau pun penarikan diri secara emosional.[5] Penarikan diri secara fisik akan terjadi ketika orang yang terluka pergi meninggalkan ruangan atau sengaja menghindar setiap kali bertemu dengan pihak lain dengan siapa ia terlibat dalam konflik. Sedangkan penarikan diri secara emosional terjadi ketika orang yang terluka masuk ke dalam relung batinnya yang paling dalam untuk membuat penilaian  tentang situasi konflik yang ia hadapi. Dalam kasus Albert, perlakuan kasar dan kejam yang dilakukan oleh kakak perempuannya, membuat Albert melakukan penarikan diri baik secara fisik mau pun emosional. Setelah sebuah konflik pecah, maka kesediaan untuk mengambil resiko yang semula melandasi hubungan nya yang baik dengan pihak lain sudah hilang dan berganti dengan rasa kecurigaan, kekuatiran, dan kebekuan. Itu sebabnya dalam konseling dan pelayanan pastoral, kondisi batin dari Albert perlu diproses lebih dahulu agar secara jujur dan terbuka Albert menyadari keterlukaannya, menyadari kerentanannya.[6] Oleh karena itu, pengakuan akan adanya luka-luka dalam diri Albert, akan membukakan jalan menuju pemulihan dan penyembuhan. Selama luka-luka itu tidak diakui dan disembunyikan, atau ditutup-tutupi, maka rekonsiliasi tidak akan bisa terwujud. Dengan demikian, kesadaran diri yang baru, yaitu kesadaran tentang keterlukaan dan kerentanan dirinya, menjadi faktor yang sangat penting bagi Albert untuk merestorasi hubungan yang rusak dan menerima kembali kakak perempuannya sebagai insan yang berharga.

3. KONSELING PASTORAL
           
            Konseling pastoral merupakan suatu jawaban atas kebutuhan setiap orang untuk mendapatkan kesembuhan, topangan, bimbingan dan pendamaian dalam segala permasalahan hidup yang dialami oleh anggota Jemaat. Kebutuhan akan pelayanan konseling pastoral ini dirasakan sangat penting dan mendesak pada saat terjadi krisis kehidupan, yang dialami oleh anggota Jemaat, baik secara pribadi maupun dalam kehidupan sosial. Dunia, negara dan masyarakat di mana kita berpijak dan melangkahkan kaki sedang mengalami perubahan yang sangat cepat dan dahsyat. Kemajuan-kemajuan di berbagai bidang, terutama di bidang teknologi informasi, telah mengubah wajah dunia kita dengan sangat cepat. Ungkapan-ungkapan seperti “the world is flat”, “runaway world”, dan lain sebagainya sebenarnya ingin menggambarkan bahwa dunia kita saat ini tidak lagi sama dengan sebelumnya. Situasi tersebut membawa dampak pada perubahan gaya hidup manusia. Kita dapat mencermati tentang meningkatnya trend kekerasan di hampir segala bidang kehidupan. Persoalan yang tidak dapat diselesaikan dengan bijaksana hampir selalu bermuara pada kekerasan, baik secara fisik (misalnya: pembunuhan, penganiayaan, perampokan, dan sebagainya) maupun non-fisik (misalnya: berupa tekanan-tekanan, stigma, perlakuan tidak adil, dan sebagainya). Bahkan belakangan muncul juga ‘trend’ baru, utamanya bagi mereka yang tidak dapat menyikapi masa-masa sulit tersebut dengan bijaksana, yaitu tindakan bunuh diri ataupun membunuh orang lain.
Berangkat dari latar belakang situasi dan kondisi tersebut, maka fungsi pelayanan konseling pastoral menurut William A. Clebsch dan Charles R. Jaekle, adalah upaya pendampingan yang bersifat membimbing dan memperbaiki (reparative), serta membawa pemulihan dan kesembuhan (psikoterapi) dalam konflik dan penderitaan yang paling dalam, yang menghalang-halangi pertumbuhan kepribadian, spiritualitas dan karakter anggota Jemaat.[7]  Menurut hemat penulis, para Pendeta dan konselor perlu membekali diri dengan prinsip-prinsip dasar konseling pastoral dan berbagai pendekatan yang dapat dikembangkan dalam konseling pastoral agar dapat membantu orang-orang yang menghadapi masalah-masalah mereka secara konstruktif, dengan mengambil keputusan-keputusan yang sungguh-sungguh dapat dipertanggung-jawabkan, dan memperbaiki sikap dan perilaku mereka yang cenderung melukai diri sendiri dan orang lain. Oleh karena itu, para Pendeta dapat membantu anggota Jemaat untuk secara jujur dan terbuka mengungkapkan perasaan-perasaan dan sikap-sikap yang merintangi pertumbuhan mereka, maupun orang-orang yang berelasi dengan mereka.[8]            
            Dengan mengungkapkan perasaan-perasaan dan sikap-sikap batin mereka, maka secara bertahap anggota Jemaat yang mengalami kepahitan dan luka-luka batin dapat memandang kehidupannya secara positif dan konstruktif, menuju kematangan dan kedewasaan emosional dan spiritual melalui perjumpaannya dengan Allah dalam Kristus sehingga permasalahan apa pun yang dihadapi, tidak menghalangi pertumbuhan iman mereka karena fungsi pelayanan pastoral adalah menyembuhkan (healing), mendukung (sustaining), membimbing (guiding), mendamaikan (reconciling), dan memelihara (nurturing) kehidupan.[9] Sebab itu pendekatan secara holistik dalam penggembalaan dan konseling pastoral sangat dibutuhkan, karena anggota Jemaat sebagai seorang individu pasti memiliki kekuatan-kekuatan dan kekayaan yang masih belum ditemukan dan dikembangkan dalam hidupnya.
Dengan demikian seorang Pendeta atau konselor sangat diharapkan dapat memahami kebutuhan yang mendasar dari setiap orang akan kasih, sehingga dapat membimbing anggota Jemaat dari rasa bersalah, keterasingan dari orang-orang yang dikasihinya, dan dari keputus-asaan mereka, agar mereka dapat memahami makna kasih dan pengampunan melalui iman dan kasih kepada Allah di dalam Yesus Kristus. Di sinilah letak pentingnya pembacaan Alkitab, pemberitaan Firman Tuhan, doa dan berkat dalam konseling pastoral. Kesadaran Alkitab tentang kefanaan, dosa dan kehancuran manusia, dapat membuat Pendeta tetap berupaya secara optimal sebagai penyembuh dan pendorong pertumbuhan. Namun hal terbaik yang dapat diharapkan ialah bahwa orang mungkin dapat memperoleh kekuatan dan dapat ketenangan untuk menerima kehidupan dan situasinya yang tidak dapat diubah, dan orang dapat hidup lebih konstruktif di dalam situasi tersebut.
Selanjutnya, beberapa bentuk ketrampilan konseling mendasar yang perlu diperhatikan dan dikembangkan oleh Pendeta dalam konseling pastoral[10], yaitu :
1.         Sikap yang terus memperhatikan dan menjaga kontak mata, sehingga Konseli mengetahui bahwa Pendeta sedang berusaha memahami dunia batinnya.
2.         Mintalah konseli untuk berbicara tentang soal yang penting dengan pertanyaan terbuka dengan komentar yang singkat atau dengan isyarat badan.
3.         Dengarkan dan amati dengan hati-hati pesan non-verbal yang disampaikan Konseli.
4.                  Ikutilah jalan ceritanya, sehingga konseli mengetahui bahwa Pendeta sedang berupaya memahami dunia batinnya.
5.                  Berilah tanggapan empatik dengan cara meringkaskan arah utama dari perasaan dan masalah yang penting dan apa maknanya bagi konseli.
6.                  Buatlah kejelasan dengan meringkaskan pokok-pokok dari apa yang disampaikan oleh konseli, dan kemudian periksalah catatan Anda dengan menanyakannya.
7.                  Selidikilah bagian-bagian yang masih belum didiskusikan dengan pertanyaan-pertanyaan yang tajam.
8.                  Berkonfrontasi jika perlu dan situasinya cocok.
9.                  Pahamilah makna, persoalan dan dinamika masalah yang dihadapi oleh konseli dan berilah rekomendasi berdasarkan pemahaman diagnostik.
10.              Buatlah suatu pengertian tentang gambaran batin atau “internal frame of reference” dari konseli (bagaimana orang itu memandang kehidupan dari dunia batiniahnya, bagaimana ia merumuskan masalahnya, di mana letak kegagalannya, dan di mana kekuatan untuk mengatasi situasinya).

4. BENTUK-BENTUK PELAYANAN PASTORAL KEPADA ORANG YANG MENGALAMI KEPAHITAN ATAU LUKA BATIN
           
            Dalam konseling pastoral yang bersifat mendukung, Pendeta atau konselor harus mempergunakan metode-metode yang memberi dukungan dan sokongan yang dapat mengayomi, memotivasi dan membimbing orang-orang yang mengalami luka-luka batin daan akar pahit untuk mengatasi persoalan-persoalan dan gangguan-gangguan dalam hubungan mereka dengan cara yang lebih konstruktif, di dalam batas-batas yang ditentukan oleh sumber-sumber dan keadaan-keadaan kepribadian mereka.[11]  Dalam kasus Albert, kita melihat salah satu bentuk konseling pastoral yang mendukung, dalam bentuk yang sederhana dari Andrea, sehingga Albert dapat mengungkapan perasaan-perasaan dan sikap-sikap batinnya yang terluka akibat perlakuan kakak perempuannya.
            Sifat konseling yang memberi dukungan memiliki nilai lebih jika dibandingkan dengan pendekatan-pendekatan yang berorientasi pada penyingkapan atau pembongkaran akar-akar tersembunyi dari luka-luka batin yang dialami oleh anggota Jemaat. Bila dalam konseling pastoral yang mendukung, Pendeta atau Konselor memberi dukungan dan memotivasi konseli agar mereka dapat mengatasi persoalan-persoalan yang menyebabkan akar pahit dan luka-luka batin, maka dalam pendekatan yang beroreintasi pada penyingkapan ini, anggota Jemaat diarahkan untuk menyingkapkan, membongkar dan menghadapi persoalan-persoalan dan gangguan-gangguan yang mereka hadapi. Penyembuhan dengan cara-cara penyingkapan dan pemahaman diri ini (menurut hemat penulis) mungkin lebih manjur bagi orang-orang yang mengalami gangguan neurotis. Orang-orang neurotis mempunyai ego yang sangat kuat, tetapi “defens mechanism” (pertahanan mereka) sangat berat dan merugikan, karena melahirkan gejala-gejala yang menyakitkan karena didorong rasa bersalah dan rasa cemas yang berlebihan.[12]
            Sedangkan konseling pastoral yang bersifat mendukung, tujuannya adalah untuk menolong orang untuk memperoleh kekuatan dan arah untuk memanfaatkan potensi-potensi yang ada dalam dirinya dan hubungan pribadinya (betapa pun terbatasnya) dalam mengatasi situasi-situasi kehidupannya. Oleh karena itu metode-metode yang bersifat mendukung ini dipusatkan pada kehidupan kini dan di sini, yaitu menolong orang untuk mengatasi atau menerima masalah yang dihadapinya dengan cara-cara yang lebih realistis, sehingga memperkuat mereka untuk mengatasi persoalan-persoalannya secara konstruktif di masa depan. Nilai lebih dari pendekatan yang mendukung ini adalah membantu mereka untuk mencegah sikap-sikap yang dapat melukai diri sendiri dan orang lain, karena pertumbuhan kepribadian dapat terjadi secara bertahap. Hasilnya, orang semakin efektif mengatasi problema-problemanya dan mampu memperbaiki hubungan-hubungannya yang telah rusak di masa lalu.
Bagaimana kita dapat menentukan pendekatan konseling pastoral yang mendukung atau yang pendekatan yang menyingkapkan di dalam pelayanan pastoral kita? Mungkin tidak ada resep yang sangat ampuh. Namun beberapa kecenderungan konseli yang dapat memandu Pendeta atau konselor untuk mengembangkan konseling pastoral yang mendukung bila : (1) Konseli tidak mampu menangani atau memikul tanggung-jawabnya sebagai orang dewasa; (2) Konseli tidak mampu meredakan rasa frustrasi dan mengontrol emosinya; (3) Konseli mengalami ketergantungan yang berat dan kronis terhadap hal-hal tertentu; (4) Konseli mengalami gangguan-gangguan persepsi/interpretasi/daya tangkap (perceptual distortion); (5) Konseli memiliki kepribadian yang kaku (personality rigidity); (6) Konseli mengalami kesulitan untuk memperoleh manfaat dari pendekatan konseling yang berpusat pada pemahaman diri.[13]
Di dalam praktiknya keenam ciri tersebut di atas, dapat menolong para konselor untuk segera membuat perencanaan konseling pastoral yang bersifat mendukung dengan memanfaatkan hubungan sebagai fondasi dan alat utama terjadinya perubahan/transformasi. Dengan demikian mempertahankan hubungan yang dapat dipercaya dan bersifat mengayomi, merupakan inti dari proses konseling pastoral. Pendeta atau konselor dianjurkan lebih banyak menggunakan bimbingan, peneguhan dan penguatan yang dapat menginspirasi konseli melalui percakapan yang dilakukan untuk mendorong atau mencegah perilaku yang membahayakan diri sendiri maupun orang lain.
            Sehubungan dengan hal tersebut di atas, sedikitnya ada empat tipe penggembalaan dan konseling pastoral yang bersifat mendukung, yang dapat kita pertimbangkan yaitu :
1.      Penggembalaan/Konseling Krisis
2.      Penggembalaan/Konseling Darurat
3.      Penggembalaan/Konseling yang Menopang (sustaining)
4.      Penggembalaan/Konseling Pertumbuhan

Konseling Krisis yang bersifat mendukung merupakan suatu kesempatan pastoral yang terutama, karena sangat penting bagi konselor untuk menolong konseli agar tetap berfungsi secara optimal, walau pun ada banyak keterbatasan, dan situasi kehidupan tetap sulit. Karena itu sangat penting artinya bagi konselor untuk menolong konseli agar mereka dapat menerima kenyataan, bahwa masa lalu dan masalah-masalah mereka tidak mungkin dapat dirubah lagi. Dengan keterbukaan konseli untuk menerima semua kenyataan pahit yang dialaminya, maka terbuka peluang untuk pemulihan dan penyembuhan, karena energi kejiwaan yang dahulu digunakan untuk terbenam dalam kepahitan hidupnya atau sikap yang mengasihani diri secara berlebihan, sekarang disalurkan untuk mengatasi beban dan luka-luka batin mereka.
Franz Alexander[14] mendeskripsikan lima prosedur yang digunakan dalam psikoterapi yang bersifat mendukung, yaitu :
1.  Pemuasan kebutuhan-kebutuhan ketergantungan. Orang yang memberi dukungan adalah seperti tokoh “orang tua yang baik hati” yang kepadanya Jemaat dapat menyandarkan diri. Banyak bentuk-bentuk pemuasan ketergantungan, di dalamnya termasuk menghibur, menyokong, memberi makan (baik emosional maupun fisik), melindungi, memberi instruksi, dan menentukan batas-batas yang dapat dipercaya untuk mencegah perilaku yang dapat menyakiti diri sendiri dan orang lain.
2.  Katarsis Emosional. Seperti yang dikatakan oleh Carl Roger, maka penerimaan perasaan-perasaan yang membebani seseorang yang dapat dilakukan oleh konselor akan mengeluarkan racun dan luka-luka batin. Hal itu juga akan membantu untuk mengurangi kecemasan-kecemasan yang melumpuhkan serta merintangi penggunaan pertimbangan untuk mengatasi persoalan. Orang-orang yang merasakan adanya orang lain yang mengetahui dan turut prihatin akan kesusahan batinnya akan memperoleh kekuatan yang berasal dari perasaan bahwa hidupnya didukung oleh orang lain.
3.  Tinjauan obyektif tentang situasi ketegangan atau tekanan (stress). Hubungan yang bersifat mendukung akan memberi kemungkinan bagi konseli untuk menjadi cukup obyektif untuk meninjau masalahnya dari suatu perspektif yang agak lebih luas dan menyelidiki kemungkinan alternatif-alternatif lainnya. Keobyektifan ini akan menolongnya untuk mengambil keputusan-keputusan yang lebih bijaksana tentang apa yang dapat dan sepantasnya dikerjakan.
4. Membantu pertahanan-pertahanan ego. Pada umumnya konseli akan berulang-ulang membicarakan kejadian-kejadian yang melukai batinnya itu untuk meringankan tanggung jawabnya dalam kecelakaan atau masalah tersebut, yang dapat menimbulkan rasa bersalah yang sangat besar yang dapat menimbulkan perilaku yang berusaha menebus kesalahan dengan cara yang merusak dirinya sendiri. Setelah krisis itu mulai reda, konselor dapat membantu konseli agar lambat laun menjadi mampu menghadapi tanggung jawab dan kesalahannya, dan terus menyelesaikan masalah-masalah tersebut secara konstruktif.
5. Mengubah situasi kehidupan. Pendeta dapat juga menolong konseli untuk membuat perubahan-perubahan, atau jika tidak membuat rencana sehingga perubahan-perubahan dapat dilakukan (baik secara jasmani, ekonomi,  atau hubungan antar pribadi) yang menyebabkan melemahnya gangguan-gangguan dalam hidup mereka.
6.  Mendorong tindakan yang tepat. Bila orang menjadi lemah atau lumpuh oleh perasaan-perasaan cemas, gagal, kalah, harga diri hancur, atau kemalangan yang tragis, maka sering berguna bagi pendeta untuk menggambarkan suatu aktivitas yang akan menjaga agar ia tetap berfungsi dan berhubungan dengan orang. Hal ini mengurangi kecenderungan untuk mengundurkan diri ke dalam depresi dan menarik diri dari hubungan-hubungan. Aktivitas yang konstruktif memberi stuktur sementara bagi dunianya yang kacau balau dan juga menyediakan cara-cara untuk mengubah situasi yang amat menyulitkan itu. Membaca Alkitab atau bahan yang relevan dengan problemnya penting nilainya.
7.  Menggunakan sumber-sumber religius. Doa, Kitab Suci, bacaan rohani, persekutuan dsb. menjadi sumber-sumber pendukung yang berharga dan unik untuk konseling pastoral. Apabila dimanfaatkan secara tepat, maka semua itu akan memberi konseli kesadaran yang segar bahwa hidup mereka punya makna yang mengatasi kepedihan dan tragedi yang mereka hadapi. Di dalam saat-saat itu, konselor dan konseli dapat menyadari bahwa kuasa pendukung Roh Kudus tersedia bagi mereka berdua, di dalam, melalui dan di luar proses konseling.

5.   KONKLUSI
Konseling pertumbuhan yang bersifat mendukung (supportive growth counselling) adalah suatu pendekatan yang berharga dalam karya pastoral. Banyak orang dapat memanfaatkan hubungan konseling yang bersifat mendukung, bukan hanya supaya mereka dapat terus menjalankan peran dan fungsinya secara optimal, tetapi juga sebagai sebuah kesempatan yang memungkinkan terjadinya pertumbuhan pribadi secara bertahap dan terarah ke masa depan. Pertumbuhan terjadi ketika orang mampu mengatasi situasi kehidupan mereka secara konstruktif dan dapat menggunakan kekuatan-kekuatan mereka untuk mempercepat pemulihan dan penyembuhan atas luka-luka batin dan akar pahit yang mereka alami. Soli Deo Gloria!

DAFTAR KEPUSTAKAAN

Abineno, J.L. Ch. Pedoman Praktis untuk Pelayanan Pastoral. Jakarta : BPK Gunung Mulia, cet.2, 1999.

Clinebell, Howard. Tipe-Tipe dasar Pendampingan dan Konseling Pastoral. Yogyakarta : Kanisius, BPK Gunung Mulia, 2002.

Gerkin, Charles V. Konseling Pastoral Dalam Transisi. Yogyakarta : Kanisius, BPK Gunung Mulia, 1992.

Paulus S. Widjaja, “Rekonsiliasi Antar Umat Beragama : Refleksi Pengalaman Lapangan,”Basilica Dyah Putranti & Asnath Niwa Natar (ed.), Perempuan, Konflik dan Rekonsiliasi. Yogyakarta : Pusat Studi Feminis Universitas Kristen Duta Wacana, 2004.

Susanto, Daniel. “Clinical Pastoral Education” Sebuah Metode Pendidikan Pastoral, materi kuliah Ministri & Konseling Pastoral Semester II Program D. Min STT Jakarta, 2007.


[1] Penulis adalah Pendeta Sekolah BPK PENABUR Jakarta.
[2] Sebagaimana dikisahkan oleh “Bernard” (bukan nama yang sebenarnya) pada tanggal 25 Januari 2010.
[3] Setiap percakapan (verbatim, antara konselor dan konseli)  atau kasus dapat dianalisa dari berbagai aspek, seperti aspek psikologis, antropologis, sosiologis, dan teologis untuk mencari solusi yang tepat guna bagi permasalahan yang dihadapi oleh konseli.
[4] Semua hubungan antarmanusia yang bersifat terbuka selalu mengandung potensi konflik yang pada gilirannya akan menimbulkan luka, batin maupun fisik. Kita tidak mungkin bisa menghindari terjadinya luka, kecuali kita hidup dalam isolasi.
[5] Paulus S. Widjaja, “Rekonsiliasi Antar Umat Beragama : Refleksi Pengalaman Lapangan,”Basilica Dyah Putranti & Asnath Niwa Natar (ed.), Perempuan, Konflik dan Rekonsiliasi. Yogyakarta : Pusat Studi Feminis Universitas Kristen Duta Wacana, 2004, 64.
[6] Ibid., 72-73.
[7] Clinebell, Howard. Tipe-Tipe dasar Pendampingan dan Konseling Pastoral. (Yogyakarta : Kanisius, BPK Gunung Mulia, 2002), 53-54.
[8]  Gerkin, Charles V. Konseling Pastoral Dalam Transisi. (Yogyakarta : Kanisius, BPK Gunung Mulia, 1992), 17, 21.
[9] Clinebell, 37, 54-55.
[10] Ibid., 120.
[11] Ibid. 219.
[12] Clinbell, 229.
[13] Ibid., 227-228.
[14] Ibid., 223-225.

8 komentar:

  1. Mencerahkan dan bermanfaat sekali. Sangat membantu untuk para pelayan yang kadang mendadak menjadi konselor.

    Syalom,

    Iono Sandjojo
    www.jiwasehat.blogspot.com

    BalasHapus
  2. haloo ibu pdt. saya punya pacar dia dahulu nya juga punya mantanpacar dimana mantan pacar nya ini membuat di kecewa berat. sampai-sampai dia harus di okname dan ini membuat saya bingung menghadapi dia karena dia cepat tersinggung dan marah tanpa ada alasan yang jelas dia juga sering curiga yang macam2 yang gk munkin saya lakukan. ibu punya saran bagai mana saya bisa menghadapi ini?
    email.natalcristiansamuel@yahoo.co.id

    BalasHapus
    Balasan
    1. Samuel Christian yang baik. Dikhianati oleh orang yang disayangi, terluka dan kecewa, itulah yang dialami oleh pacar Anda. Luka itu belum pulih dan sembuh, sebab itu dia cepat marah, tersinggung dan curiga. Ajaklah pacar Anda bicara dari hati ke hati, dan ajaklah dia untuk mengampuni. Hidupnya terlalu berharga untuk dihabiskan dalam luka masa lalu yang tak akan pernah kembali. Mengampuni berarti tidak lagi mengingat-ingat dan memperhitungkan semua kesalahan yang telah diperbuat oleh pacarnya di masa lampau. Perumpamaan Anak Terhilang dalam Lukas 15:11-32 mengajak kita untuk memberikan pengampunan, seperti Allah yang tidak memperhitungkan kesalahan dan dosa-dosa yang telah kita perbuat. Pemulihan akan terjadi ketika kita mengampuni, dalam arti tidak memperhitungkan dan menyimpan kesalahan orang lain. Pengampunan akan membebaskan, memulihkan dan menyembuhkan. Salam.

      Hapus
  3. saya suka dengan tulisan ibu tapi saya mau bertanya bagaimana pelayanan pastoral yang tepat untuk menolong anak muda pecandu alkohol?

    BalasHapus
  4. Terimakasih Made- Konseling Pastoral yang tepat, adalah penanganan secara holistik. Dalam arti kata perlu diidentifikasi dulu (bisa dengan analisa SWOT), mengapa anak muda itu menjadi pecandu alkohol. Ada banyak kemungkinan. Boleh jadi karena ada banyak akar pahit, sehingga minum2 menjadi kompensasi, lari atau mengingkari kenyataan dengan minum2. Alternatif berikutnya, karena pergaulan, lalu menjadi kebiasaan. Sebab itu percakapan demi percakapan perlu dicatat, guna membantu kita sebagai Konselor. Bilamana diperlukan, bermitra dengan psikolog untuk mengatasi ketergantungan pada alkohol. Salam, Maryam.

    BalasHapus
  5. Shalom bu Maryam, saya mau tanya apakah ada sekolah atau pembekalan khusus untuk seorang konselor yg menangani masalah luka batin?

    BalasHapus
  6. Shalom Filie. Terimakasih sudah berkunjung ke blog saya. Anda tertarik untuk menjadi seorang konselor? Mengapa seorang Konselor? Karena seorang konselor bisa saja menangani masalah luka batin, KDRT, Terminal Ilness dan masalah-masalah lainnya. Jadi tidak hanya masalah luka-luka batin saja. Di Sekolah Tinggi Teologi Jakarta misalnya, ada bidang studi khusus yang dapat menolong kita untuk mempelajari hal tersebut, yaitu Konseling Pastoral. Kalau di Universitas Indonesia, di Fakultas Psikologinya. Selamat mengeksplorasi. Salam, Maryam

    BalasHapus